Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

8 Tantangan Keluarga Muslim Indonesia yang Tinggal di Jerman

8 November 2018   05:52 Diperbarui: 8 November 2018   16:02 5145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Muslim. Sumber foto: the-faith.com

Di Jerman, semua mahal. Maka harus rela mencuci dan menyeterika pakaian sendiri. Apalagi bagi keluarga yang tidak memiliki mesin pengering, mereka masih haru menjemur pakaian di tempat yang sangat sempit.

Untuk urusan konsumsi harian pun sangat berbeda. Di Indonesia, makanan harian relatif murah, bahkan banyak tetangga yang menjualnyasejak dari sarapan pagi hingga makanan tengah malam. 

Di Jerman semua serba mahal jika diukur dengan hitungan Rupiah. Maka keluarga harus pandai mengelola semua kegiatan kerumahtanggaan agar bisa terselesaikan oleh suami, istri dananak-anak sendiri, secara lebih irit.

  • Pendidikan Anak

Hal yang cukup rumit adalah mendidik anak di negara Jerman dan Swiss. Misalnya satu keluarga Indonesia yang tinggal di Jerman karena suami mendapat tugas belajar kuliah S2 atau S3 di Jerman. Anak mereka ada tiga, yang satu sekolah tingkat SMP, yang satu tingkat SD dan yang satu belum sekolah. Di Jerman tidak banyak sekolah Islam, maka rata-rata anak-anak akan belajar di sekolah pemerintah. 

Ada problem bahasa, karena bahasa pengantar dan pergaulan adalah Jerman. Ada problem pergaulan, karena anak-anak akan bergaul dengan penduduk asli Jerman yang memiliki standar nilai maupun kultur yang berbeda dengan Indonesia.

Ditambah lagi, saat ada PR, ayah atau ibu tidak serta merta bisa membantu, karena juga kendala bahasa. Tadi malam, Fikri, yang sekolah di kelas 6, harus mengerjakan PR Bahasa Jerman. Tugasnya adalah, membaca sebuah buku dan membuat kritik atas buku itu. 

Fikri memilih buku komik Conan berbahasa Jerman, dan ia harus membuat kritik buku Conan dalam bahasa Jerman. Jika ayah dan ibunya tidak pandai berbahasa Jerman, tentu akan kesulitan untuk membantu anaknya. Di sini, anak bisa mengalami stress tambahan jika PR tak mampu ia selesaikan.

Persoalan pendidikan anak menjadi lebih rumit saat remaja. Dengan standar nilai Barat, anak-anak remaja di Eropa terbiasa melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Maka aktivitas pacaran sampai ke tingkat hubungan seks -yang menurut hukum Islam adalah dosa besar- bagi remaja Jerman dianggap kebebasan yang biasa saja. 

Apalagi di Amsterdam yang melegalkan segala sesuatu, akan lebih berat lagi menjaga remaja muslim di sana.

Sementara itu, anak-anak muslim Indonesia setiap hari berinteraksi dengan anak-anak asli Jerman yang standar nilainya sangat berbeda. Orangtua harus semakin pandai menjaga, mengawasi, mendampingi, mengarahkan dan mendidik anak-anak.

Demikianlah sekelumit situasi dan kondisi yang bisa saya tangkap dari perjalanan tiga pekan di Jerman dan Swiss.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun