Mohon tunggu...
Dimas Putri Setyorini
Dimas Putri Setyorini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Edukasi

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam dan Politik

7 Desember 2021   03:46 Diperbarui: 12 Maret 2024   19:05 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ISLAM DAN POLITIK

DIMAS PUTRI S A

PENGERTIAN POLITIK ISLAM

              Politik Islam dalam bahasa Arab berarti siyasah. Para ulama telah banyak mengkaji tentang siyasah, salah satu diantaranya adalah As-Siyasah Asy-Syar'iyyah Karya Imam Yusuf Al-Qardlawi. Secara etimologi kata siyasah berasal dari saasa-yasuusu-siyasatan yang dapat berarti mengurusi, melatih, mendidik, memerintah, mengatur, atau membuat hukum. Sedangkan secara istilah siyasah berarti pengaturan urusan kemaslahatan dengan mengikutsertakan syariat. Kemudian, dijelaskan juga pengertian Politik Islam menurut para cendekiawan muslim, diantaranya:

  • Menurut   Asad   (1954),   politik   adalah   menghimpun   kekuatan; meningkatkan  kualitas  dan  kuantitas  kekuatan;  mengawasi  dan mengendalikan   kekuatan;   dan   menggunakan   kekuatan,   untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam negara dan institusi lainnya.
  • Dalam pandangan Abdulgani, perjuangan politik bukan selalu "de kunst   het   mogelijke"  tapi  seringkali  malahan  "de   kunst   van onmogelijke"  (Politik  adalah  seni  tentang  yang  mungkin  dan  tidak mungkin).    Sering    pula    politik    diartikan    "machtsvorming    en machtsaanwending"  (Politik  adalah  pembentukan  dan  penggunaan kekuatan)
  • Bluntschli (1935) memandangpolitiksebagai "Politik is more an art a  science  and  to  do  with  the  practical  conduct  or  guidance  of  the  state" (Politik  lebih  merupakan  seni  daripada  ilmu  tentang  pelaksanaan tindakan dan pimpinan (praktis negara)).
  • Isjwara (1967) mencatat beberapa arti tentang politik dari sejumlah ahli. Diantaranya adalah :-Loewenstein yang berpendapat "Politik is  nicht  anderes  als  der  kamps  um  die  Macht"  (politik  tidak  lain merupakan perjuangan kekuasaan)[1]. 

 

Berdasarkan pengertian-pengertian mengenai politik islam diatas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar politik islam menjalankan perpolitikan dengan mengedepankan dan menitikberatkan syariat islam.

 

 

POLITIK DALAM KACAMATA ISLAM

 

              Politik merupakan salah satu landasan penting dalam islam. Politik dalam islam seringkali diartikan sebagai jalan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Pandangan politik dalam islam seringkali disalahartikan, hal tersebut disebabkan konsep islam dan politik yang cenderung bertolak belakang. Islam yang identik dengan kedamaian dan keadilan, sedangkan politik acap kali dikaitkan dengan kontroversi dan kecurangan.

 

              Kata siyasah memang tidak tertera dalam alquran, namun terdapat tafsir yang dikemukakan Ibnu Katsir yang menjelaskan tentang politik. Dalam QS. Ali Imran: 159 yang artinya:

 

              "Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakkal." (QS. Ali Imran: 159).

 

              Penyebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perang badar pada zaman Rasulullah saw. Pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan kemenangan dalam peperangan badar dan banyak orang-orang musyrikin yang menjadi tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW mengadakan musyawarah dengan para sahabat termasuk Abu Bakar Shiddik dan Umar bin Khathab. Abu Bakar mengusulkan pendapatnya bahwa tawanan perang itu sebaiknya dikembalikan kepada keluarganya dengan syarat membayar tebusan. Pendapat ini dianggap pandangan yang menunjukkan Islam itu lunak. Umar bin Khathab mengusulkan hal yang berbeda, bahwa tawanan perang itu dibunuh saja. Hal ini dimaksud an agar mereka tidakberani lagi menghina dan mencaci Islam. Pandangan ini diangap pendapat yang keras. Dari kedua pendapat yang bertolak belakang ini Rasulullah sangat kesulitan untuk mengambil kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ke-159 yang menegaskan Rasulullah SAW untuk berbuat lemah lembut dan memilih pendapat Abu Bakar. Jika pandangan yang menunjukkan keras hati, tentu mereka tidak akan menarik simpati tawanan sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam. Alhasil ayat ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddiq untuk melepaskan tawanan. Di sisi lain, ayat ini memberi peringatan kepada Umar bin Khathab, apabila dalam permusyawarahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkal kepada Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang yang bertawakkal. Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itu pun dilepaskan.[2]

 

              Ayat tersebut memang tidak menjelaskan arti politik secara gamblang. Namun, dapat ditelaah bahwa peristiwa asbabun nuzul tersebut merupakan bentuk konkret dari implementasi musyawarah politik. Bahwa pengambilan keputusan tidak boleh dilakukan secara sepihak, Nabi Muhammad saw. juga pernah menjelaskan dalam sabda beliau mengenai  politik secara istilah.

 

              "Dari Furat al-Qazzaz, mengatakan: aku telah mendengar Abu Hazim mengatakan: aku telah duduk (belajar) lima tahun sama Abu Hurairah, dan aku mendengarnya bercerita tentang Nabi. Nabi bersabda: Adalah kaum Bani Israil dipimpin/diperintah oleh seorang Nabi. Setiap kali Nabi itu meninggal maka digantikan lagi dengan Nabi yang lain, dan tidak ada lagi Nabi setelah aku (Muhammad); dan akan ada pemerintah (khalifah) yang jumlahnya banyak. Mereka mengatakan: Apa yang engkau perintahkan kepada kami. Nabi mengatakan: Penuhilah dan baiatlah yang pertama dan selanjutnya. Dan berikanlah hakmereka, karena sesungguhnyaAllah akan menanyai mereka (di hari kemudian) tentang kepemimpinan mereka."[3]  (H.R. Baihaqi)

 

PERKEMBANGAN POLITIK ISLAM

              Perkembangan politik Islam mengalami proses naik turun yang sangat signifikan. Pada masa kejayaannya, politik slam sudah menampakkan jati diri dan pengaruhnya pada dunia. Tak ayal, bayak kerajaan dan dinasti yang segan terhadap slam. Disini akan dijabarkanprosestersebut secara rinci berdasarkan masa atau periode peradaban politik islam.

 

Masa Rasulullah SAW.

Pada masa ini, politik Islam tengah membentuk jati dirinya, dalam arti lain politik Islam masih baru bersemi. Pada dasarnya, politik Islam dianggap sebagai suatu gerakan pada saat Nabi Muhammad SAW. diangkat menjadi rasul dan diutus merekonsiliasi perseteruan antara dua kaum terkemuka bangsa Arab Madinah. Pada saat itu Rasulullah tengah memimpin ekspedisi kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah. Di Madinah, Rasulullah SAW. berhasil menpersatukan seluruh suku-suku bangsa Arab, sehingga benteng pelindung bangsa Arab dan agama islam menjadi semakin kukuh.

 

Sejak saat itu, politik Islam berkembang pesat. Konsepsi-konsepsi baru terkait politik dan berlandaskan agama yang kuat membuat kaum muslimin dapat menaklukkan wilayah-wilayah bangsa lain. Kaum muslimin mulai mengatur tata masyrakat yang sesuai dan mulai merancang peraturan-peraturan baru yang tidak menyalahi aturan agama. Regulasi-regulasi baru tersebut mengenai moral, hukum, hak-hak, larangan, dan kebijakan-kebijakan.

 

Dalam kepemimpinannya, Rasulullah SAW. juga menyisipkan sikap agamis bahwa keesaan absolut hanya milik Allah SWT.  Hal ini memiliki dampak yang sangat substansial. Masyarakat menjadi lebih bersahaja dan memiliki iman yang kokoh.

 

Nabi Muhammad SAW. memerankan peran vital dalam pencapaian-pencapaian umat islam. Sikap beliau yang bijaksana dan adil membuat umat Islam mudah menerima hal-hal yang terbilang baru ini. Tampuk kepemimpinan Rasulullah SAW. ini merupakan awal kejayaan politik islam. Meskipun, pada waktu itu umat muslim masih belum mengetahui istilah-istilah dan teori- teori politik.

 

Masa Khulafaur Rosyidin

Pada masa Khulafaur Rasyidin, perpolitikan islam mengalami masa fluktuasi. Pergantian khalifah membuat sistem dan konsep pemerintahan turut berganti. Sehingga, fluktuasi tidak dapat dihindari.

 

  • Masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar merupakan sahabat Rasulullah saw. yang tergolong dalam Assabiqunal Awwalun atau orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Ia juga merupakan mertua Rasulullah saw. sosoknya yang penyabar dan santun, membuat Rasulullah sangat menyayanginya. Ia dan Rasulullah saw. stelah melewati banyak perjalanan sakral bersama. Itulah yang membuat masyarakat menunjuknya setelah rasulullah saw. wafat.

 

Pada masa pemerintahannya, Khalifah Abu Bakar masih fokus terhadap penyatuan umat Islam sepeninggal Rasulullah. Kaum muslimin mengalami masa-masa sulit setelah wafatnya Rasulullah saw. mereka merasa kehilangan panutan. Masa Abu Bakar ini menjadi masa transisi pemerintahan yang cukup sulit.

 

Abu Bakar menjabat sebagai khalifah selama 2 tahun, 6 bulan, 4 hari. Selama menjalankan pemerintahan, hal-hal penting yang dilakukan adalah diteruskannya pengiriman Usamah menghadapi Romawi yang pernah dipersiapkan Rasulullah sebelum meninggal, perang melawan orang-orang murtad dan para pembangkang yang tidak mau membayar zakat, memerangi Musailamah al-Kadzdzab (yang mengaku nabi palsu), dan pengumpulan Al-Qur'an.[4]

 

  • Masa Khalifah Umar bin Khathab

Umar bin Khattab adalah orang yang tegas dan pemberani. Konon, sifatnya yang pemberani mamou membuat setan takut ketika mendengar namanya. Umar adalah seorang mantan musuh Nabi sebelum ia masuk Islam dan menjadi orang yang paling membela Nabi Muhammad saw. Ia memiliki gelar Al-Faruq, yang berarti pemisah antara kebaikan dan keburukan. Ia menjadi khalifah atas permintaan Abu Bakar melalui wasiatnya sebelum meninggal.

 

Berbeda dengan periode sebelumnya, periode Umar bin Khattab berfokus pada perluasan wilayah dan pembentukan sistem pemerintahan. Ditinjau dari berbagai aspek, politik Islam mengalami kemajuan pada masa Khalifah Umar bin Khattab ini. Memperkuat pasukan perang sehingga pertahanan Negara semakin baik dan wilayah kekuasaan semakin luas,    mPemeritahan semakin teratur dengan perekrutan aparat Negara yang profesional, pembangunan fasilitas-fasilitas untuk masyarakat (baitul maal, sekolah, dan pengadilan), dan salah satu hal yang identik dengan kekhalifahan ini adalah pajak. Penentuan pajak dijalankan pada masa ini, hal itu membuat keuangan Negara menjadi stabil dan masyarakat semakin sejahtera.[5]

 

  • Masa Khalifah Utsman bin 'Affan

Utsman bin Affan merupakan sahabat yang dermawan, ia telah mendermakan sebagian besar hartanya untuk kepentingan umat islam. Meskipun, hidupnya sangat berkecukupan, ia sama sekali tidak takabbur ataupun tama'. Ia juga memiliki gelar dzunnurain yang artinya pemilik dua cahaya. Gelar tersebut ia dapatkan karena telah menikah dengan dua putri Rasulullah saw. Beliau sangat menyayangi Utsman. Rasulullah mengibaratkan Utsman bak cahaya yang sinarnya mampu menembus langit.

 

Pada masa kekhalifahan ini, yang menjadi tujuan utama adalah pembukuan al-quran dan sisanya meneruskan dari periode sebelumnya. Seperti, pembangunan masjid, perluasan wilayah, dan juga pembangunan sarana-sarana. Namun, terdapat beberapa hal yang disayangkan dari pemerintahan ini. Khalifah Utsman bin Affan melakukan perekrutan aparat Negara yang kebanyakan diambil dari sanak kerabatnya. Pada mulanya, tidak ada kendala terkait hal tersebut. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, para sanak kerabat tersebut menjadi tidak profesional dalam bekerja. Mereka melakukan korupsi, sehingga berita mengenai pemerintahan korup merajalela. Hal ini semakin memanas dengan adanya fakta bahwa Khalifah Utsman bin Affan tetap tidak menghukum sanak kerabatnya atas perbuatan mereka yang merugikan, padahal para pemuka-pemuka agama telah menegurnya. Hal tersebut menghilangkan rasa percaya masyarakat terhadapnya. [6]

 

Kejadian tersebut bermula ketika ditemukan seorang utusan kekhalifah yang mengirim surat kepada gubernur Mesir yang berisikan perintah untuk membunuh gubernur Mesir tersebut. Pengutusan tersebut gagal setelah si utusan pulang dengan tangan gemetar dan di tengah perjalanan bertemu dengan Muhammad bin Abu Bakar (gubernur Mesir). Sehingga, terkuaklah isi surat tersebut hingga ke telinga para sahabat nabi di Madinah. Kasus ini pun diusut dan Khalifah Utsman bin Affan diinterogasi. Setelah, ditelusuri ternyata yang menulis surat tersebut adalah Marwan bin Hakam, sepupu Utsman sendiri. Para sahabat nabi mengusulkan agar Utsman memberi Marwan bin Hakam pelajaran, namun Utsman menolaknya.

 

Setelah hubungan dengan gubernur Mesir pun semakin membaik, Marwan berulah dengan menyulut kembali amarah mereka. Akibatnya, rumah Khalifah Utsman dikepung oleh rombongan Muhammad bin Abu Bakar. Pengepungan tersebut berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan.[7]

 

  • Masa Khalifah Ali bin Abi thalib

Ali bin Abi Thalib adalah keponakan sekaligus menantu nabi. Kehebatannya tidak patut dipertanyakan lagi. Tidak hanya andal dalam ilmu perang dan taktik, ia juga ahli dalam ilmu pengetahuan. Seperti yang telah disabdakan oleh nabi Muhammad mengenai Ali bin Abi Thalib. "Aku adalah pintunya ilmu dan Ali adalah kuncinya." Sabda nabi tersebut menyatakan betapa pandainya Ali bin Abi Thalib. Maka tidak heran jika dalam masa pemerintahannya Khalifah Ali bin Thalib unggul dalam bidang keilmuan.

 

Langkah politik awal yang diambilnya adalah dengan memecat pejabat-pejabat korup pada masa utsman bin Affan. Ali tidak memiliki keraguan sedikitpun dalam mengambil keputusan tersebut, meskipun hal tersebut mendapat pertentangan dari keluarga Utsman yang menjabat. Ketegasannya patut diapresiasi, ia melakukan reformasi besar-besaran dalam pemerintahannya dan melanjutkan hal-hal baik dari Rasulullah, Abu Bakar, dan Umar bin Khatab.

 

Maka, tidak heran apabila banyak yang membencinya diakibatkan langkah berani yang telah ia ambil. Perang saudara pun terjadi antara Ali bin Abi Thalib dengan Thalhah bin Ubaidillah yang merasa tidak adil karena tidak mendapat porsi jabatan bersama sekutunya Siti Aisyah binti Abu Bakar. Ketiganya dipertemukan dalam Perang Jamal (unta). Perang tersebut menjadi awal pecahnya umat Islam. Beribu-ribu pasukan Islam gugur sia-sia. Setelah perang ini tuntas, Ali bin Abi Thalib beralih kepada Mu'awiyah, Ali meminta Mu'awiyah berbai'at kepadanya. Namun, Mu'awiyah menolak karena ia juga menginginkan kursi kekhalifahan. Bahkan, Mu'awiyah memberontak dengan mengklaim dirinya sebagai Amirul Mukminin dan mengirim surat kepada para pemuka daerah disertai dengan komisi apabila mereka mendukung Mu'awiyah. Tidak sampai disitu, ia juga telah mempersiapkan pasukan untuk melawan Ali bin Abi Thalib. Tidak ada yang bisa dilakukan Abi Thalib selain menerima tatangan Mu'awiyah. Ia pun juga mempersiapkan pasukannya.

 

Pasukan Ali bin Abi Thalib mendominasi peperangan, Mu'awiyah pun khawatir karena pasukan yang dipimpin Ali tidak pernah kalah sekalipun. Mu'awiyah pun menjalankan siasat liciknya dengan menaruh lembaran-lembaran mushaf di ujung tombak pasukannya. Hal itu membuat pasukan Ali tidak bisa lagi melawan.

 

Dengan siasat ini, terjadilah tahkim antara pihak Ali yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy'ari dengan pihak Muawiyah yang diwakili oleh Amr bin Ash. Abu Musa termakan tipu daya Amr bin Ash. Di hadapan khalayak ramai, Abu Musa dipersilakan naik mimbar terlebih dahulu untuk mengumumkan kesepakatan mereka, yaitu mencabut kekuasaan kedua pemimpin, Ali dan Muawiyah bersama-sama. Namun segera setelah itu, Amr bin Ash naik mimbar lalu menguatkan pencabutan kepemimpinan Ali seraya menetapkan kepemimpinan Muawiyah.[8]

 

              Ali bin Abi Thalib menjabat khalifah selama 4 tahun, 9 bulan, 8 hari. Dalam rentang waktu pemerintahannya itu, Ali menjalankan kekhalifahan dengan banyak pertentangan dan melakukan peperangan. Meskipun demikian, Ali berusaha menjalankan pemerintahan sesuai dengan Sunnah Rasulullah, melanjutkan kebijakan yang baik dari para khalifah sebelumnya, mereformasi pemerintahan, meletakkan dasar-dasar gramatika bahasa Arab, memberikan khotbah-khotbah tentang ilmu agama, retorika, falsafah, dan tentang kewajiban manusia kepada Tuhan. Ali juga telah memperkenalkan dan menerapkan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik, mengatur keamanan negara, membentuk lembaga-lembaga seperti lembaga keuangan umum, pengadilan, tentara, dan lain-lain.[9]

 

Masa Kesultanan Islam

  • Kesultanan Ottoman atau kesultanan Utsmani

Kerajaan Ottoman lahir setelah suku nomaden Turki bermigrasi ke Anatolia karena tempat asal mereka (Eurasia Timur) dijajah kaum Mongol.  Suku nomaden Turki dipimpin oleh Ertugrul Gazi, Kepala suku ini juga telah membantu Kesultanan Seljuk Anatolia untuk melawan Bizantium. Setelah memenangkan perang Bapheus pada tahun 1302, Negara Utsmani semakin memperluas wilayah kekuasannya hingga ke Anatolia.[10]

Salah satu Sultan yang paling masyhur adalah Sultah Mehmet II atau Mehmet Al-Fatih (1444-1481 M) dan Sultan Suliman Al-Qanuni. Sultan Mehmet memimpin dengan sangat bijaksana. Ia berhasil menaklukkan Konstantinopel, Ibukota Bizantium, yang kemudian berubah menjadi Istanbul. Penaklukan Konstantinopel 1453 menjadi titik terang kejayaan Ottoman. Administrasi Negara mulai efektif, kerjasama luar negeri berjalan lancar, dan wilayah kekuasaan semakin meluas. Setelah masa ini lah konsep masyarakat Ottoman dikatakan telah menetap dan siap membentuk sebuah Negara. Pembentukan negara ini meliputi berbagai aspek seperti birokrasi, militer, keagamaan yang dapat menopang pembangunan sosial ekonomi di Negara Usmani. Di tangan Suleiman Al-Qanuni (1520-1566), Negara Ottoman telah berada pada puncak kejayaannya. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana. Langkah-langkah politik yang ia ambil selalu menguntungkan masyarakat. Pemerintahannya sering disebut dengan 'Abad Keemasan' atau Golden Age. Karena kepemimpinannya Islam disegani oleh berbagai kalangan. Politik Islam di masanya sangat maju.[11]

 

  • Kesultanan  Safawi (1501-1722 M)

Kesultanan ini berpusat di Persia (sekarang: Iran). Pada mulanya, Safawi merupakan sebuah gerakan tarekat yang berkembang menjadi gerakan politik. Bahkan, gerakan ini berhasil mendirikan sebuah kerajaan besar beraliran Syi'ah di Persia. Para pengikutnya pun sangat taat. Dalam tarekat ini pemilihan pemimpin dilakukan dengan cara pemilihan langsung dan kepemimpinan selanjutnya akan diberikan kepada anak raja atau pewaris takhta, begitu pun seterusnya.[12]

Raja yang sangat berjasa bagi kemajuan kerajaan Safawi ini adalah Raja Abbas I (1588-1628 M). Beberapa langkah politik yang ia ambil adalah:[13]

1. Mereformasi pasukan perang

Mereformasi pasukan perang berarti mengganti sisa-sisa pasukan Qizilbasy. Raja Abbas ingin menghapus dominasi pasukan Qizilbasy dengan menpekerjakan budak-budak tawanan dari perang-perang yang telah ia menangkan.

2. Membuat perjanjian damai dengan Turki Utsmani (Ottoman)

Berdasarkan perjanjian ini, Kerajaan Safawi harus rela kehilangan beberapa wilayahnya. Diantaranya: Azerbijan, Georgia dan sebagian wilayah Luristan. 

Langkah-langkah raja Abbas tersebut berhasil mambawa kemajuan bagi Kerajaan Syafawi. Ia berusaha merebut kembali wilayahnya yang telah direbut oleh Turki Utsmani. Pada tahun 1598, ia telah berhasil menaklukkan Herat, Mard dan Balkh. Ia juga kembali menyerang wilayah Turki Utsmani dan berhasil mendapatkan Tibris, Syirwan, Baghdad. Pada tahun 1622 M, pasukannya berhasil menaklukkan kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pelabuhan bandar Abbas.[14]

Setelah wafatnya Raja Abbas I, perpolitikan kerajaan Safawi mngalami kemerosotan. Salah satu penyebabnya adalah konflik berkepanjangan dengan dinasti Ottoman yang melemahkan kerajaan Safawi dan membuat musuh-musuh merampas wilayah-wilayahnya.

  • Dinasti Mughal (1526-1748 M)

Pendiri pertama dinasti ini adalah Zahiruddin Babur (1482-1530 M) yang berhasil mengalahkan periode Ibrahim Lodi yang rapuh. Namun, pada awal terbentuknya eksistensi dinasti Mughal masih belum seberapa. Masih banyak kerajaan-kerajaan Hindhu yang bangkit kembali. Kesultanan-kesultanan muslim pada saat itu pun, masih sedikit yang mengakui keberadaannya. Kemudian, Babur wafat dan tampuk kepemimpinan diturunkan kepada putranya, Humayun.[15]

Masa kejayaan dinasti Mughal adalah pada masa raja Akbar (1566-1605) yang merupakan cucu Babur. Padahal saai itu, dinasti ini tengah berada dalam keterpurukan. Ekonominya berantakan, rakyatnya kelaparan, dan banyak sekali berdatangan tekanan dari luar. Namun, Akbar isa mengatasi semua itu. Sistem politik yang digunakan olehnya adalah bsystem elite militer politik yang berisikan para pembesar dari Afghanistan, Iran, Turki, dan Muslim asli India. Juga terdapat masyarakat Hindu Rajput dan Marathas dalam aristokrasi Mughal. Akbar memimpin dengan sangat bijaksana dan semua rakyatnya pun menghormatinya. Ia juga dihormati oleh orang-orang Hindu karena telah menghapus jizyah bagi orang-orang non- muslim. Ia membangun sarana-sarana umum untuk kesejahteraan masyrakatnya dan kebijakan yang paling identic dengan Akbar adalah penerapan din ilahiy. Din ilahiy berisikan kebijakanmengenai agama, Akbar menerapkannya karena para pemuka agama memiliki pendapat yang berbeda dan menimbulkan kontroversi. Pertikaian yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh fanatisme terhada tokoh-tokoh agama.[16]

Pada masa-masa selanjutnya, Jehangir (1605-1627 M), Syah Jehan (1628-1658 M), dan Aurangzeb. Dinasti ini masih stabil, pemerintahan dan sistem politiknya masih sama dengan politik Akbar. Namun, setelah masa Jehangir, Syah Jehan, dan Aurangzeb berakhir. Kerajaan ini dipimpin oleh para raja yang lemah, sehingga dinasti Mughal mengalami kemunduran.[17]

  

PRINSIP-PRINSIP DASAR POLITIK ISLAM

  • Musyawarah

Prinsip ini merupakan prinsip yang sangat penting. Dalam setiap pengambilan keputusan Rasulullah saw. selalu mengedepankan musyawarah mufakat. Para khulafaur rasyidin juga mengimplentasikan nilai-nilai musyawarah dalam pemerintahannya.

Contohnya, ketika Umar bin Khttab hendak menemui ajalnya ia membangun formatur kelompok penggantinya, yang bertugas bermusyawarah dan memilih khalifah selanjutnya. Musyawarah juga sangat berguna untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera, sebab keputusan mereka akan ditampung dan dimusyawarahkan bersama. Sehingga dapat menghasilkan keputusan yang dapat diterima oleh khalayak.

  • Kebebasan

Kebebasan dalam politik Islam memiliki konteks yang berbeda. Kebebasn disini merupakan definisi dari kebebasan yang sesuai dengan yang ada di dalam Alquran dan hadits Rasulullah saw. Akan tetapi, dewasa ini, pengambilan sumber dapat juga diambil dari ijma' dan qiyas yang telah dikaji dan ditelusuri oleh para ulama kontemporer.

 Kebebasan menjadi rinsip utama sejak politik Islam berkembang maju. Islam ingin masyarakatnya bebas menjalanin kehidupan tanpa adanya penindasan atau pengecaman. 

  • Kesetaraan

Rasulullah saw. pernah bersabda mengenai hukum wanita menjadi pemimpin. Meskipun, nabi Muhammad menolak kepemimpinan perempuan. Nabi juga menjunjung martabat perempuan. Pada masa jahiliyah, kaum kafir quraisy mengubur anak perempuan mereka karena dianggap tidak berguna. Tapi, kemudian Nabi menghapus kebiasaan tersebut dan menanamkan nilai-nilai toleransi terhadap wanita kepada kaum muslim.

Contoh lain dari kesetaraan adalah peniadaan budak. Rasulullah sangat menentang perbudakan. Beliau dan sahabat-sahabatnya seringkali membeli budak untuk dibebaskan. Karena di sisi Allah manusia itu sama.

 

  • Persaudaraan

Mempererat tali persaudaraan merupakan prinsip yang sangat identik dengan islam. Menjalin tali silaturrahmi dengan sesama muslim adalah kewajiban. Rasulullah pun sangat menganjurkan umat muslim untuk menjaga persaudaraan dengan sesamanya. Hadits-hadits mengenai persaudaraan pun sudah tidak dapat dihitung jumlahnya. Dari persaudaraan antar tetangga, sesama muslim, hingga hubungan dengan orang non-muslim. Menghargai orang-orang non-muslim adalah suatu hal yang harus dilakukan setiap muslim. Dalam dunia politik Islam, para pemimpin pun seringkali membuat kebijakan-kebijakan toleransi.

 

  • Kewajiban meyakini Keesaan Allah

Prinsip terakhir ini merupakan prinsip yang paling fundamental. Sebagai seorang muslim wajib hukumnya kita meyakini bahwa Keesaan yang sejati hanyalah milik Allah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Dalam penerapannya, kejayaan-kejayaan politik Islam seringkali didapat apabila suatu kerajaan atau masyarakat meyakini hal ini.

 

KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat kita ketahui berbagai informasi mengenai politik Islam dari zaman dahulu. Politik Islam telah melalui berbagai lika-liku dalam perkembangannya. Pada dasarnya, politik Islam adalah masa dimana Islam turut andil dalam pemerintahan dan urusan kenegaraan. Apabila dalam suatu Negara dijalankan regulasi-regulasi berlandaskan hokum agama Islam, maka sejatinya politik Islam juga hadir di dalamnya. Tugas kita adalah mempelajari kebaikan yang telah ditanamkan pada masa-masa politik Islam di atas dan mengambil pelajaran dari sisitem-sistem politik yang menyalahi aturan Islam.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

As-Suyuthi, Imam. Tarikh Khulafa.

 

Desky, Harjoni, Kerajaan Safawi si Persia dan Mughal di India; Asal Usul, kemajuan dan Kemunduran, Tasamuh: jurnal Studi Islam, 2016.

 

K. Ali, A Study of Islamic History, Adam Publishers and amp, 2007

 

Karl Brockelman, History of The Islamic People, Routledge, 2000.

 

Kasdi, Abdurrahman, Genealogi dan Sejarah politik Islam, Addin, Vol. 9, No. 2, 2015.

 

Supratman, Frial R., Abad Keemasan dan Pembangunan Sosial di Negara Usmani abad ke-16, Tamaddun: Jurnal Sejarah dan Kebudayaan Islam, 2019.

 

Zawawi, Abdullah S.Pd., MM., M.Pd, Politik dalam pandangan Islam, Jurnal Ummul Qura, 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun