Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

8 Tantangan Keluarga Muslim Indonesia yang Tinggal di Jerman

8 November 2018   05:52 Diperbarui: 8 November 2018   16:02 5145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Muslim. Sumber foto: the-faith.com

Berlin dan Zurich, adalah kota yang sangat penting bagi Jason Bourne dalam film Boune Identity. Rasanya sangat indah saat saya melihat dua kota itu di film serial Jason Bourne. 

Bersyukur pada akhir Oktober hingga awal November 2018 ini saya berkesempatan mengunjungi Jerman dan Swiss, untuk bertemu warga muslim Indonesia yang tinggal di beberapa kota di Jerman serta Zurich, Swiss. Ternyata saya tidak bertemu Jason Bourne di dua kota indah itu. Saya justru bertemu dengan komunitas muslim Indoesia di acara-acara workshop keluarga.

Hal yang sangat menyenangkan bagi saya adalah bisa silaturahim ke beberapa keluarga muslim Indonesia yang tinggal di Jerman dan Swiss. Bahkan saya bersempatan menumpang menginap di apartemen beberapa keluarga Indonesia. 

Selain menjadi irit karena tidak perlu menyewa atau membayar, yang lebih penting lagi adalah bisa silaturahim dan menjadi mengerti kehidupan keluarga mereka.

Tentu tidak mengerti sangat banyak hal, akan tetapi menjadi memahami situasi dan kondisi yang dihadapi masyarakat muslim Indonesia di dua negara Eropa tersebut.

Selama tiga pekan di Jerman, saya sempat menginap tiga malam di apartemen keluarga Tito & Nana di Frankfurt, menginap tiga malam di rumah Harald & Hartini di Stuttgart, silaturahim ke apartemen keluarga Indra & Emil di Stuttgart, silaturahim ke apartemen Andika dan Sally di Stuttgart, menginap tiga malam di apartemen Aji & Mita di Moelheim, silaturahim ke apartemen keluarga Feri & Rika di Berlin, serta sempat menginap di luar Jerman selama tiga malam, yaitu di apartemen keluarga Nanda & Reni di Zurich. Sempat pula silaturahim ke apartemen keluarga Agung di Zurich, dan apartemen keluarga Dona di Luzern (Lucerne), Swiss. Beberapa malam sempat menginap di hotel, ketika di Frankfurt dan Berlin.

Keluarga yang saya tumpangi tersebut ada tiga "jenis". Yang pertama adalah adalah mahasiswa yang tengah studi di Jerman. Yang kedua adalah warga Indonesia yang bekerja dan tinggal di Jerman serta Zurich. Yang ketiga adalah warga asli Jerman yang menikah dengan perempuan muslimah Indonesia. Semuanya keluarga muslim, yang terdiri dari suami, istri serta anak-anak. Hanya satu keluarga yang saya tumpangi, dimana mereka tidak dikaruniai anak dari pernikahan mereka.

Dari tiga jenis keluarga yang saya tumpangi selama di Jerman dan Swiss tersebut, saya mendapatkan banyak pelajaran. Hidup berumah tangga ---sebagai pendatang--- di negara Eropa yang minoritas muslim tersebut, memiliki sangat banyak warna dan dinamika. 

Saya mengamati ada delapan situasi dan kondisi, yang menjadi tantangan bagi keluarga muslim di Jerman dan Swiss. Delapan tantangan tersebut sangat khas, yang tentu saja sangat berbeda dengan situasi kondisi di tanah air kita.

dokpri
dokpri
  • Kehidupan Ibadah

Menyaksikan kehidupan keluarga muslim Indonesia yang tinggal di Jerman dan Zurich, tampak sangat berbeda dengan keluarga muslim di tanah air. Dalam kehidupan ibadah, tentu tidak leluasa dibanding dengan negara-negara mayoritas muslim. 

Sangat sedikit jumlah masjid, tidak ada adzan yang dikumandangkan keluar masjid, sangat terbatas jumlah lembaga keislaman yang menyediakan sarana ibadah maupun kegiatan keislaman secara umum.

Bahkan di Swiss, sejak tahun 2009 ada larangan terhadap bangunan masjid, yaitu masjid tidak boleh memiliki menara.

Ada beberapa masjid milik masyarakat muslim Turki di berbagai kota di Jerman. Yang sangat mengagumkan adalah masjid Turki yang ada di tengah Kota Koln, juga masjid Turki yang ada di pinggiran kota Frankfurt.

Masjid yang ada di tengah Kota Koln sangat standar sebagai sebuah masjid, lengkap dengan menara yang tinggi, dan ruang-ruang untuk tempat kegiatan. 

Masjid tersebut sangat besar untuk ukuran kota Koln, dan secara arsitek tampak futuristik.

Sedangkan masjid Turki yang di Frankfurt tergolong baru, dari luar tampak bangunan biasa, namun dalamnya sangat berkesan dan nyaman.

Masyarakat Indonesia memiliki sebuah masjid sendiri di Berlin, yaitu rumah apartemen yang disewa bulanan, dan dijadikan sebagai masjid. Di Frankfurt, masyarakat Indonesia juga sudah memiliki masjid, namun statusnya juga masih menyewa. 

Masjid milik masyarakat Indonesia yang ada di Jerman tentu tidak bisa disamakan seperti di Indonesia. Karena warga muslim tinggal berpencaran di tempat yang berjauhan, tidak mengumpul dalam satu kawasan tertentu, sehingga jarak tempuh menuju masjid menjadi salah satu persoalan tersendiri.

Masjid juga menjadi sangat padat dan ramai saat ibadah Jumat, karena kumpulan dari warga muslim dari berbagai wilayah yang berjauhan.

Masyarakat muslim Indonesia memiliki kegiatan pengajian, baik yang umum dan terbuka maupun yang khusus untuk anak-anak, rata-rata hari Sabtu dan Minggu, karena itu hari libur sekolah, kuliah, maupun kerja. 

Untuk menuju masjid, anak-anak harus diantar orangtuanya karena jauh dari apartemen, dan harus naik trem, bus atau kereta api. Ini berarti menambah kesibukan kegiatan orangtua.

Di Indonesia, anak-anak akan berangkat dan pulang sendiri untuk TPA sore hari di masjid sebelah rumah.

Tantangan lainnya adalah pada pakaian muslimah. Di beberapa tempat di Jerman, masih ada pihak-pihak yang menista perempuan berbusana muslimah. Mereka mengejek dengan kata-kata yang menyakirtkan hati. 

Ini tentu satu tantangan tersendiri namun sekaligus menambah besarnya pahala bagi para muslimah tersebut. Sesekali waktu ada demonstrasi anti Islam dari beberapa kalangan, ini juga menambah tantangan dalam menunjukkan jati diri keislaman di Jerman.

Di berbagai pusat wisata dan perbelanjaan di Jerman, masih cukup sulit untuk mendapatkan tempat shalat. Maka saat berkegiatan di luar rumah, harus sangat perhatian dengan jam waktu shalat, untuk menentukan lokasi untuk melaksanakan shalat lima waktu. 

Rata-rata warga muslim di Jerman akan saling menginformasikan lokasi-lokasi masjid, atau tempat-tempat yang biasa digunakan untuk shalat.

Saat jalan-jalan di Stuttgart, saya diajak melaksanakan shalat Duhur di suatu kampus, bukan karena di kampus tersebut ada masjidnya, namun karena ada satu space di bawah tangga, yang biasa digunakan untuk shalat oleh para mahasiswa muslim.

  • Pergaulan Sosial dan Pertemanan

Di Indonesia, kita bisa mengobrol dengan sembarang orang yang kita temui. Misalnya, saat di toko, di angkot, di pasar, kita bisa mengobrol dan bergaul dengan banyak orang. Bukan hanya yang sudah kita kenal, bahkan bisa mengobrol dengan orang-orang yang belum kita kenal sama sekali. 

Di Jerman dan Swiss, tentu tidak leluasa seperti itu. Ada kendala bahasa pergaulan, ada pula kendala kultur kebiasaan. Maka secara pergaulan, menjadi lebih terbatas. Rata-rata hanya bergaul dengan sesama warga Indonesia.

Di Jerman atau Swiss, kita tidak bisa sembarangan mengetuk pintu rumah tetangga untuk mengobrol dengan mereka, karena kultur kehidupannya sangat menjaga privasi.

Berbeda dengan Indonesia, apalagi di kampung-kampung seperti tempat tinggal saya di wilayah Bantul Yogyakarta, semua orang leluasa mengunjungi rumah tetangga dan mengobrol berlama-lama. 

Kita bisa menitipkan anak kecil di rumah tetangga saat kita tinggal bepergian. Kita bisa menitipkan barang ke rumah tetangga, dan tidak dicurigai, karena sudah sama-sama mengenal dengan baik.

Karena jumlah warga Indonesia di beberapa kota di Jerman belum banyak, maka untuk membangun komunitas sosialita juga tidak mudah.

Mereka biasanya banyak berkomunikasi dan mengekspresikan pertemanan melalui jejaring sosial. Sesekali waktu mereka mengadakan pertemuan dan berkegiatan bersama, sesuai dengan komunitas yang digeluti masing-masing.

  • Makanan Halal dan Cita Rasa

Persoalan lain yang dihadapi keluarga muslim di negara Eropa adalah makanan halal. Mereka harus jeli mencermati sediaan bahan makanan maupun makanan jadi yang dijual di berbagai toko. 

Beruntung jika menempati kota besar yang banyak penduduk muslim, biasanya banyak toko serta restoran halal.

Di Berlin, Frankfurt, Stuttgart dan kota-kota lainnya, sudah banyak imigran muslim dari berbagai negara, maka banyak pula penjual makanan dan bahan makanan halal. 

Kebanyakan dari Turki, Libanon, India serta negara Timur Tengah. Salah satu makanan favorit saya selama di Jerman adalah Kebab Turki. Makanan ini sangat banyak tersedia di berbagai kota di Jerman dan Swiss.

Namun bagi mereka yang tinggal di wilayah yang jauh dari perkotaan, tidak cukup mudah mendapatkan toko dan restoran halal.

Tentu memerlukan perjuangan sendiri untuk berbelanja ke tempat yang lumayan jauh demi mendapatkan bahan makanan halal. 

Demikian pula problem anak-anak sekolah, saat mereka makan siang. Sekolah publik tidak menyediakan slot khusus makanan halal, maka orangtua perlu membekali anak dengan makanan dari rumah agar bisa menjamin kehalalan makanan anak-anak.

Ada lagi persoalan cita rasa. Masyarakat Indonesia yang sudah biasa dengan cita rasa Indonesia, tentu harus beradaptasi dengan makanan dan berbagai bahan makanan  yang tidak sama dengan Indonesia.

Di Berlin sudah ada beberapa restoran Indonesia. Sangat istimewa rasanya ketika saya disuguhi nasi bungkus Padang lengkap dengan sambal hijau, sayuran dan rendang Padang.

  • Tempat Tinggal

Rata-rata keluarga Indonesia di Jerman dan Swis mengontrak apartemen untuk tempat tinggal mereka. Secara umum, di negara-negara Eropa berlaku aturan mengenai tempat tinggal yang disesuaikan dengan jumlah penghuninya. 

Maka seluas atau sesempit apa apartemen yang dikontrak harus menyesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Makin banyak jumlah anak, harus makin luas pula apartemen yang mereka sewa. Artinya, biaya sewa apartemen menjadi lebih mahal apabila memiliki lebih banyak anak.

Apartemen tentu sebuah konsep tempat tinggal yang minimalis dan individualistis. Terdiri dari kamar tidur, ruang keluarga, kamar mandi, dan dapur. Untuk tipe tertentu ditambah dengan teras. 

Bagi keluarga yang memiliki anak kecil tidak memiliki ruang yang memadai untuk bergerak dan bermain. Saya lihat di sekitar apartemen juga tidak ada area khusus untuk bermain anak-anak.

Di Indonesia, terlebih di kampung, anak-anak sangat leluasa bermain kemana saja. Semua orang kampung ikut menjaganya.

Persoalan tinggal di apartemen menjadi keunikan tersendiri. Mereka tidak saling mengenal walau tinggal di apartemen yang sama dan lantai yang sama. Mereka berbatasan dinding tembok saja, namun hampir tidak pernah berinteraksi, selain sekedar "say hello" saat sama-sama keluar ruang apartemen untuk bekerja misalnya. 

Mereka juga tidak boleh menimbulkan gangguan kenyamanan bagi tetangga sebelah yang hanya bebatas dinding tembok. Maka suara ribut, atau bau yang ekstrem, akan bisa menjadi masalah bagi tetangga apartemen.

Di Indonesia, saya senang mencium bau terasi yang dibakar tetangga untuk sambal. Saya menjadi mengerti tetangga saya memasak sambal terasi dari bau yang menyebar ke lima rumah di sekitarnya.

Di Jerman, jangan harap bisa mengumbar bau terasi secara terbuka.

  • Transportasi dan Mobilitas Kegiatan

Tinggal di Jerman, Swiss dan negara Eropa lainnya harus akrab dengan kereta api, trem maupun bus. Secara umum transportasi sangat bagus dan nyaman, namun memerlukan energi dan "stress" tersendiri untuk melakukan mobilitas dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Sarana transportasi umum sangat informatif, termasuk ketika ada pembatalan keberangkatan kereta api disebabkan adanya gangguan tertentu, seperti perbaikan jalan atau demonstrasi.

Seperti saat saya tengah di Zurich, beberapa jalur kereta api dibatalkan berangkat karena tengah ada demonstrasi dari pekerja bangunan di pusat kota. Informasi sangat detail dan akurat disebar dimana-mana.

Satu sisi kenyamanan transportasi di Eropa tampak menyenangkan. Namun di sisi lain bisa menimbulkan masalah kepraktisan. Bandingkan dengan kehidupan di tanah air.

Di Indonesia, dengan mudah seorang ibu rumah tangga naik motor kemana-mana membawa tiga atau bahkan empat anak-anak kecil mereka. 

Mengantar dan menjemput anak sekolah dalam satu sepeda motor sangat praktis dan mudah. Hal ini tidak mungkin terjadi di Jerman. Naik mobil pun, anak-anak harus menduduki kursi sendiri dengan kursi khusus anak. Tidak boleh dipangku.

Di Jerman, kemana-mana harus naik kendaraan umum, sehingga jika keluarga tengah memiliki beberapa anak yang masih kecil, bepergian menjadi perjuangan tersendiri.

Keluarga Tito memiliki tiga anak, dimana yang nomer dua dan nomer tiga masih balita. Kemana-mana mereka membawa satu kereta bayi bertingkat dua, untuk dua balita tersebut.

Beruntung, kereta api, trem maupun bus di Jerman semuanya ramah anak dan ramah kereta bayi. Ada space untuk menaruh kereta bayi.

  • Ritme Kesibukan

Sekolah, kuliah dan bekerja, umumnya dari Senin hingga Jumat. Sedangkan hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur nasional.

Sebagian mahasiswa, menjadikan Sabtu dan Minggu untuk bekerja, karena mereka harus eksis menghidupi diri sendiri lantaran tidak mendapat beasiswa. Dengan demikian, semua hari adalah hari sibuk. 

Termasuk pada beberapa pasangan suami istri yang keduanya masih kuliah, mereka bekerja pada week end, untuk mendapatkan penghasilan. Ritme kesibukan mereka menjadi luar biasa.

Bagi keluarga muslim, kesempatan mereka untuk berkegiatan bersama semua anggota keluarga adalah saat hari Sabtu dan Minggu. Namun karena rata-rata orang libur, maka berbagai macam kegiatan juga dilaksanakan pada dua hari week end tersebut.

Dampaknya, sering terjadi benturan kegiatan, dan menyebabkan adanya kerempongan tersendiri. 

Seorang suami mengeluh, lantaran istrinya rajin ikut kegiatan, maka Sabtu dan Minggu tidak bisa menjadi hari keluarga. Saya memang merasakan, semua orang Jerman itu sibuk. Isinya orang belajar dan bekerja. Maka tidak gampang mencari teman yang bisa menemani jalan-jalan.

Misalnya seorang istri yang tidak bekerja, dan full ibu rumah tangga. Ia mengurus anak-anak setiap hari, menyiapkan keperluan sekolah, mengurus rumah, terlebih yang masih memiliki memiliki anak menyusui. 

Ia banyakberada di dalam rumah dari Senin sampai Jumat. Sedangkan suami bekerja dari Senin sampai Jumat. Kesempatan family time adalah Sabu dan Minggu.

Namun hari Sabtu dan Minggu justru bertumpuk-tumpuk acara yang sangat menarik untuk diikuti. Di sini suami dan istri harus pandai mengatur ritme kegiatan, agar semua tetap seimbang.

  • Sinergi Suami Istri

Pasangan suami istri yang tinggal di negara-negara Eropa harus memiliki tingkat kekompakan dan sinergi yang lebih tinggi dibanding dengan keluarga yang tinggal di Indonesia.

Mengapa demikian? Karena mereka harus mengerjakan semuanya "sendiri", karena tidak ada pembanrtu rumah tangga. 

Mereka harus memasak, mencuci pakaian, menyeterika, membersihkan rumah, membuang sampah, mengurus anak, mengurus tanaman, dan semua pekerjaan kerumahtanggaan lainnya. Suami dan istri harus pandai berbagi peran, agar semua bisa berjalan dengan baik.

Di Indonesia, ada sangatbanyak tenaga untuk membantu kerepotan rumah tangga kita, apalagi yang tinggal di kampung. Sangat banyak orang yang bersedia membantu orang lain dengan suka rela. 

Belum lagi ditambah bantuan keluarga besar. Ada ibu kandung atau ibu mertua yang bisa membantu mengurus anak bayi, ada saudara atau tetangga yang bisa membantu mengerjakan berbagai kerepotan keluarga. Di Jerman tidak ada itu semua. Semua keluarga harus mandiri.

Sekedar untuk mencuci, menjemur dan menyeterika pakaian, sangat berbeda di Indonesia dan di Jerman. Di Indonesia, biaya laundry pakaian sangat murah.

Di kampung saya, laundry pakaian satu kg hanya Rp. 4.000 saja. Itu sudah lengkap dengan seterika rapih dan wangi. Maka di tanah air kita tidak harus mencuci dan menyeterika sendiri, tinggal dibawa ke jasa laundry. 

Di Jerman, semua mahal. Maka harus rela mencuci dan menyeterika pakaian sendiri. Apalagi bagi keluarga yang tidak memiliki mesin pengering, mereka masih haru menjemur pakaian di tempat yang sangat sempit.

Untuk urusan konsumsi harian pun sangat berbeda. Di Indonesia, makanan harian relatif murah, bahkan banyak tetangga yang menjualnyasejak dari sarapan pagi hingga makanan tengah malam. 

Di Jerman semua serba mahal jika diukur dengan hitungan Rupiah. Maka keluarga harus pandai mengelola semua kegiatan kerumahtanggaan agar bisa terselesaikan oleh suami, istri dananak-anak sendiri, secara lebih irit.

  • Pendidikan Anak

Hal yang cukup rumit adalah mendidik anak di negara Jerman dan Swiss. Misalnya satu keluarga Indonesia yang tinggal di Jerman karena suami mendapat tugas belajar kuliah S2 atau S3 di Jerman. Anak mereka ada tiga, yang satu sekolah tingkat SMP, yang satu tingkat SD dan yang satu belum sekolah. Di Jerman tidak banyak sekolah Islam, maka rata-rata anak-anak akan belajar di sekolah pemerintah. 

Ada problem bahasa, karena bahasa pengantar dan pergaulan adalah Jerman. Ada problem pergaulan, karena anak-anak akan bergaul dengan penduduk asli Jerman yang memiliki standar nilai maupun kultur yang berbeda dengan Indonesia.

Ditambah lagi, saat ada PR, ayah atau ibu tidak serta merta bisa membantu, karena juga kendala bahasa. Tadi malam, Fikri, yang sekolah di kelas 6, harus mengerjakan PR Bahasa Jerman. Tugasnya adalah, membaca sebuah buku dan membuat kritik atas buku itu. 

Fikri memilih buku komik Conan berbahasa Jerman, dan ia harus membuat kritik buku Conan dalam bahasa Jerman. Jika ayah dan ibunya tidak pandai berbahasa Jerman, tentu akan kesulitan untuk membantu anaknya. Di sini, anak bisa mengalami stress tambahan jika PR tak mampu ia selesaikan.

Persoalan pendidikan anak menjadi lebih rumit saat remaja. Dengan standar nilai Barat, anak-anak remaja di Eropa terbiasa melakukan hubungan seksual dengan pacarnya. Maka aktivitas pacaran sampai ke tingkat hubungan seks -yang menurut hukum Islam adalah dosa besar- bagi remaja Jerman dianggap kebebasan yang biasa saja. 

Apalagi di Amsterdam yang melegalkan segala sesuatu, akan lebih berat lagi menjaga remaja muslim di sana.

Sementara itu, anak-anak muslim Indonesia setiap hari berinteraksi dengan anak-anak asli Jerman yang standar nilainya sangat berbeda. Orangtua harus semakin pandai menjaga, mengawasi, mendampingi, mengarahkan dan mendidik anak-anak.

Demikianlah sekelumit situasi dan kondisi yang bisa saya tangkap dari perjalanan tiga pekan di Jerman dan Swiss.

Secara umum, kehidupan di Jerman dan Swiss sangat mengasyikkan karena penuh dinamika dan tantangan. Hanya saja, butuh kesiapan dan kesanggupan untuk menjelani dan menikmatinya.

Singapura Airlines SQ 345, 7 November 2018, penerbangan Zurich - Singapura

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun