Mohon tunggu...
Okky Prasetya
Okky Prasetya Mohon Tunggu... Kreator Konten, (Mantan) Jurnalis, Sports & Political Enthusiast

Profesional di bidang komunikasi, berupaya menghadirkan makna lewat komunikasi dalam konten dan narasi yang relevan. Berpengalaman mengemas isu-isu sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Percaya bahwa komunikasi yang kuat bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tapi juga membangun koneksi dan menciptakan dampak.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kala Megalomania Berkuasa, Siapa yang Menanggung Bencana?

1 September 2025   11:45 Diperbarui: 1 September 2025   11:32 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Heryunanto/KOMPAS)

Ada satu tipe manusia yang selalu meninggalkan jejak pahit di ruang kerja maupun ruang publik: megalomania. Mereka bukan sekadar percaya diri atau (terlihat) tegas, melainkan orang yang menuhankan dirinya sendiri. Setiap kata harus dituruti, setiap perintah dianggap mutlak, dan setiap keberhasilan diklaim sebagai hasil tunggal dari upayanya. Mereka alergi kritik, enggan berbagi sorotan, dan hidup dari pengakuan tanpa henti.

Dalam interaksi sehari-hari, tipe ini adalah toxic. Mereka membuat orang di sekitarnya merasa kecil, merampas ruang diskusi sehat, dan mematikan kreativitas. Rekan kerja hanya jadi pengikut, bukan rekan berpikir. Pertemanan pun berubah jadi relasi transaksional. Dekat kalau menguntungkan, ditendang jika berseberangan. Hubungan sosial yang seharusnya berbasis saling menghargai, pelan-pelan digerogoti hingga tak bersisa, diganti dengan satu hal bernama dominasi.

Parahnya, pola ini tidak berhenti di level individu. Jika megalomaniak bercokol di kursi pengambil keputusan, dampaknya bisa jauh lebih luas. Kita melihat bagaimana keputusan yang lahir bukan dari kepentingan bersama, melainkan dari ego dan ilusi keagungan. Inilah yang menciptakan rasa frustrasi kolektif. Keputusan yang diambil tampak medioker, tidak menyentuh apalagi menyelesaikan akar masalah, sekadar tambal sulam tetapi dipoles seolah langkah brilian. Publik dipaksa percaya, sementara realitas di lapangan berbicara lain.

Bukan Sekadar Gaya, Tapi Virus Sosial

Megalomania bukan hanya masalah "gaya kepemimpinan yang buruk". Ia adalah virus sosial. Dalam teori Social Dominance Orientation, individu dengan dorongan kuat untuk berkuasa akan berusaha menata ulang relasi sosial agar menguntungkan dirinya. Teman menjadi anak buah, kolega jadi bawahan, rakyat jadi massa yang bisa dikendalikan.

Relasi horizontal yang seharusnya sejajar berubah menjadi vertikal, satu orang di atas, sisanya di bawah. Begitu pola ini mapan, tak jarang ruang kritik segera hilang. Orang enggan bersuara karena tahu risikonya. Bisa dijauhi, didiskreditkan, bahkan disingkirkan. Akibatnya, suara minoritas terbungkam, sementara keputusan mayoritas dibajak oleh satu figur yang merasa "paling tahu".

Inilah yang membuat megalomania berbahaya. Ia tidak hanya merusak organisasi, ia bisa merusak kepercayaan sosial. Kita dipaksa hidup dalam ilusi bahwa "ada pemimpin", padahal yang kita hadapi hanyalah ego yang membesar tanpa kendali.

Dari Ruang Kerja ke Jalanan yang Membara

Jika fenomena ini terasa akrab, itu karena kita sedang mengalaminya dalam skala yang lebih luas. Beberapa waktu terakhir, jalanan dipenuhi demonstran. Mahasiswa, buruh, ojol, hingga kelompok masyarakat lain tumpah ruah, menyuarakan rasa muak. Kemarahan yang lahir bukan tanpa alasan, karena didorong oleh keputusan-keputusan politik dan ekonomi yang terasa semakin jauh dari aspirasi warga.

Masyarakat melihat bagaimana kebijakan dibuat dengan nada arogan, minim empati, dan cenderung defensif ketika dikritik. Lebih jauh, suara-suara kritis diberi label "makar" atau "teroris", padahal substansinya adalah ketidakadilan dan jeritan atas hidup yang kian terhimpit. Pola ini persis dengan wajah megalomania, alih-alih mendengar, mereka menekan; alih-alih berdialog, mereka menghardik.

Dalam psikologi kekuasaan, fenomena ini bisa dijelaskan dengan Power Disinhibition Effect. Ketika orang merasa kuasa di tangannya absolut, ia semakin impulsif, semakin jauh dari realitas sosial, dan semakin sulit menerima masukan. Hasilnya? Keputusan medioker yang dipoles sebagai pencapaian, sementara rakyat merasakan dampak negatifnya secara nyata. Entah itu biaya hidup yang melambung, sulitnya lapangan pekerjaan, penghasilan yang stagnan, hingga rasa tidak aman di ruang publik.

Ketulian yang Memperdalam Luka Rakyat

Jika megalomania membuat pemimpin keras kepala, maka "tone deaf" membuatnya tuli. Tone deaf berarti tidak peka terhadap nada. Dalam konteks sosial, artinya gagal membaca emosi publik, salah menangkap aspirasi, bahkan tidak mampu memilih kata yang tepat di tengah krisis.

Bayangkan, rakyat sedang marah karena adanya ketidakadilan, tetapi direspons dengan pernyataan yang justru terdengar meremehkan. Atau ketika demonstrasi meluas, alih-alih mengakui masalah, yang keluar adalah tudingan "ada agenda makar, ditunggangi asing", dan lain sebagainya. Pernyataan semacam ini tidak hanya gagal menenangkan, tapi justru memperuncing luka sosial.

Tak jauh berbeda dengan atasan di kantor yang saat timnya lembur tanpa henti malah berkata, "Saya bisa bekerja lebih keras dari ini." Bukan sekadar salah ucap, melainkan disconnect yang nyata. Tone deaf adalah soundtrack yang memperburuk narasi megalomania, karena selain otoriter, mereka juga tuli pada kenyataan.

Inilah yang membuat ketidakpuasan publik semakin membara. Orang bisa menerima keputusan sulit kalau prosesnya transparan dan komunikasinya empatik. Tetapi jika kebijakan buruk disertai komunikasi yang tone deaf, maka akumulasi kemarahan akan berujung pada perlawanan terbuka.

Ketika Tekanan Melahirkan Perlawanan

Megalomaniak selalu berpikir ia bisa mengendalikan situasi. Tetapi sejarah membuktikan, semakin keras ia menekan, semakin kuat pula dorongan untuk melawan. Di tempat kerja, tak sedikit karyawan berkualitas memilih hengkang, menyisakan barisan "yes man" yang hanya memperburuk keadaan. Di ruang publik, warga semakin banyak yang turun ke jalan, menyuarakan rasa frustrasi yang sudah terlalu lama dipendam.

Fenomena demonstrasi yang kita lihat hari-hari ini (bukanlah) puncak gunung es, meski menjadi akumulasi rasa muak dan tidak percaya pada para pengambil keputusan. Bukan tidak mungkin situasi ini berkembang menjadi lebih liar lagi. Terlebih yang mereka utamakan masih sebatas menjaga citra, bukan menjaga substansi, haus akan pengakuan, tetapi lupa mendengar. Pada titik ini, masyarakat akan menemukan jalan lain untuk bersuara, salah satunya lewat protes.

Jangan Biarkan Luka Sosial Jadi Warisan

Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? 

Pertama, megalomania adalah musuh sosial, bukan sekadar gangguan kepribadian. Ia merusak jaringan kepercayaan, membunuh ruang dialog, dan menjauhkan keputusan dari kebutuhan nyata. Kedua, tone deaf mempercepat kerusakan itu, setiap kata yang salah dapat (segera) menjadi bensin yang menyulut api ketidakpuasan. Terakhir, situasi panas di Indonesia hari ini adalah alarm keras. 

Demonstrasi hanyalah gejala, bukan penyakit. Penyakit sebenarnya adalah megalomania yang bercokol di lingkar kekuasaan, dipadukan dengan komunikasi tone deaf yang membuat rakyat merasa tak dihargai. Jika dibiarkan, kombinasi keduanya bisa menyeret bangsa ini pada jurang krisis kepercayaan yang lebih dalam. Karena kekuasaan tanpa empati hanyalah ilusi, bayang-bayang rapuh yang cepat runtuh saat diuji kenyataan.

Pada akhirnya, sejarah selalu punya cara untuk mengingatkan, tidak ada (megalomania) yang abadi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun