Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

8 Tantangan Keluarga Muslim Indonesia yang Tinggal di Jerman

8 November 2018   05:52 Diperbarui: 8 November 2018   16:02 5145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Muslim. Sumber foto: the-faith.com

Tantangan lainnya adalah pada pakaian muslimah. Di beberapa tempat di Jerman, masih ada pihak-pihak yang menista perempuan berbusana muslimah. Mereka mengejek dengan kata-kata yang menyakirtkan hati. 

Ini tentu satu tantangan tersendiri namun sekaligus menambah besarnya pahala bagi para muslimah tersebut. Sesekali waktu ada demonstrasi anti Islam dari beberapa kalangan, ini juga menambah tantangan dalam menunjukkan jati diri keislaman di Jerman.

Di berbagai pusat wisata dan perbelanjaan di Jerman, masih cukup sulit untuk mendapatkan tempat shalat. Maka saat berkegiatan di luar rumah, harus sangat perhatian dengan jam waktu shalat, untuk menentukan lokasi untuk melaksanakan shalat lima waktu. 

Rata-rata warga muslim di Jerman akan saling menginformasikan lokasi-lokasi masjid, atau tempat-tempat yang biasa digunakan untuk shalat.

Saat jalan-jalan di Stuttgart, saya diajak melaksanakan shalat Duhur di suatu kampus, bukan karena di kampus tersebut ada masjidnya, namun karena ada satu space di bawah tangga, yang biasa digunakan untuk shalat oleh para mahasiswa muslim.

  • Pergaulan Sosial dan Pertemanan

Di Indonesia, kita bisa mengobrol dengan sembarang orang yang kita temui. Misalnya, saat di toko, di angkot, di pasar, kita bisa mengobrol dan bergaul dengan banyak orang. Bukan hanya yang sudah kita kenal, bahkan bisa mengobrol dengan orang-orang yang belum kita kenal sama sekali. 

Di Jerman dan Swiss, tentu tidak leluasa seperti itu. Ada kendala bahasa pergaulan, ada pula kendala kultur kebiasaan. Maka secara pergaulan, menjadi lebih terbatas. Rata-rata hanya bergaul dengan sesama warga Indonesia.

Di Jerman atau Swiss, kita tidak bisa sembarangan mengetuk pintu rumah tetangga untuk mengobrol dengan mereka, karena kultur kehidupannya sangat menjaga privasi.

Berbeda dengan Indonesia, apalagi di kampung-kampung seperti tempat tinggal saya di wilayah Bantul Yogyakarta, semua orang leluasa mengunjungi rumah tetangga dan mengobrol berlama-lama. 

Kita bisa menitipkan anak kecil di rumah tetangga saat kita tinggal bepergian. Kita bisa menitipkan barang ke rumah tetangga, dan tidak dicurigai, karena sudah sama-sama mengenal dengan baik.

Karena jumlah warga Indonesia di beberapa kota di Jerman belum banyak, maka untuk membangun komunitas sosialita juga tidak mudah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun