Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Di Balik Bubur Ayam Rumahan, Ada Usaha Besar Pembuatnya

3 Maret 2021   18:33 Diperbarui: 3 Maret 2021   18:45 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bubur Rumahan KKP I Foto: OtnasusidE

Dari sejak pacaran hingga hari ini. Hari Sabtu dan Minggu adalah hari libur kecuali untuk ibadah. Hari unjuk kebolehan bagi Kaki Kupu-kupu (KKP). Biasanya sejak Jumat kepala KKP sudah berputar, merencanakan apa yang akan diolah, dimasak di kontrakan, kos dan terakhir rumah sendiri. Artinya sejak zaman nomaden hingga tinggal di rumah sendiri, begitu kelakuannya.

Terus terang, KKP selain ada kelebihan juga punya kelemahan, satu yang epik adalah membuat nasi goreng. Kegagalan membuat nasi goreng memunculkan  istilah "nasi goreng spicy" karena nasinya kepedasan dan keasinan, "nasi goreng lelembut" karena nasinya kelembutan kebayakan kecap, terakhir "nasi goreng cinta". Dibuat secara mendadak dan rasanya hambar, hanya terasa bawang putih, kurang garam karena KKP ada kegiatan pagi hari dan berkeinginan membuat sarapan untuk anak-anak dan suaminya. Itulah romansa KKP padaku, pada sulung, tengah dan bungsu.

Semua kegagalan itu jelas menjadi bahan perudungan kami pada KKP. Kalau dia ngambek maka mukanya seperti udang rebus. Dan biasanya telunjuknya akan muncul. Tiga anaknya akan langsung berlindung dibalik tubuh sang ayah, agar tidak terkena sihir jari telunjuk penyihir.

Apakah KKP adalah kegagalan seorang perempuan menjadi teman, pacar, suami dan ibu? Tidak. Bagi ketiga, bahkan keempat anak kami (satu di surga) dia adalah ibu yang baik, sangat baik malah. Ibu yang rela mengandung sambil bekerja, ibu yang rela menyetir jarak jauh untuk mencari sesuap nasi. Sampai kandungannya mentok di setir, barulah dia rela menyerahkan setir kepada suaminya yang selalu berkeringat kalau nyetir walau AC sudah disetel paling dingin.

Kegagalan masakan KKP bagi kami adalah berkah. Ada kelucuan dan juga kebahagian merudung KKP dengan cinta. Kalau berhasil ya jelas dipuji dong. Nggak "fair" dong kalau dirudung terus tapi nggak ada pujian.

Cinta dalam sebuah masakan itu terpancar dari aura masakan. Nasi sisa kemarin kalau masih banyak sudah jarang digoreng. Sekarang diolah menjadi bubur ayam. Apakah sukses? Sukses setelah tiga kali gagal total. Walau gagal total, sebagai kaum dibawah pengaruh sihir telunjuk lancip, bubur ayam itu tetap dinikmati. Kadang keasinan, kadang kegurihan. Itu saja.

Khusus bubur ayam, KKP dan bungsu yang perempuan merupakan kaum bubur diaduk. Sebaliknya, ayahnya dan dua anak lelakinya termasuk kaum bubur tidak diaduk. Dua kaum garis keras ini, kalau makan semeja tetap saling menghormati satu sama lain. Perbedaan itu indah dan mengasikkan. Bisa jadi canda tawa di meja mengeluarkan hormon dopamin yang ngangenin.

Bisa jadi perbedaan garis keras bubur dimulai dari orang tuanya. Sepulang dari Klinik Yasmin di Jalan Diponegoro belasan tahun lalu, keduanya mencoba untuk makan Bubur Cirebon di Cikini. Satu memakai telur, satu tidak, satu suka kacang kedelai goreng dan emping, satunya tidak.

KKP tetap memesan dua bubur pakai telur dan pakai kacang kedelai goreng plus emping. Komplit. Mengapa? Ketika pesanan datang, dengan kalem KKP menyuruhku untuk berdoa sebelum makan. Menurutlah, dan selama aku berdoa, KKP memindahkan kacang kedelai, telur dan emping dari mangkoknya ke mangkukku. Dari mangkokku berpindah cakue ke mangkoknya.

Dirinya sendiri sebelum berdoa berkata, "jangan kau pindahkan lagi cakue!" Matanya mendelik. Setelah berdoa dia tersenyum. "Kamu kan butuh kerja keras. Jadi butuh banyak protein," katanya sambil memainkan telunjuknya.

Apakah doaku khusuk? Entahlah, aku bersyukur saja karena masih bisa makan bubur ayam bersamanya dan menikmati bubur bertelur dua. Bubur berprotein lumayan tinggi. Mari tersenyum sebagai kaum lelaki.

Terkejut kan! Cinta itu ternyata penuh perbedaan. Cinta tidak selamanya harus sama. Kalau kau cinta, terimalah friksi dan konflik.

Membuat semangkuk bubur itu ada banyak usaha dari KKP. Semangkuk bubur itu ada niatan untuk membahagiakan orang-orang yang dicintainya. Di tengah meja biasanya KKP sudah menyediakan kacang kedelai goreng, emping, cakue, kecap manis dan tidak lupa kecap asin. Di sinilah pertarungan kedelai, emping dan cakue terjadi sampai tandas.

Pertarungan di meja makan di rumah, bahkan terkadang sampai terbawa kalau sedang makan di luar. Itu biasa. Sulung paling sebel diminta untuk mengantri kedua kalinya ketika bungsu ingin sesuatu. Padahal dari awal sudah ditanya mau apa lagi, tetapi "selalu always" menambah makanan ketika orang akan menyelesaikan makannya. Akhirnya semua nambah.

Makan di depan Tugu Tani paling sering bahkan pegawainya sudah hapal dan mengucapkan terima kasih ketika dua anak lelaki bertinggi lebih dari 175 cm membereskan meja dan meletakkan sisa makanan dan baki di tempat kotor. Belajar disiplin memang sulit, tetapi lebih baik diterapkan dari sekarang agar menjadi budaya dan disiplin diri.

Dalam semangkuk bubur ayam rumahan itu terkandung usaha, doa dan cinta yang membuatnya. Jangan pernah disia-siakan. Nikmatilah, bersyukur dan balaslah doa dan cinta pembuatnya sehingga hidup itu penuh cinta dan kebahagian.

Salam Kompal

kompal-603f727f8ede48583039e192.jpg
kompal-603f727f8ede48583039e192.jpg

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun