"Tidak! aku memang sudah tua, tapi aku tak mau mati sebelum berbuat kebaikan, mulai malam ini. Percayalah!" bantahku.
"Aku tak bisa mundur lagi!" tegas suara itu.
"Aku tak mau mati sekarang...! Aku tak akan pernah mau mati. Aku ingin berbuat kebaikan dulu" jawabku dengan nada sedikit mengancam.
"Kau keras kepala, ini waktu terakhirmu, tapi kau masih saja memikirkan dunia. Percuma kau pikirkan, toh setelah ini kau tinggalkan semua!" sanggah suara itu.
"Kalau begitu kau pergi saja, biar kupikir dunia ini. Kutinggalkan atau tidak itu urusanku, katakan pada Tuhan, bahwa aku tidak akan pernah mau mati!" jawabku dengan mata terpejam dan tubuh telentang.
Kulihat tubuhku sendiri. Saudara-saudaraku datang membangunkan tubuhku. Tangisan duka pecah. Aku melesat menjauh dan tiba di sebuah kabut yang tebal.
"Kau masih tak terima dengan wakaf tanah warisan itu?" sebuah tanya mendesing di telingaku. Kulihat ayah sedang berdiri berhadapan denganku. Ada sungai putih yang membelah diantara kami. Ayahku di seberang sana, di sebuah tanah lapang yang hijau.
Aku hendak melompat menghampirinya. Tapi tak bisa, kakiku terbenam hingga selutut. Tak bisa bergerak, ada tanah lengket yang menahan kakiku.
"Apa ini ayah?" tanyaku ketakutan.
"Kau masih beraharap tanah warisan yang kuwakafkan itu?" ayahku mengulangi pertanyaannya.
"Nggak mau, aku nggak mau ayah" seruku menolak.