Hari itu kampung geger. Tapi bukan geger karena sapi hilang, bukan pula geger karena jembatan putus atau anak muda kawin lari. Ini geger karena nenek saya---buyutnya Zahira---yang sudah sepuh dan jalannya pelan seperti zikir di pagi hari, tiba-tiba ingin membeli kulkas. Bukan sembarang kulkas. Katanya harus yang baru, yang warnanya mencolok. Kalau bisa warna merah cabe. Atau hijau stabilo. Pokoknya, kulkas itu harus seperti bibir artis TikTok.
Kami semua bingung.
Beliau ini sudah sangat jompo. Kalau berjalan saja perlu tongkat dan doa. Minum es pun bukan kebiasaan, karena katanya membuat sendi berteriak. Tapi kali ini, keinginan beliau begitu kuat. Seperti mimpi yang tak bisa ditunda. Saya yang ditunjuk menjadi penanggung jawab misi pencarian kulkas warna-warni ini. Entah kenapa, semua anggota keluarga sepakat: "Yang paling cocok mencarikan itu memang kamu, soalnya kamu cucu kesayangannya."
Saya mengiyakan. Mana bisa menolak permintaan seorang nenek yang dulu menjadi rumah pertama saya sebelum mengenal asrama pesantren dan hidup berbantalkan kitab. Di rumah itulah saya tumbuh, makan telur ceplok tiap pagi, dan belajar bedakan antara suara ayam dan suara istri tetangga marah-marah.
Tapi tetap saja ini absurd.
Kulkas. Untuk nenek-nenek sepuh yang bahkan kadang lupa apakah sudah minum air putih hari itu. Ketika saya tanya kenapa harus beli kulkas, jawabannya malah semakin membuat saya khusyuk merenung.
"Supaya nanti kalau Zahira datang, bisa langsung saya kasihkan puding dingin. Anak kecil suka yang manis-manis kan?" katanya.
Saya terdiam. Ada jeda sunyi yang melambatkan waktu. Ternyata ini bukan sekadar kulkas. Ini bentuk cinta dari seorang buyut kepada cicitnya. Dan karena beliau tahu usianya sudah lebih banyak dari jumlah episode sinetron, ia ingin meninggalkan sesuatu yang terasa, meski dingin, tapi menghangatkan.
Zahira memang belum bisa makan puding. Umurnya baru empat bulan. Tapi cinta buyut tidak menunggu gigi tumbuh atau lidah pandai bicara. Ia hanya ingin meninggalkan jejak rasa, bahwa ketika kelak Zahira besar dan mampir ke rumah nenek buyutnya, ada kulkas tua yang menjadi saksi kasih sayang.
Saya pun akhirnya berangkat. Keliling toko elektronik dari Maros sampai Makassar. Mencari kulkas yang cocok, bukan hanya ukurannya, tapi juga warnanya. Karena kata nenek, "Kalau warnanya pucat, nanti Zahira kira itu kuburan." Dan saya tak ingin Zahira punya trauma kulkas sejak dini.
Akhirnya saya temukan satu kulkas warna merah metalik. Warnanya mencolok seperti semangat nenek yang tak lekang meski rambut sudah perak. Harganya lumayan. Tapi saya tak punya hati untuk menawar. Bukan karena takut didoakan kurang rezeki, tapi karena saya tahu ini bukan tentang kulkas. Ini tentang memori. Tentang kasih. Tentang pewarisan nilai-nilai yang tak tertulis di buku warisan.
Ketika kulkas itu sampai,
nenek tersenyum. Tangannya yang gemetar menyentuh permukaan pintu kulkas seperti sedang menyentuh wajah cucunya yang pulang dari rantau. "Bagus. Kayak jantung," katanya.