Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Siapa Saja yang Bisa Menjalankan Konseling?

17 Maret 2025   09:00 Diperbarui: 17 Maret 2025   23:24 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di zaman yang semakin canggih saat ini, banyak nilai-nilai kemanusiaan yang tergerus. Interaksi antarmanusia semakin terbatas, tergantikan oleh interaksi dengan teknologi yang tanpa batas. Dampaknya, banyak manusia merasakan kehampaan, kesepian di tengah keramaian. Di titik inilah manusia mulai merasa memerlukan manusia lainnya untuk tempat berbagi cerita.

Salah satu yang dilakukan dalam ruang konseling adalah melakukan interaksi antar manusia, yang dilakukan secara manusiawi.  Yaitu interaksi antara klien/konseli dengan konselor dalam sebuah proses yang dinamis untuk menciptakan perubahan tertentu. Di ruang inilah mereka yang sedang galau, merasa hampa, kesepian dan bermasalah mendapatkan tempat untuk diakui dan diterima sebagai manusia seutuhnya.

Memahami Dunia Konseling

Konseling berbeda dengan interaksi antarmanusia pada umumnya. Purwaningrum (2013) menyatakan, paling tidak ada tiga hal esensial dalam dunia konseling. Pertama, konseling adalah proses pemberian bantuan (helping process).

Kedua, terbangun suatu hubungan manusiawi yang unik antar dua individu atau lebih, yaitu klien/konseli dengan kebutuhan dan masalah perkembangannya; dan konselor dengan keahlian dan jaminan kepercayaannya. Ketiga, dilakukan dengan tujuan untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, pemecahan masalah, ataupun pengambilan keputusan bagi kesejahteraan konseli.

Apakah semua orang bisa menjalankan proses konseling? Apakah semua orang bisa menjadi konselor? Gerard Egan & Robert J. Reese (2019) memberikan jawaban, dengan membagi konselor menjadi beberapa tingkatan dan kategori.

Tingkatan pertama adalah mereka yang dipersiapkan untuk menjadi konselor melalui jalur pendidikan formal. Misalnya adalah konselor yang bersertifikasi dari asosiasi profesi konseling; atau psikolog yang telah bersertifikasi dari asosiasi psikologi. Mereka lulus kuliah dari fakultas Bimbingan dan Konseling / Bimbingan dan Penyuluhan, atau fakultas Psikologi; kemudian melanjutkan kuliah profesi dan mengikuti sertifikasi.

Tingkatan kedua disebut sebagai para-profesional, yaitu orang-orang yang bekerja dalam bidang kemanusiaan. Mereka tidak secara khusus menempuh pendidikan formal untuk menjadi konselor, namun dalam aktivitas pekerjaannya dituntut untuk selalu berhubungan dengan manusia dan memungkinkan terjadinya hubungan konseling. Misalnya dokter, perawat, bidan, apoteker, termasuk para pemuka agama.

Tingkatan ketiga, adalah mereka yang bekerja di bidang  non-kemanusiaan, namun sering dituntut untuk melakukan konseling secara tidak profesional, alias secara sosial. Misalnya pelayan di restoran, penjaga warung "angkringan", penjaga caf, sopir taksi, pekerja salon, tukang cukur rambut, dan lain sebagainya.

Tingkat keempat adalah siapa saja. Pada dasarnya semua orang bisa melakukan konselng non profesional untuk siapapun yang membutuhkan. Misalnya orangtua kepada anaknya, guru atau waki kelas kepada muridnya, pengasuh majelis taklim kepada jamaahnya, tante kepada keponakan, konseling di antara sesama sahabat, dan sebagainya. Termasuk pegiat masyarakat, kader PKK, kader Posyandu, dan yang semacamnya.

Mulawarman dan Eni Rindi Antika (2020) menyimpulkan, bahwa siapa saja dapat melakukan aktivitas konseling, yang membedakan adalah tingkat profesionalitasnya. Sebagian melakukan aktivitas konseling lebih profesional dibanding yang lain.

Profesional dan Sosial

Hal lain yang turut membedakan "tingkatan" konselor adalah corak layanannya. Ada yang sepenuhnya profesonal, ada yang sepenuhnya sosial, dan ada yang memberikan layanan secara sosial, namun dilakukan dengan cara profesional.

Mereka yang sepenuhnya profesional, melakukan aktivitas konseling sebagai perwujudan dan pengamalan dari ilmu yang mereka dapatkan melalui jalur pendidikan akademik yang sesuai. Mereka yang sepenuhnya sosial, melakukan aktivitas konseling sebagai manivestasi dorongan kemanusiaan yang tulus, karena memang "harus terjadi". Seperti orangtua kepada anak, atau sesama sahabat.

Sedangkan para pegiat sosial, mereka memberikan layanan konseling secara sosial, namun bisa dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi standar konseling. Mereka adalah para pegiat yang telah dibekali dengan ilmu-ilmu konseling dasar, dan menjalankan praktik konseling sesuai dengan ilmu tersebut. Mereka juga mendapatkan supervisi dan pembekalan rutin berjenjang.

Mulawarman dan Eni Rindi Antika (2020) menyatakan, yang dimaksud dengan layanan konseling adalah:

  • Layanan pemberian bantuan terhadap konseli yang dapat dipertanggungjawabkan dasar keilmuan dan teknologinya; dan
  • Bertitik tolak dari pendekatan teori sebagai dasar acuannya.

Dari pembahasan ini, seseorang yang akan menekuni konseling secara sepenuhnya profesional, bisa menempuh pendidikan yang related. Masih ditambah dengan pendidikan profesi dan sertifikasi melalui asosiasi atau lembaga profesi.

Sedangkan konseling sebagai dorongan kemanusiaan, yaitu keinginan untuk menolong orang lain, bisa dilakukan oleh siapapun. Namun demikian, agar para pelaku konseling sosial ini bisa menjalankan proses konseling yang terukur dan bisa dipertanggungjawabkan, mereka harus mendapatkan pembekalan ilmu, pengetahuan serta keterampilan yang memadai.

Mereka bisa mengikuti pembekalan/training tentang dasar-dasar konseling secara rutin dan berjenjang. Agar keilmuannya semakin bertambah dan kemampuannya semakin terasah. Mereka bisa menambah wawasan pengetahuan dan keterampilan dengan banyak membaca referensi, bertanya kepada ahli, dan mengikuti berbagai forum up-grading konselor.

Bahan Bacaan

Gerard Egan & Robert J. Reese, The Skilled Helper, a Problem Management Development Approach to Helping, Cengage India, 2019

Mulawarman dan Eni Rindi Antika, Mind-Skills, Konsep dan Aplikasinya dalam Praktik Konseling, Kencana, Jakarta, 2020

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun