Tupperware dikabarkan memiliki utang yang besar, yaitu sekitar US$ 1 miliar hingga US$ 10 miliar, dan mengalami tekanan keuangan serius akibat menurunnya permintaan dan kerugian.
Model bisnis yang ketinggalan zaman
Tupperware masih bergantung pada pemasaran langsung dan penjualan melalui demonstrasi, yang tidak efektif di era digital saat ini.
Kombinasi dari faktor-faktor tersebut menyebabkan Tupperware kesulitan untuk bertahan dan akhirnya memutuskan untuk menutup bisnisnya di beberapa negara, termasuk Indonesia .
Tantangan yang Dihadapi Tupperware
Sebelum menutup bisnisnya, Tupperware, perusahaan yang terkenal dengan produk-produk penyimpanan makanan plastiknya, telah lebih dulu menghadapi beberapa tantangan yang menyebabkan penurunan bisnisnya, yakni:Â
(1) Konsumen semakin mengutamakan keberlanjutan dan lingkungan, sehingga produk plastik menjadi kurang populer;Â
(2) Munculnya pesaing baru dengan produk yang lebih inovatif dan ramah lingkungan;Â
(3) Penjualan Tupperware menurun karena perubahan gaya hidup dan preferensi konsumen; danÂ
(4) Tupperware menghadapi masalah keuangan, termasuk utang yang besar dan penurunan pendapatan.
Tupperware telah melakukan upaya restrukturisasi dan diversifikasi produk untuk meningkatkan bisnisnya, namun hasilnya masih belum pasti.Â
Produk Tupperware memang dikenal pula cukup mahal. Ya, mahal karena kualitas memang mumpuni. Akibatnya, produk serupa pun mulai bermunculan dengan harga miring. Bahkan, imitasi produk Tupperware juga sudah dijumpai sebagai merchandise di acara resepsi pernikahan.