Mohon tunggu...
Okto Klau
Okto Klau Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Menulis adalah mengabadikan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Benang Kusut yang Masih Harus Diurai Pemerintah dengan Hapus Tenaga Honorer 2023

24 Januari 2022   09:52 Diperbarui: 24 Januari 2022   19:05 1064
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ratusan tenaga honorer di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, menggelar aksi demonstrasi di DPRD Jombang, Rabu (3/10/2018) pagi. (KOMPAS.com/Moh. Syafi'i)

Pemerintah telah memastikan akan menghapus tenaga honorer di tahun 2023. Namun ceritanya tidak akan berakhir di situ karena sudah pasti akan muncul masalah baru lagi bila tidak ditangani dengan baik. 

Ibaratnya, persoalan tenaga honorer ini bagaikan benang kusut yang masih harus diurai sehingga kelak tidak menghadirkan kekusutan-kekusutan baru.

Tenaga honorer telah menjadi persoalan menahun dan menggerogoti pemerintahan mulai dari pemerintah pusat hingga daerah-daerah. Setiap tahun isu ini tidak pernah luput dari pemberitaan maupun demo-demo dari para buruh.

Bahkan masalah ini digoreng lagi oleh pihak-pihak yang mengaku sebagai pembela tenaga -tenaga honorer seolah-olah kesalahan utama dari kisruh tenaga honorer ini adalah pemerintah semata. Padahal, bila ditelisik lebih jauh, kesalahan-kesalahan semacam ini tidak bersifat satu arah. Lalu apa tanggapan pemerintah?

Pemerintah tidak tinggal diam. Banyak terobosan telah ditempuh pemerintah untuk mengatasi persoalan klasik ini. Salah satu solusinya adalah pemerintah memberikan jalur khusus untuk tenaga-tenaga honorer agar diangkat menjadi PNS.

Melalui jalur khusus ini, pemerintah mulai mengelompokkan para tenaga honorer ini menurut kelompok dan klasifikasi khusus. Klasifikasi para tenaga honorer ini didasarkan pada PP Nomor 48 Tahun 2005 juncto PP Nomor 43 Tahun 2007. 

Dari sana mulai ada pengelompokan tenaga honorer Kategori 1 (K1) yaitu tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai oleh APBN atau APBD dan Kategori 2 (K2) yaitu tenaga honorer yang penghasilannya tidak dibiayai oleh APBN atau APBD.

Mereka semua yang masuk dalam dua kelompok di atas kemudian diakomodir pemerintah menjadi PNS setelah melengkapi berkas-berkas yang menjadi persyaratan yang diberlakukan oleh pemerintah.

Pertanyaan lanjutannya, apakah dengan K1 dan K2 persoalan tenaga honorer selesai, ternyata tidak. Masalah tenaga honorer tetap menjadi penyakit kronis bagi bangsa ini.

Bila ditelisik lebih jauh, masalah tenaga honorer ini sebenarnya bukan hanya ada di hulu melainkan ada juga di hilir.

Pemerintah daerah misalnya, karena kepentingan politik akibat janji-janji semasa kampanye, mengangkat tenaga-tenaga honorer untuk masuk ke instansi-instansi pemerintahan yang jumlahnya fantastis.

Fatalnya lagi pengangakatan tenaga-tenaga honorer ini bukan berdasarkan pada analisis kebutuhan pegawai yang matang tetapi hanya karena untuk menyenangkan para pendukung.

Konsekuensinya, banyak biaya pembangunan harus disunat untuk menutup biaya dan belanja tenaga honorer ini.

NTT misalnya, tenaga honorer ini berjumlah sebanyak 4.817 orang. Dari jumlah itu, 4.766 orang dibiayai oleh APBD dan 45 orang dibiayai dari dana APBN(BKD 2019). 

Universitas Nusa Cendana telah melakukan kajian tentang tenaga honorer ini. Dari kajian ini, mereka menemukan bahwa sistem perekrutan tenaga kontrak atau honor yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang baku.

Kondisi ini menciptakan peluang terjadinya Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Belum lagi, kalau pengangkatan itu berdasar pertimbangan-pertimbangan politik yang bias.

Kenyataan di atas tidak ubahnya juga persis terjadi di pemerintahan kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota juga mengangkat tenaga honorer kabupaten/kota.

Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2019 secara tegas menyatakan bahwa masa transisi penghapusan tenaga honorer di instansi pemerintah dan juga honorer-honorer di sekolah-sekolah berlangsung hingga 2023.

Pemerinta sekali lagi menawarkan jalan keluar instan untuk para tenaga honorer ini. Pemerintah mempersilakan para tenaga honorer eks K2 agar bisa mendaftar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Sementara, bagi yang tidak memenuhi syarat bisa mengikuti seleksi PPPK.

Namun benang kusut ini belum terurai sepenuhnya hanya dengan tes CPNS dan PPPK. Masih ada persoalan lain yang ada di depan mata. Yang jelas pengangguran akan bertambah karena sudah pasti tidak semua tenaga honorer bisa terakomodir melalui CPNS dan PPPK.

Pertanyaannya, bagaimana dengan tenaga-tenaga honorer yang sekarang ini masih mengabdi di instansi-instansi pemerintah baik daerah, provinsi, maupun pusat? Bagaimana pula dengan tenaga-tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah-sekolah negeri yang statusnya masih honorer? Bila mereka tidak berhasil tes CPNS atau PPPK, kemana mereka semua akan pergi?

Kesulitan yang dihadapi nantinya adalah ketiadaan lapangan pekerjaan. Pengangguran pasti. Masalah sosial lainnya bermunculan.

Bahkan bisa jadi semakin banyak orang kita terutama mereka yang eks tenaga honorer ini akan mencari sesuap nasi di Malaysia, Brunai, Hongkong, Arab Saudi, dan negara-negara lain yang menyediakan bagi mereka lapangan pekerjaan yang tiada habisnya.

Kita harus menggali akar masalah dari semua ini. Tengok saja out put dari perguruan-perguruan tinggi. Perguruan-perguruan tinggi kita mencetak begitu banyak sarjana yang sebagian dari mereka tidak dipersiapkan untuk mandiri dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri mereka.

Sementara itu, mental untuk menjadi PNS masih sangat kental dan mendarah daging. 

Barangkali di kota-kota besar dan maju, mental menjadi PNS sudah berkurang karena ada begitu banyak alternatif pekerjaan. Akan tetapi di daerah-daerah yang kurang sekali lapangan pekerjaan, PNS masih merupakan primadona.

Namun setiap tahun formasi yang disediakan daerah untuk kuota PNS sedikit, sedangkan pelamar berlipat-lipat ganda. Mereka itu adalah out put dari perguruan-perguruan tinggi yang setiap tahun mencetak ribuan sarjana.

Bagi mereka yang telah sukses dan derajatnya telah berada di level atas maupun menengah, akan mengatakan orang harus kreatif agar bisa bersaing dan bertahan hidup.

Akan tetapi hal ini tidak berlaku bagi mereka yang berada di kelas-kelas bawah yang jangankan modal, koneksi saja mereka tidak punya. Dan kita bisa menghitung, berapa persen orang-orang high class yang ada di Indonesia dan berapa persen orang-orang kelas menengah kita.

Mayoritas masyarakat kita ada di batas garis kemiskinan kalau kita tidak mau lebih ekstrim lagi mengatakan di bawah garis kemiskinan. Ini realita.

Benang kusut ini mau tidak mau harus diurai. Bila pemerintah tidak menyediakan lapangan pekerjaan bagi mereka persoalan menahun lain yaitu soal TKI/TKW akan semakin menjadi-jadi beberapa tahun ke depan.

Solusi sederhana bagi pemerintah, barangkali pemerintah membuat pelatihan dengan fokus pada sklill dan ketrampilan hidup kepada tenaga-tenaga honorer ini agar mereka mampu menciptakan peluang usaha bagi diri mereka sendiri di mana mereka adalah pekerja sekaligus bosnya.

Dukungan seperti ini, tidak saja menghindarkan masalah pengangguran tetapi juga bisa mengangkat derajat dan martabat mereka.

Catatan untuk para tenaga honorer yang akan dihapus pemerintah di 2023 tahun depan, life must will go on. Hidup harus tetap berlanjut.

Setiap langkah harus dikalkulasi secara matang agar kita tidak mati di antara hentakan jaman yang bergerak dan melesak bak anak panah.

Hidup tidak akan berhenti. Kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan ritme jaman ini. Semua tetap akan berjalan dan berlanjut. Maka pintarlah mengatur siasat.

Selamat berjuang teman-teman tenaga honorer.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun