Bagi yang terbiasa hidup enak, uang sepuluh ribu rupiah nggak ada apa-apanya. Bagi yang berpikir susah maka uang sepuluh ribu rupiah tidak ada apa-apanya. Nah kan. Enak dan susah itu ternyata konstruksi pikiran.
Bagi yang pernah hidup minimalis alias selalu berdompet tipis, uang sepuluh ribu rupiah bisa memanjangkan waktu dan harapan. Itu kalau mau berpikir manjangin hidup.
Jangan bicara tahun 90-an. Kalau dulu dapat banyak. Kalau sekarang 2021, mungkin cuma dapat es kopi kekinian kaki lima. Sepuluh ribu rupiah sekarang bisa jadi beli gorengan lima ribu dapat tiga, enam biji deh. Itupun sudah sulit mencarinya. Tidak akan dapat lagi, dua ribu dapat tiga. Jadi kalau sepuluh ribu rupiah total dapat 15 biji. Eh, gorengan seribu satu juga ada kok, tapi jarang.
Uang sepuluh ribu itu sebenarnya hanyalah pikiran keinginan dan kebutuhan. Manusiawi karena memang manusia sudah dicekoki dengan gaya hidup. Akibatnya ya uang sepuluh ribu hanya dilihat sebagai jumlah angka dan nilai waktu uang.
Mari berpikir uang sepuluh ribu itu dibuat untuk waktu dan harapan sebagai makhluk hidup. Memang agak rumit menjelaskannya daripada rumit lebih baik dibuat contoh saja.
Mari ke warung, jelang Natal kemarin Bude sempat kocar kacir karena harga telur mencapai dua puluh enam ribu rupiah sampai dua puluh delapan ribu rupiah perkilogram. Sekarang sudah stabil di dua puluh ribu rupiah sampai dua puluh dua ribu rupiah.
Belilah telur setengah kilogram seharga sepuluh ribu rupiah maka akan dapat lima atau enam butir. Nah, manfaat telur apa, ya silahkan dicari. Makan nasi dengan sebutir telur sungguh awuu wu wu. Bahkan dulu satu telur rebus dibelah tiga pakai kecap dan sambal untuk memulai hari. Kalau di depan rumah ataupun kost ada halaman sedikit, tanamlah kates jepang ataupun ubi untuk lalapan satu batang saja. Tak perlu perawatan, butuh, tinggal rebus saja daunnya untuk lalapan.
Berimprovisasi atau bahasa kerennya kreatiflah dengan uang sepuluh ribu rupiah. Maka akan ada rasa syukur yang membukakan pikiran, betapa banyaknya nilai uang sepuluh ribu rupiah. Ada banyak manfaat di sana.
Jadi siapa bilang sepuluh ribu rupiah tidak berharga. Seorang perempuan bilang, "kau harus pulang!". Masa itu ada seorang perempuan dan lelaki serta seorang Balita sedang berjuang menapaki hidup. Sang perempuan menabung sepuluh ribu rupiah per hari, berjalan kaki pulang pergi ke tempat kuliah. Makan untuk kebutuhan.
Setelah cukup, uang dikirim dan pulanglah lelaki itu. Sungguh bikin geregetan, sang perempuan cuma bilang, "bolehkah aku menyandarkan kepalaku ke pundakmu". Woiiiii kok romantis. Wak wak wak. Itulah harapan.
Seorang Romo di kaki Bukit Barisan pernah ngomong, "kamu itu harus banyak bersyukur. Jangan pernah takut untuk menghadapi dunia. Kaulmu itu menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama manusia".
Jadi jangan marah karena hanya memiliki uang sepuluh ribu rupiah karena banyaknya keinginan. Lah wong untuk menentukan apakah kamu dan aku masih hidup atau sudah mati besok saja aku dan kamu tak tahu. Buatlah uang sepuluh ribu rupiah itu untuk harapan.
Mari jalan agak jauh lagi. Jauhi dulu kamus! Jajan itu ya membeli sesuatu, biasanya membeli sesuatu makanan baik makanan pabrik atau makanan usaha rumahan. Bisa berpikir untuk mengambil keputusan membeli makanan yang mengenyangkan untuk bertahan hidup sebagai modal mencari rezeki lagi.
Memilih pisang goreng ataupun ubi goreng atau juga cireng bisa menjadi pilihan bertahan. Jangan beli makanan yang energi alias karbohidratnya sedikit. Weesss nggak usah mikir yang lain, paling penting kenyang dulu. Jangan misuh.
Kalau di Palembang sepuluh ribu rupiah bisa buat beli pempek yang memang bisa untuk mengganjal perut seharian. Pempek dos atau pempek ikan ala-ala. Kalau untuk beli pempek enak ya cuma dapat sebiji.
Jadi semua tergantung kamu dalam menyikapi uang sepuluh ribu rupiah. Mau dibuat energi alias tenaga untuk mencari rezeki lagi ataupun bisa menjadi asap menghilang tak berbekas hanya sedikit rasa manis dan ujungnya asam pahit.
Salam Kompal