Mohon tunggu...
SANTOSO Mahargono
SANTOSO Mahargono Mohon Tunggu... Pustakawan - Penggemar Puisi, Cerpen, Pentigraf, Jalan sehat, Lari-lari dan Gowes

Pada mulanya cinta adalah puisi. Baitnya dipetik dari hati yang berbunga

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Suara Dini Hari

1 Oktober 2020   00:10 Diperbarui: 3 Oktober 2020   01:48 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku ketakutan hebat. Dadaku berdebar tak karuan. Suasana di kamar ini begitu sunyi. Wajahku memucat pasi. Degub jantungku beradu cepat dengan detak jam dinding. Pikiranku melesat jauh ke segala arah. Kecemasan memuncak menimbun di kepala. Keringat semakin deras. Mataku mengelilingi pandangan mencari dimana asal suara itu yang sebenarnya.

Perlahan kusadari mungkin suara itu benar-benar suara malaikat. Tepatnya malaikat pencabut nyawa yang diutus Tuhan. Kusimpulkan sementara bahwa dia sudah sering kesini hanya untuk mengingatkanku. Mungkin juga memberi peringatan untuk bersiap-siap.

"Bagaimana? kau sudah siap?" tanya suara itu seketika mengentak jantungku.

"Tolong, tunda dulu. Warisan akan dibagi dua minggu lagi" pekikku sekuat tenaga.

---------- ********** ----------

Dua minggu berlalu. Waktu berputar seperti cerita. Aku ngotot kepada saudara-saudaraku bahwa warisan jangan diwakafkan dulu. Tapi, saudara-saudaraku tak tahu dengan kondisiku. Mereka menjawab, "Ayah telah berwasiat bahwa tanah dan bangunan ini diwakafkan ke masjid Mas, sebaiknya mas Bambang menunaikan wasiat itu. Kasihan almarhum ayah."

Aku tak peduli. Apapun jawaban tentang wakaf menurutku bisa dianulir. Ini demi mengusir suara dinihari itu. Dengan begitu suara itu tak akan datang lagi. Tapi, nyatanya tidak demikian. Suara dinihari itu sempat reda selama hampir dua minggu, ini malam terakhir. Tepat jam 2 dinihari suara itu tiba kembali:

"Bagaiamana? kau sudah tak punya waktu lagi" letup suara itu membuyarkan segala lamunanku.

"Undur lagi beberapa jam. Saudaraku belum sepakat perihal warisan ini diwakafkan untuk masjid. Sampaikan pada Tuhan bahwa aku ingin berbuat kebaikan dulu" kucoba menawar sekaligus menolak untuk mati.

"Kau ini keras kepala, jelas-jelas tanah dan bangunan itu sudah diwasiatkan oleh ayahmu sebelum meninggal, mengapa harus dipersoalkan?"

Terbelalak seketika mataku mendengar perkataannya. Ia mengerti apa yang saya tutupi. Perasaanku benar, ia adalah malaikat pencabut nyawa yang Tuhan kirimkan setiap malam. Aku bingung. Keringat di tubuhku deras sekali. Mungkin begini rasanya orang akan mati. Tapi aku masih ada sisa tenaga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun