Banyak orang mulai mempercakapkan sistem penerimaan murid baru (SPMB) sebagai pengganti penerimaan peserta didik baru (PPDB). Yang, di dalamnya ada yang baru, yaitu Jalur Domisili sebagai pengganti Jalur Zonasi.
Jalur Domisili mempersyaratkan domisili murid dekat dengan lokasi sekolah. Maksudnya, calon murid yang berdomisili paling dekat dengan lokasi sekolah yang berpeluang diterima, tanpa mempertimbangkan wilayah.
Sehingga, calon murid yang (sekalipun) domisilinya berbeda kecamatan, bahkan kabupaten, dengan lokasi sekolah, asal domisili termaksud dekat dengan lokasi sekolah, tetap memiliki peluang diterima.
Karena, faktanya memang ada lokasi sekolah yang berada di batas antarkabupaten. Misalnya, sekolah berada di wilayah wewenang Kabupaten A, tetapi lokasinya dekat dengan batas Kabupaten B.
Maka, anak-anak yang berada di kabupaten B, yang domisilinya dekat dengan lokasi sekolah termaksud, mereka dapat mendaftarkan diri sebagai murid.
Ini yang berbeda dengan Jalur Zonasi. Karena, Jalur Zonasi tak memberi ruang bagi anak yang berada di luar zona. Sekalipun anak berdomisili dekat dengan lokasi sekolah, jika tak masuk dalam zona, mereka tak boleh mendaftarkan diri sebagai murid.
Ini artinya, anak-anak yang berdomisili di Kabupaten B, sekalipun dekat dengan lokasi sekolah yang menjadi wewenang Kabupaten A --karena keduanya berada di wilayah yang berbatasan--, mereka tak memiliki peluang mendaftarkan diri sebagai murid.
Hanya, memang, yang perlu diperhatikan adalah tentang domisili yang tak memperhitungkan kartu keluarga (KK). Ketika pernah diperbolehkan surat keterangan domisili (SKD) untuk syarat PPDB Jalur Zonasi, muncul sebuah persoalan.
Yaitu, sekolah mendapatkan banyak calon siswa hanya dengan menggunakan SKD yang dikeluarkan oleh pemerintah desa. Dan, memang demikian bahwa SKD ini dikeluarkan oleh pemerintah desa yang terhubung dengan rukun tetangga (RT).
Sebab, kedua lembaga ini yang mengetahui persis warga yang berdomisili di wilayahnya. Sementara itu, sekolah tak dapat berbuat apa-apa. Sebab, SKD sudah sangat kuat sebagai bukti untuk syarat anak termaksud dapat mendaftar sebagai siswa.
Saking banyaknya calon siswa menggunakan SKD, kala itu sekolah sempat berpikir bahwa pemerintah desa "membantu", tetapi dengan "syarat" tertentu.
Sehingga, pada SPMB 2025 yang salah satunya mensyaratkan domisili calon murid untuk Jalur Domisili, muncul kekhawatiran seperti sudah disebut di atas.
Bahkan, akhirnya menyusul sebuah pertanyaan, sudahkah Jalur Domisili SPMB menyediakan ruang belajar? Tentu, dalam konteks ini, ruang belajar bagi pemerintah desa.
Sebab, pemerintah desa yang terhubung dengan RT memiliki wewenang yang "kuat" untuk mengeluarkan SKD. Atau, bahkan, tak terhubung dengan RT pun, pemerintah desa dapat mengeluarkan SKD.
Tetapi, berdasarkan pengalaman masa lalu, jika Jalur Domisili SPMB 2025 dibuat secara khusus, yang memungkinkan pemerintah desa tak dapat "membantu" dengan "syarat" tertentu terhadap calon murid, tentu tak menjadi persoalan.
Artinya, pemerintah desa bersikap apa adanya. Tak menerima permintaan masyarakat yang membutuhkan SKD dengan muatan tertentu.
Sebab, sangat mungkin ada orang yang meminta SKD agar anaknya dapat mendaftar di sekolah tertentu meskipun orang ini tak berdomisili di desa termaksud. Tentu setelah orang ini memenuhi "syarat" tertentu.
Atau, mungkin ada juga orang yang meminta SKD agar anaknya dapat masuk di sekolah tertentu sekalipun orang ini baru saja berdomisili di desa termaksud. Tentu juga setelah orang ini memenuhi "syarat" tertentu.
Ketika Jalur Domisili SPMB dibuat secara khusus --seperti yang sudah disebut di atas-- yaitu dapat mengarahkan pemerintah desa bersikap objektif atau apa adanya, dapatlah disebut bahwa Jalur Domisili SPMB ini menyediakan ruang belajar bagi pemerintah desa.
Bahkan, dapat juga kemudian dikatakan bahwa Jalur Domisili SPMB ini menyediakan ruang belajar bagi masyarakat. Sebab, masyarakat yang berkepentingan dengan SPMB akan menempuh jalur yang sesungguhnya, yang sesuai dengan keberadaannya.
Artinya, jika tak memungkinkan menempuh Jalur Domisili SPMB, mereka tak memaksakan diri mencari SKD karena tak ada celah untuk mendapatkannya. Akhirnya, menempuh jalur yang memungkinkan bagi mereka.
Inilah yang dimaksudkan bahwa Jalur Domisili SPMB (telah) menyediakan ruang belajar, baik bagi pemerintah desa maupun masyarakat.
Tetapi, bagaimana bagi sebagian orangtua dan anak yang berpeluang di Jalur Domisili? Agaknya akan tetap seperti yang terjadi saat Jalur Zonasi diberlakukan.
Yaitu, sebagian calon murid atau siswa yang notabene anak belum merasa tergugah untuk mau belajar.
Sebab, sebagian mereka, anak termasuk orangtua, yang berdomisili dekat dengan lokasi sekolah sudah mengerti bahwa anak pasti diterima di sekolah termaksud melalui Jalur Domisili.
Pengalaman adanya Jalur Zonasi yang menjamin anak diterima di sekolah tertentu karena lokasi rumahnya dekat dengan lokasi sekolah dapat dijadikan refleksi dalam menerapkan Jalur Domisili SPMB 2025.
Sebab, riwayat Jalur Zonasi, seperti sudah disebut di atas, juga meninggalkan catatan, yakni tentang siswa kurang bersemangat belajar. Bagaimana mungkin mereka bersemangat belajar kalau mereka sudah mengerti bahwa mereka pasti diterima di sekolah dekat lokasi rumahnya?
Toh, ini pun tanpa memperhitungkan mereka sudah memiliki kompetensi atau belum. Karena, nilai memang tak menjadi pertimbangan. Yang menjadi pertimbangan adalah jarak tempat tinggal mereka dengan lokasi sekolah yang mereka tuju.
Sehingga, di sekolah tempat saya mengajar, mungkin juga di sekolah yang lain, banyak dijumpai siswa yang belum dapat berhitung dan membaca secara lancar meskipun duduk di Kelas 7.
Ini pun berlanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di jenjang ini pasti dijumpai pula hal yang serupa. Yaitu, ada sebagian siswa yang tersebab adanya Jalur Zonasi, rendah semangat belajarnya.
Bahkan, di perguruan tinggi (PT), kenalan yang berprofesi sebagai dosen pernah mengeluhkan juga tentang mahasiswanya. Sekarang, begini ia mengatakan, sebagian mahasiswa sulit diajak berkembang. Lemah dalam berpikir. Tak kritis.
Kenyataan ini tentu tak semata-mata karena adanya Jalur Zonasi di jenjang-jenjang sebelumnya. Ada faktor lain. Di antaranya adalah tak ada ujian, ekonomi keluarga rendah, dan gaya hidup yang dimanjakan oleh teknologi dan informasi.
Tetapi, diakui oleh guru, Jalur Zonasi memberi sumbangan mengenai rendahnya semangat belajar siswa. Guru yang sehari-hari memang bersentuhan dengan siswa merasakan secara langsung dampak buruk Jalur Zonasi.
Apalagi kalau guru sudah membandingkannya dengan generasi sebelum ada Jalur Zonasi dalam PPDB, guru pasti menemukan perbedaan yang signifikan. Generasi sebelum ada Jalur Zonasi --dan masih berlaku ujian-- lebih bersemangat belajar ketimbang generasi selama ada Jalur Zonasi.
Karenanya, jika pada SPMB 2025 diberlakukan Jalur Domisili yang skemanya sama persis dengan Jalur Zonasi, kasihan anak-anak. Sebab, tak ada situasi dan kondisi yang mendorong mereka belajar secara giat.
Realitas yang dialami oleh anak tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh orangtua, lebih-lebih orangtua yang latar belakang pendidikannya rendah, pun ekonomi kurang. Adanya Jalur Domisili yang skemanya masih sama dengan Jalur Zonasi sudah pasti tak menggugah mereka untuk memotivasi anaknya belajar dengan penuh gairah.
Sebab, seperti keyakinan yang tertanam di dalam diri anak, yaitu buat apa belajar kalau melalui Jalur Domisili, tanpa nilai yang bagus saja, dapat diterima di sekolah yang dekat dengan tempat tinggal.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI