Melakukan perjalanan adalah salah satu cara saya untuk me-recharge raga dan jiwa sembari memperkaya diri dengan melihat dan menjumpai hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah saya ketahui sebelumnya.
Walau hidup di zaman modern di mana informasi tentang satu hal dapat dengan mudah ditemukan saat berselancar di dunia maya, tetap saja ada banyak aspek yang masih belum dapat tergantikan oleh kecanggihan teknologi, salah satunya interaksi secara langsung dengan orang-orang yang ditemui selama perjalanan.
Ternyata, nggak hanya itu, sepulang dari traveling biasanya saya juga jadi banyak belajar dari apa yang sudah saya temui, terlepas dari contoh baik atau contoh buruk. Dan, yang lebih saya syukuri lagi, efek dari liburan ini ternyata terus berlanjut hingga saya kembali ke rumah dan sedikit banyak turut mempengaruhi kebiasaan anggota keluarga lain yang seyogyanya perlu diubah demi berkontribusi lebih banyak terhadap bumi.
Apa saja? Saya uraikan beberapa di antaranya.
LEBIH HEMAT LISTRIK
Sebelum ini, saya merasa kami sekeluarga sudah cukup banyak berhemat dalam penggunaan listrik. Namun, saat saya berkesempatan ke Eropa tahun 2018 lalu (gratisan, karena menang kompetisi menulis), saya baru sadar bahwa apa yang kami sekeluarga lakukan masih belum apa-apanya dibandingkan mayoritas masyarakat Eropa.
Selama di Eropa, saya memanfaatkan komunitas couchsurfing sehingga saya terbantu dalam urusan akomodasi karena mendapatkan tumpangan. Nah, saat hidup menumpang di kediaman host/tuan rumah inilah saya belajar bahwa perhatian mereka terhadap penggunaan listrik jauh lebih baik dibandingkan saya.Â
Di rumah, kami biasa menyalakan lampu saat menjelang gelap. Sama seperti di Eropa. Namun bedanya mereka akan mematikan lampu-lampu di ruangan yang tidak digunakan. Toilet misalnya. Beda dengan di rumah kami yang lampu toilet akan menyala sepanjang malam.
Di rumah host, lampu di ruangan tertentu dinyalakan hanya jika akan digunakan. Sebagian besar dari mereka juga menggunakan lampu hemat listrik dan menggunakan sensor. Jadi, lampu itu akan menyala jika ada orang dan akan padam sendirinya jika ruangan kosong.
Di Indonesia sendiri ketersediaan listrik belum sepenuhnya merata. Jika pun ada, tidak semua daerah listriknya mengalir penuh. Saat mengunjungi Kabupaten Pesisir Barat di Lampung, saya kaget ternyata di sana listrik hanya ada hingga pukul 10 malam.
Setelah itu? Mati total. Hanya penginapan yang memiliki generator yang bisa mengaliri listrik ke kamar-kamar tamu. Nah, hal ini menjadi timpang sebab sebagian kota besar terasa boros sekali dalam penggunaan listriknya.
Lampu-lampu tetap mengalir terang dari gedung-gedung perkantoran yang mungkin saja sebagian besar pegawainya sudah pulang. Pun dengan rumah-rumah gedongan yang demi estetika dan keindahan akan melakukan hal yang sama. Boros listriknya.
Padahal, berhemat satu lampu atau dari satu alat elektronik itu sangat berpengaruh terhadap tingkat emisi karbondioksida (CO2) dari sektor kelistrikan. Lembaga Think-tank Lingkungan merilis, ironisnya, selama pandemi, tingkat emisi karbon telah melampuai level sebelum pandemi seiring melonjaknya permintaan listrik global menjadi 5% lebih tinggi.
Penggunaan listrik sebagai penerangan, menggerakkan atau menyalakan perangkat pribadi (notebook, HP, PDA dsb) dapat memproduksi emisi CO2 yang bersumber dari pembakaran bahan bakar fossil di pembangkit listrik. Untuk setiap penggunaan lampu berdaya 10 watt yang dinyalakan selama 1 jam saja misalnya, CO2 yang dihasilkan ialah 9,51 gram!
Apa dampak lain jika emisi global tidak dikurangi? Ilmuwan dari Intergovernmental Panel on Climate Change memperingatkan bahwa suhu rata-rata global kemungkinan akan melewati ambang batas 1,5 derajat celcius dalam 20 tahun!
Pemanasan global semakin mengancam kehidupan kita semua!
MEMPRODUKSI BAHAN MAKANAN SENDIRI
Saat saya berkesempatan mengunjungi kota Tidore di Maluku Utara, saya takjub melihat penduduknya yang memanfaatkan lahan untuk diolah menjadi perkebunan.
"Jadi ya, sehari-hari kami makan hasil kebun. Kalau mau makan ikan, tinggal memancing," ujar salah satu penduduk Desa Gurabunga yang saya jumpai.
Tentu saja tidak semua bahan yang mereka butuhkan dapat diproduksi sendiri. Beberapa bahan lain akan mereka beli di pasar. Tapi, paling tidak mereka mengkonsumsi bahan makanan lokal bukan impor.
"Memangnya kenapa kalau impor?"
Jelas, bahan makanan yang dikirimkan dari jauh itu artinya memakan lebih banyak bahan bakar saat didistribusikan. Belum lagi penggunaan plastik untuk kemasannya juga lebih banyak. Untuk konsumsi pisang atau stroberi misalnya, penduduk Tidore biasa menanamnya sendiri.Â
Jelas lebih murah terlebih jika dibandingkan harus impor pisang dan stroberi dari luar negeri, kan. Secara kualitas pun tidak jauh berbeda, bukan?
Soal menanam ini untungnya sudah lama dilakukan oleh kami sekeluarga di rumah. Beberapa bumbu dapur (lengkuas, cabai, kunyit, dsb) dan buah (nangka, pepaya, pisang, mangga, dsb) juga kami tanam sendiri. Orang tua termasuk yang suka menanam dan berkebun. Saya sih terus terang biasanya kebagian bantu menyiram aja, sesekali hehe.
Yang pasti, kami sekeluarga jarang mengkonsumsi makanan impor. Jika pun harus membeli bahan makanan, ibu biasanya akan belanja di warung atau pasar dekat rumah sambil membawa keranjang belanjaan sendiri. Lumayanlah mengurangi plastik dari pedagang.
Food Climate Research Network (FCRN) menyatakan proses produksi yang terjadi di lahan pertanian, perkebunan dan peternakan menyumbang emisi sebesar 25% dari total emisi gas rumah kaca dunia. Proses lanjutan seperti pengolahan, pengemasan, distribusi, pemasaran, penyimpanan, konsumsi hingga pengolahan limbah organiknya menyumbangkan 10% lagi dari total emisi gas kaca dunia.
Jadi, bagaimana untuk menguranginya? Tentu saja sebisa mungkin memproduksi bahan makanan sendiri, tidak menjadikan makanan impor atau kemasan sebagai habit tentu akan berdampak besar terhadap keberlangsungan bumi di masa depan.
PANDAI MEMILAH SAMPAHÂ
Perkara sampah, ini menarik. Sebagian besar orang akan mengira jika India itu penuh sampah di mana-mana sedangkan negara maju seperti Perancis dan Inggris jauh lebih bersih. Faktanya tidak demikian.
Saat mengunjungi Big Ben, saya terkejut mendapati pintu keluar stasiun underground/tube Westminster yang berada tak jauh dari tepi Sungai Thames penuh sampah dan mengeluarkan bau tidak sedap. Saya masih maklum jika sampah itu ada di pinggiran kota, tapi mengingat Big Ben ikon dan berada di tengah kota London, jelas saya nggak habis pikir.
Di sisi lain, kota-kota di Provinsi Kerala, India sangat bersih. Bahkan jauh lebih bersih ketimbang Palembang, kota saya sendiri. Walaupun, harus di akui di tempat dan kota lainnya, sampah adalah satu problem yang tak berkesudahan bagi negeri Hindustan tersebut.
Di Eropa saya belajar bahwa sampah dipililah berdasarkan jenis-jenisnya. Tak hanya sampah organik atau non organik, di kediaman Nejc --host saya di Ljubljana, dia bahkan meminta saya untuk memisahkan sampah-sampah kertas yang akan dia daur ulang sendiri!
Di Indonesia, potensi sampah yang dihasilkan dari 45 kota besar di Indonesia mencapai 4 juta ton/tahun. Sampah yang tertimbun dan terurai itu akan menghasilkan potensi gas metana sebanyak 11.390 ton CH4 atau setara 239.199 ton CO2 setiap tahunnya.
Nah, jika sampah itu dibakar maka akan menghasilkan gas rumah kaca tak hanya CO2, namun juga N2O, NH3, NOX dan karbon organik yang dapat merusak lapisan ozon. Tak heran bumi semakin panas, kan!
Makanya, begitu pulang ke rumah, saya berusaha untuk sebisa mungkin mengurangi timbunan sampah dengan berbelanja lebih efektif dan efisien. Keluarga di rumah pun tak lelah saya ingati soal ini. Jika bukan kita yang memulai, siapa lagi?
SEMUA BELUM CUKUP
Saya rasa, semua negara di dunia tengah berjuang untuk mencapai target Net-Zero Emissions (NZE) tak terkecuali Indonesia yang meluncurkan berbagai kebijakan pembangunan rendah karbon di berbagai sektor.
Misalnya saja efisiensi energi, pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT), penerapan Standar Kinerja Energi Minimum (SKEM) serta Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) yang ditargetkan tercapai selambatnya tahun 2060.
Kita semua berperan penting menyukseskan progam NZE itu. Sebagian orang bergerak secara masif dan luas. Namun, bagi masyarakat biasa kayak saya ini, maksimalkan apa yang bisa dilakukan dimulai dari diri sendiri dan keluarga di rumah.
Selain 3 poin di atas, upaya-upaya kecil lain sesederhana rutin membawa air minum dan bekal dari rumah pun dapat dilakukan. Jika pun harus jajan, bisa dengan cara membawa wadah sendiri dan menolak sendok dan sedotan plastik.
Sebagai pekerja swasta, untungnya penggunaan kertas untuk dicetak (printing) tidak sekencang saat saya dulu kerja di perusahaan. Kalau butuh informasi/data dsb, cukup dilihat dari komputer sebab jika dicetak, dalam selembar kertas itu terdapat 226,8 gram CO2! Gak kebayang jumlah CO2 yang ada pada satu buku, bukan?
Untuk saya yang doyan baca buku, ini sangat sulit. Saya harus mencoba beralih dari buku cetak ke buku elektronik demi upaya mengurangi emisi karbon ini. Semua butuh proses. Tidak menutup kemungkinan nanti saya beralih juga menggunakan motor listrik yang jelas lebih ramah lingkungan ketimbang motor sekarang yang masih menggunakan BBM.
Di saat pandemi seperti sekarang, melakukan perjalanan masih jadi satu hal yang sulit dan mahal. Besar harapan saya pandemi ini segera berlalu dan kehidupan dapat kembali normal seutuhnya. Sebab apa? Seperti yang saya singgung sebelumnya, pandemi juga berdampak besar bagi emisi karbon.
Orang lebih banyak beraktifitas di rumah sehingga lampu dan pendingin ruangan terus menyala terlebih dicuaca panas seperti sekarang. Orang juga lebih konsumtif, cenderung lebih sering memesan makanan dari luar yang mana menggunakan kemasan plastik yang berlebih.
Saya pribadi sudah kangen jalan-jalan. Ingin belajar lagi lebih banyak soal kepedulian lingkungan dari tempat-tempat yang akan saya datangi di perjalanan selanjutnya. Melihat cara mereka berinteraksi dengan alam. Mengambil apa saja hal-hal baik. Dan sebaliknya, jika menemukan contoh buruk maka akan saya jadikan pengingat bahwa saya tidak boleh melakukan hal yang sama begitu pulang ke rumah.
Semoga bumi segera pulih, amin.
Referensi:Â
www.iesr.or.id
sustaination.id
envihsa.fkm.ui.ac.id