"Iya, benar. Pasti! Yakinlah, tidak bakal ada kekecewaan. Toh, Adik sudah lama jomlo, kan?"
Rudi tertegun. Sejumput daging di pundaknya bergerak naik turun. Hatinya antara semangat dan putus asa. Tapi, Rudi tak begitu khawatir. Selama ini ia sering bersahabat dengan kuburan setelah beberapa kali ikut Mamangnya, Mang Jack menggali kuburan.
"Mbah, kira-kira hari ini sudah ada jomlo yang meninggal apa belum, ya?" tanya Rudi dengan nada penasaran.
"Uhuk..huk...huk. Nah, itu masalahnya, Dik! Dalam beberapa minggu ini, belum ada satupun jomlo yang meninggal. Sepertinya Adik harus bersabar," terang Mbah Krisna sambil menahan dahak dalam batuknya.
"Oke. Makasih, Mbah. Aku minta nomor handphone Mbah, ya. Biar nanti kalo aku mau nikah, aku bisa borong martabaknya." Tegas Rudi sembari mencatat nomor handphone Mbah Krisna yang terpampang besar di gerobak martabak.
 Ini, aku bayar. Sepuluh ribu... Makasih, Mbah!"
"Eh, tunggu, Dik! Tapi tali pocongnya harus benar-benar yang jomlo, ya. Kalau tidak..."
Tanpa memanjangkan khayalnya, Rudi segera bergegas menuju kuburan. Beruntungnya lokasi TPU tidak terlalu jauh hingga ia bisa segera mencari tali pocong jomlo malam itu juga.
***
Pukul sebelas malam Minggu, akhirnya Rudi tiba di kuburan. Rudi tidak sendirian. Ia mengajak Om Jack untuk menemaninya. Tengah malam seorang diri di kuburan, Rudi mana mungkin seberani itu.
"Rud, kayaknya dalam setahun ini enggak ada deh pemuda jomlo yang meninggal," tegas Om Jack yang sebenarnya mulai takut.