Mohon tunggu...
Okti Nur Risanti
Okti Nur Risanti Mohon Tunggu... Penerjemah

Hai, saya Okti. Menulis adalah upaya saya untuk mempraktikkan misi mandat budaya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bukan Matematika, Anak TK Kita Lebih Perlu Pendidikan Karakter

19 Februari 2025   11:00 Diperbarui: 19 Februari 2025   12:17 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto menyusun balok (Sumber: Unsplash/La-Rel Easter)

Beberapa bulan lalu, Bapak Presiden mengungkapkan keinginannya agar matematika dikenalkan semenjak level Taman Kanak-Kanak. Mengingat pesatnya perkembangan sains dan teknologi di dunia saat ini, rasanya wajar saja jika wacana itu muncul. Matematika akan sangat membantu siswa untuk memiliki dasar logika dan problem solving yang kuat, yang menjadi dasar dalam pengembangan sains dan teknologi. Dan, asal diajarkan dalam bentuk materi yang sesuai dengan daya pikir anak TK, hal itu oke-oke saja sih.

Namun, dibanding mengkhawatirkan masalah penguasaan sains dan teknologi, rasanya kok ada isu lebih penting dan urgent yang patut untuk mendapat prioritas lebih. Bukan berarti bahwa isu yang pertama itu tidak penting. Akan tetapi, pembentukan karakter generasi penerus bangsa harus mendapat penekanan lebih untuk diajar dan ditanamkan seiring dengan berbagai problematika bangsa kita saat ini dan ke depan.

Dibanding kecerdasan otak dan penguasaan sains, karakter akan lebih berperan dalam menentukan arah perjalanan bangsa ke depan. Dengan karakter yang baik, seseorang akan lebih mampu mengembangkan diri, bahkan sesamanya, ke arah yang lebih baik dan progresif. Dengan memiliki karakter yang baik pula, manusia-manusia Indonesia akan lebih mampu membawa bangsa ini pada cita-cita masyarakat yang adil dan makmur.

Namun, tentu saja sebelum jauh sampai ke sana, kita perlu paham dulu dengan apa yang dimaksud sebenarnya sebagai pendidikan karakter itu.

Pendidikan karakter adalah proses pembentukan nilai-nilai moral, etika, dan sikap positif pada diri seseorang atau sekelompok orang untuk mencetak generasi yang berkualitas dan bermoral baik.

Menarik apa yang diungkapkan oleh Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan karakter ini. Menurut beliau, pendidikan karakter bertujuan untuk meneguhkan sebuah kepribadian bangsa yang tak tergerus oleh budaya-budaya bangsa lain yang selalu mengalami dinamika dari waktu ke waktu, tetapi juga mampu mewarnai pergaulan antar bangsa-bangsa dalam satu konteks pergaulan yang luas dan menyebar.  

Dari sana sudah jelas bahwa pendidikan karakterlah yang membentuk budaya dan peradaban sebuah bangsa. Jika sudah begitu, no debat lagi dong, pendidikan karakter ini sudah tentu perlu untuk dimasukkan dalam kurikulum dan materi pendidikan kita, terlebih dalam pendidikan dasar anak.

Nah, untuk mencapai tujuan dari pendidikan karakter, ada berbagai materi dan pembelajaran yang dapat disampaikan kepada anak-anak sesuai dengan daya nalar dan kemampuan mereka. Dan, dari berbagai materi yang bisa diajarkan, saya pikir belajar bersosialisasi, berekspresi, dan berpikir kritis menjadi hal yang penting untuk ditanamkan pada anak-anak usia TK, yang merupakan periode golden ages dalam tumbuh kembang anak.

Mengapa?

Yuk, kita bahas satu-persatu.

Bersosialisasi

Kita diciptakan sebagai manusia sosial. Oleh karena itu, keterampilan bersosialisasi merupakan modal dasar dari setiap individu agar dapat berelasi baik dengan sesamanya. Keterampilan ini perlu diajarkan kepada anak-anak agar kelak mereka dapat membawa diri serta berkontribusi positif di tengah masyarakat, bahkan dalam kancah pergaulan global. Media sosial yang telah mengubah sekaligus menyebabkan banyak masalah dalam cara generasi muda berelasi membuat keterampilan bersosialisasi ini kian menjadi isu krusial yang perlu ditanamkan pada anak-anak semenjak dini. Jangan lupa, keberhasilan seseorang dalam berbagai wilayah hidupnya relatif lebih banyak ditentukan oleh kemampuan ybs. dalam berelasi dan berjejaring dibanding dengan kecerdasan atau keberhasilannya di bidang akademis.

Banyak bermain dan membangun kerja sama tim tentu saja perlu menjadi aktivitas utama dalam mengajarkan keterampilan bersosialisasi ini. Di dalamnya, selipkan etiket-etiket dasar yang sangat penting dalam bersosialisasi, yaitu mengucapkan tolong, maaf, terima kasih, menghargai sesama, menghargai waktu, menaati peraturan, serta mengerti hak dan kewajibannya sebagai individu dan sebagai bagian dari komunitas.

Ajarkan pula tentang budaya mengantre. Dengan mengantre, anak-anak akan belajar disiplin, keteraturan, menghargai hak orang lain, dan bersabar. Dengan mengantre, anak-anak juga belajar untuk tidak egois atau menganggap dirinya paling penting dan harus selalu diutamakan.

Berekspresi

Belajar berekspresi yang saya maksudkan di sini adalah upaya untuk mengembangkan keterampilan seorang anak dalam mengungkapkan diri, pendapat, ide, keberatan, emosi, serta perasaannya kepada orang lain saat ia terjun di tengah komunitas dan masyarakat. Meski sekilas kelihatannya tidak penting, tetapi ada begitu banyak persoalan bangsa kita yang terkait dengan keterampilan berekspresi ini. Barbarnya netizen Indonesia di dunia maya serta ujaran kebencian berdasarkan ras, agama, gender, orientasi seksual, atau perbedaan politik yang sering terjadi saat ini menjadi contoh tentang betapa pentingnya kita mengajarkan keterampilan berekspresi ini kepada anak-anak semenjak dini. Jangan lupa, kemampuan anak untuk melakukan presentasi dalam berbagai kesempatan kelak juga dapat dipelajari melalui materi keterampilan berekspresi ini.

Nah, materi apa yang dapat diberikan kepada anak-anak agar dapat mengungkapkan ekspresinya dengan baik?

Banyak. Mendongeng, meminta anak untuk bercerita di depan kelas/teman-teman, mengajak anak berdiskusi dalam kelompok tentang berbagai topik, membuat proyek kecil bagi anak-anak dan kemudian meminta mereka menyampaikan hasilnya di depan kelas, melihat dan mendengar  film, gambar, atau audio yang dapat merangsang kemampuan anak untuk berekspresi secara tepat dan sehat, atau mengajak anak untuk membaca puisi, bermain drama, atau bermain peran di depan kelas. Hal-hal tersebut akan memupuk keterampilan sekaligus rasa percaya diri anak dalam mengungkapkan diri, ide, pendapat, serta perasaannya kepada orang lain secara tepat.

Dalam perkara mengungkapkan emosi, anak-anak perlu diajar untuk mengenal berbagai jenis emosi yang mereka miliki dan pada bagaimana menuangkan dan mengendalikan emosi tersebut agar jangan sampai merugikan diri mereka sendiri maupun orang lain. Oh ya, jangan lupa juga untuk mengajar keterampilan berbahasa pada anak karena ini menjadi faktor dasar bagi setiap orang dalam mengungkapkan pendapatnya agar dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh yang lain. 

Berpikir Kritis   

Berpikir kritis menjadi hal mendasar yang perlu dimiliki oleh setiap orang untuk menghadapi aneka persoalan dan tantangan dalam hidupnya. Dengan kemampuan berpikir kritis, seseorang akan mampu menyusun dan mengolah fakta, data, informasi, dan bukti secara cermat, mengambil keputusan atau pilihan yang tepat, memecahkan masalah, menjadi kreatif, memiliki kemampuan beradaptasi, dan melakukan kebenaran. Kemampuan berpikir kritis, dengan demikian, akan menjadi jalan bagi seseorang untuk mampu menguasai sains, teknologi, dan berbagai bidang keilmuan lainnya. 

Agar mampu menjadi manusia kritis, anak-anak wajib memiliki literasi yang baik. Untuk itu, mereka perlu dirangsang dengan berbagai kegiatan yang akan membuat mereka suka belajar, membaca, mendengar, menyimak, berhitung, dan menggunakan serta mengaplikasikan teknologi. Kegiatan belajar, karena itu, harus selalu menjadi aktivitas yang menyenangkan dan menantang bagi anak-anak untuk terus meningkatkan literasi dan pengetahuan mereka. Dengan alasan itu, maka sangat tidak tepat jika anak-anak TK justru sudah dibebani dengan pelajaran calistung, apalagi dengan kurikulum, metode, dan cara-cara yang sangat tidak menarik, membosankan, dan belum-belum sudah membuat anak sebal. Sebab, dengan begitu, kelas, sekolah, dan pelajaran hanya akan menjadi sebuah konsep yang sangat membebani, bukannya kesempatan yang sangat menarik untuk belajar dan berkembang buat anak-anak.

Last but not least, dalam semua kegiatan pembelajaran di atas, guru yang kreatif, punya pemikiran yang out of the box, child-friendly, dan paham psikologi anak menjadi sangat krusial. Sebaik apa pun tujuan atau kurikulum yang akan diberikan, tetapi jika tidak dibarengi dengan kemampuan yang mumpuni dari guru dalam menyampaikan materi atau pesannya kepada anak-anak, semuanya akan menjadi sia-sia.

Karena itu, ayolah pemerintah. Mari benahi juga sistem pendidikan guru TK dan SD di negeri ini. Sebab, seperti kata Alm. Y.B. Mangunwijaya, pendidikan dasar itu jauh lebih penting daripada pendidikan tinggi. Melalui pendidikan di tingkat dasar, seseorang akan mengalami pembentukan yang lebih intens dan berdampak pada karakter dan kemampuannya dibanding pada tingkat pendidikan tinggi. Dan, siapa lagi yang berperan penting dalam proses pembelajaran di sekolah selain guru-guru yang ada?

Yah, semoga saja tulisan ini dibaca oleh para pejabat dan pemangku kepentingan terkait, paling tidak oleh para orang tua dari generasi Alpha dan Beta di negeri ini. Di tangan Anda, masa depan bangsa ini bergantung.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun