Mohon tunggu...
Okky Prasetya
Okky Prasetya Mohon Tunggu... Kreator Konten, (Mantan) Jurnalis, Sports & Political Enthusiast

Profesional di bidang komunikasi, berupaya menghadirkan makna lewat komunikasi dalam konten dan narasi yang relevan. Berpengalaman mengemas isu-isu sosial, politik, ekonomi, hingga budaya. Percaya bahwa komunikasi yang kuat bukan hanya tentang menyampaikan pesan, tapi juga membangun koneksi dan menciptakan dampak.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kala Megalomania Berkuasa, Siapa yang Menanggung Bencana?

1 September 2025   11:45 Diperbarui: 1 September 2025   11:32 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Heryunanto/KOMPAS)

Dalam psikologi kekuasaan, fenomena ini bisa dijelaskan dengan Power Disinhibition Effect. Ketika orang merasa kuasa di tangannya absolut, ia semakin impulsif, semakin jauh dari realitas sosial, dan semakin sulit menerima masukan. Hasilnya? Keputusan medioker yang dipoles sebagai pencapaian, sementara rakyat merasakan dampak negatifnya secara nyata. Entah itu biaya hidup yang melambung, sulitnya lapangan pekerjaan, penghasilan yang stagnan, hingga rasa tidak aman di ruang publik.

Ketulian yang Memperdalam Luka Rakyat

Jika megalomania membuat pemimpin keras kepala, maka "tone deaf" membuatnya tuli. Tone deaf berarti tidak peka terhadap nada. Dalam konteks sosial, artinya gagal membaca emosi publik, salah menangkap aspirasi, bahkan tidak mampu memilih kata yang tepat di tengah krisis.

Bayangkan, rakyat sedang marah karena adanya ketidakadilan, tetapi direspons dengan pernyataan yang justru terdengar meremehkan. Atau ketika demonstrasi meluas, alih-alih mengakui masalah, yang keluar adalah tudingan "ada agenda makar, ditunggangi asing", dan lain sebagainya. Pernyataan semacam ini tidak hanya gagal menenangkan, tapi justru memperuncing luka sosial.

Tak jauh berbeda dengan atasan di kantor yang saat timnya lembur tanpa henti malah berkata, "Saya bisa bekerja lebih keras dari ini." Bukan sekadar salah ucap, melainkan disconnect yang nyata. Tone deaf adalah soundtrack yang memperburuk narasi megalomania, karena selain otoriter, mereka juga tuli pada kenyataan.

Inilah yang membuat ketidakpuasan publik semakin membara. Orang bisa menerima keputusan sulit kalau prosesnya transparan dan komunikasinya empatik. Tetapi jika kebijakan buruk disertai komunikasi yang tone deaf, maka akumulasi kemarahan akan berujung pada perlawanan terbuka.

Ketika Tekanan Melahirkan Perlawanan

Megalomaniak selalu berpikir ia bisa mengendalikan situasi. Tetapi sejarah membuktikan, semakin keras ia menekan, semakin kuat pula dorongan untuk melawan. Di tempat kerja, tak sedikit karyawan berkualitas memilih hengkang, menyisakan barisan "yes man" yang hanya memperburuk keadaan. Di ruang publik, warga semakin banyak yang turun ke jalan, menyuarakan rasa frustrasi yang sudah terlalu lama dipendam.

Fenomena demonstrasi yang kita lihat hari-hari ini (bukanlah) puncak gunung es, meski menjadi akumulasi rasa muak dan tidak percaya pada para pengambil keputusan. Bukan tidak mungkin situasi ini berkembang menjadi lebih liar lagi. Terlebih yang mereka utamakan masih sebatas menjaga citra, bukan menjaga substansi, haus akan pengakuan, tetapi lupa mendengar. Pada titik ini, masyarakat akan menemukan jalan lain untuk bersuara, salah satunya lewat protes.

Jangan Biarkan Luka Sosial Jadi Warisan

Apa yang bisa kita pelajari dari semua ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun