Mohon tunggu...
o n e t  b u r t o n®
o n e t b u r t o n® Mohon Tunggu... Wiraswasta - o l e h

Tukang Ojek. Tinggal di Denpasar Bali

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pergi Senyap Pulang Senja (1)

16 Oktober 2019   08:02 Diperbarui: 16 Oktober 2019   09:21 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi : Pixabay

Ayah Tonnie Latjong adalah seorang kusir dokar. Sesekali nyambi sebagai petani penggarap. Ibunya tak tertolong, meninggal terserang penyakit ketika dia berumur lima tahun.

Ayahnya kawin lagi dengan seorang bunga desa tetangga. Dikaruniai enam orang anak. Tiga laki-laki dan tiga perempuan.

Dia sendiri bersaudara kandung tiga orang. Adiknya yang paling bungsu, perempuan, meninggal saat masih bayi. Sempat diberi nama Pudji.

Semenjak ayahnya kawin lagi, mereka bertiga lebih banyak menghabiskan waktu bermain di rumah Iwa-nya. Kakak ayahnya yang membujang.

Rumahnya terletak di sebelah timur. Berbatasan langsung. Ada pintu kecil yang tembus langsung ke halaman rumah Iwa. Sebelah utara pintu kecil berdiri bangunan pawon, dapur. Utaranya lagi berdiri jineng kecil, tempat penyimpanan padi. Rumah Iwa berdiri di sebelah timur pawon. Rumah yang sangat sederhana. Mungkin lebih pas bila disebut gubuk. Dindingnya sebatas pinggang berbahan tanah liat. Di atasnya tersambung dengan anyaman kulit bambu. Atapnya dari jerami. Luasnya kira-kira empat kali enam meter saja. Pintunya di tengah-tengah sisi selatan. Diapit dua buah jendela bambu berpenyangga. Ruang dalamnya terbagi dua.

Luasnya hampir sama. Langit-langitnya dari gedek tidak begitu tinggi. Bagian barat digunakan tempat pakaian. Ditata di lemari kayu berdiri di pojok. Ada balai kayu kecil berdampingan dengan meja kecil. Penerangan memakai lampu templek berbahan bakar kerosin, minyak tanah.

Di sebelahnya adalah ruang tidur. Entah bagaimana di dalamnya. Tak satupun dari tiga kemenakannya diperbolehkan masuk. Ruang di dalam gubuk itu, pengap. Di kala siang hari ruang itu gelap. Dua jendela itu kurang sanggup mengirimkan cahaya. Oleh karena cacaban atap jeraminya, hampir setengah menutupi pandangan jendela. 

Iwa Tonnie, Iwa Simon, seorang lelaki yang enerjik. Berbadan tegap dan gelap. Murah senyum. Wajahnya lebar. Giginya bersih, rata dan masih lengkap. Alisnya tebal. Dahinya agak menonjol. Hidungnya agak pesek sedikit melebar. Daun telinganya besar. Seperti daun telinga orang-orang besar. Namun sangat sedikit memiliki persediaan kesabaran. Amarahnya meletup seketika bilamana ada yang memicu. Sangat berbahaya karena amarahnya selalu ditemani dengan benda tajam. Pisaunya selalu terselip bersama ikat pinggang yang selalu membawanya ke mana pun. 

Dia begitu menyukai benda tajam. Pisau, golok, temutik sejenis belati tradisional sering terlihat dibelai. Diasah sembari bersiul-siul.

Pernah suatu ketika Iwa Simon, sedang asyik meramu ikan lemuru untuk sarapan. Ayam jago peliharaan tetangga melintas. Hanya melintas. Amarahnya meledak. Dia melihat ayam jago itu melirik ikannya. Tidak terima. Ayam itu dikejar hingga ke ujung gang. Ayam itu entah tertawa entah berteriak ketakutan, begitu melihat jelas pisau terhunus mengejarnya. Dasar lagi sial. Sepeninggal pengejaran itu, kawanan ayam lain menari-nari bersama lemuru. Amarahnya meluber ke mana-mana. Tidak satupun kawanan ayam itu sanggup disentuhnya. Memasak pagi itu gagal total. Akhirnya dia cukup puas sarapan dengan ketupat cantok di tepi jalan besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun