Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: 17:30

23 Mei 2021   00:13 Diperbarui: 23 Mei 2021   09:28 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sardi memutuskan untuk mampir di musholla dulu untuk sholat ashar lalu pulang. Kapan-kapan arloji itu akan diperbaiki, gumamnya. Paling tidak setelah ia benar-benar pensiun.

Sore merayap membersamai waktu. Perjalanan pulang yang melelahkan pastinya. Pintu rumah terbuka, istrinya tak lagi menyambut seperti dulu. Satu persatu sepatu dilepas. Saat membungkuk meletakkan sepatu di rak terdengar gemertak tulang punggung. "Setua itukah aku sekarang?" gumamnya.

Saat memasuki rumah terdengar suara mencuci piring di belakang. Itu pasti istriku, pikir Sardi sambil membuka satu persatu kancing baju di kamar.

"Bapak ya? Kok nggak salam sih Pak?" ujar istrinya dari dapur.
"Assalamu'alaikum bu" timpal Sardi.
"Wa alaikumussalam, jangan pikun to pak, baru mau pensiun sudah lupa salam" seru istrinya lagi.
"Ya bu, ma'af lupa" tukas Sardi sambil mengeluarkan arloji rusak dari sakunya.

Arloji rusak yang urung diperbaiki itu diletakkan begitu saja diatas meja. Nampak disamping meja terdapat lemari yang berisi koleksi arloji. Sebuah koleksi arloji sejak pertama kali bekerja hingga menjelang pensiun ini. Semua tertata rapi dengan berbagai bentuk. Hanya Sardi yang mampu bercerita tentang koleksi arlojinya itu.

Sardi mengenakan sarung dan menuju kamar mandi berkalung handuk. Disiramnya kenangan hari ini dengan air hangat. Keresahannya luntur bersama mengkilapnya guyuran air di helai-helai uban. Keriput lengannya beradu dengan busa sabun. Tubuh yang semakin ringkih itu basah merata.

Usai mandi, Sardi buru-buru menyiapkan diri untuk menunaikan tugas sebagai muazin di masjid kampung. Tak lupa ia raih arloji yang tergeletak diatas meja. Sebelum sandyakala tergurat di langit, Sardi bergegas ke masjid. Sesekali ia lirik arloji di pergelangannya. Ia terkejut, baru kali ini maghrib datang begitu cepat. Ia tak ingin mengecewakan jama'ah.

Langkahnya semakin buru-buru. Ia merasa tak pernah selambat ini. Tentu orang lain sudah menunggu kumandang azannya. Ditambah lagi lorong dekat masjid sudah lengang. Biasanya terlihat jam'ah melewati lorong itu. Jelaslah pertanda maghrib benar-benar tiba.

"Pasti orang-orang sudah berangkat dari tadi" pikir Sardi memacu nafas serta degup jantungnya.

Saat di belokan dekat pagar masjid, langkah Sardi seketika terhuyung. Kakinya menginjak papan penutup selokan yang baru dibenahi siang tadi. Papan itu pecah, tubuh Sardi oleng, hilang keseimbangan. Kaki kirinya masuk selokan, kaki kanannya tak kuat menopang. Ia terjerembab dengan wajah tersungkur ke bumi. Beberapa menit tubuh Sardi tak ada yang menghiraukan, tengkurap tak bergerak. Sampai seorang jama'ah menemukan sudah tak bernyawa. Arloji di pergelangannya tak berdetak. Jarum pendek di angka lima. Jarum panjang di angka enam. Sebenarnya maghrib masih kurang setengah jam lagi. 

"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un telah meninggal dunia mauzin masjid At Taqwa, bapak Sardi pada pukul lima sore dan rencana akan dimakamkan ba'da isya" demikian pengumuman melalui pengeras suara masjid dikumandangkan sebelum azan maghrib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun