Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalteng dan Sejuta Kekaguman

5 April 2023   23:07 Diperbarui: 5 April 2023   23:09 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalimantan Tengah dari atas pesawat (dokpri)

Ramadhan telah memasuki hari ke-14. Dan saya, baru bisa meluangkan waktu menulis. Episode Ramadhan  kali ini membawa saya jauh dari rumah. Meninggalkan tempat di mana seharusnya saya ingin menjalani Ramadhan. 

Tempat yang ditujuh ialah Pulau Borneo, tepatnya Kalimantan Tengah. Pulau yang menjadi tempat kesekian di mana buka puasa dilakukan jauh dari rumah.

Sahur hari pertama dilaksanakan di Jogja. Kemudian dari Jogja menuju Bandara Y.A.I Kulonprogo. 

Bandar Udara yang selalu membuat saya takjub. Meski jumlah penerbangan tak seberapa dibanding Surabaya atau Cengkareng, tetapi bandara ini saya yakini bakal berkembang di masa depan. 

Desain badara yang elegan juga fasilitas dan suasana berkomparasi kuat. Saya suka, ketika pengumuman dilakukan menggunakan bahasa Jawa.  Halus dan sangat enak didengarkan. 

Dari bandara Kulonprogo, saya dan rombongan transit di Bandar Udara Soekarno Hatta. Kemudian melanjutkan lagi ke Bandara Palangkaraya.

Saya belum pernah menginjakan kaki di Kalimantan. Dan begitu antusias ketika  tau sebentst lagi ke bakal mendarat ke negeri yang disebut sebagai paru-paru dunia ini.

Satu jam perjalanan dilakukan. Dan ketakjuban mengetuk diri ketika melihat terhampar sungai-sungai besar yang dapat ditengok dari jendela pesawat. 

Sungai yang tak ada habis ujungnya. Juga terhampar daratan rata dan sangat luas. Sungai lebar dengan jembatan kokoh dan tinggi yang saya saksikan beberapa hari kedepan.

 Juga rimbunan hijau dan pepohonan. Meski aku sedikit kecewa soal ini ketika baru mengetahui informasi setelahnya. 

Saya tak sedikutpun melepaskan pandangan di bawah sana. Semabri berkumat dalam diri " luar biasa Pulau ini".

Bandara Palangkaraya cukup besar namun intensutas penerbangan hanya tiga kali. Pagi, siang dan sore. Begitu informasu yang aku peroleh. 

Setelah mendarat, kami di jemput oleh beberapa orang di pintu keluar. Namun sekali lagi; ketakjuban tak pernah surut. Lantunan musik dari seorang wanita dan beberapa pria gerpakaian adat di samping pintu keluar menyita perhatian. 

Tidak langsung saya salami para penjemput. Melainkan larut dalam alunan musik yang dimainkan. Saya lupa musik tradisional apa tepatnya.

Barulah sekira lima belas menit kemudian, kami bergerak. Dan perjalanan menjajal Kalimantan Tengah dimulai. Tiga mobil membawa kami menuju tujuan. Tepatnya ke Kabupaten Pulang Pisau.

Dan dalam perjalanan itu, buka puasa dilakukan di mobil. Menariknya, meski belum jam enam, suasana sudah sangat gelap. Seperti sudah pukul delapan atau sembilan. 

Saya pikir Kalimantan Tengah mengikuti waktu Indonesia Tengah. Ternyata tidak. Setelah beberapa penjelasan perihal ini barulah saya ketahui sebab ilmiahnya.

Saya yang penasaran selalu melemparkan pertanyaan-pertanyaan ke penduduk lokal yang menjemput kami. Tentang demografi, tupgrafi, sosial dan kebudayaan disini. 

Perjalananan ke Pulang Pisau menempuh waktu dua jam setengah. Begitu kata supir yang berasal dari Makassar. Tapi saya rasa cukup jauh. Jalanan yang ditempuh sangat baik. Dan menatiknya hanya satu jalan provinsi yang menghububgkan kalimantan. 

Adegan salip menyalip memang sering terjadi. Tetapi saya akui, kelincahan dan kepatuhan para pengemudi di sini. Jalan raya ini sempit namun sangat ramai oleh lalu lalang kendaraan. Khususnya kendaraan besar.

Dokpri
Dokpri

Di sepanjang jalan saya melihat pemukiman-pemukiman yang berjarak-jarak. Dan dengan tipikal konstruksi yang sama. Berdinding papan serta semi panggung. Juga berdiri di atas aliran air atau samping jalan. Dari sini saya ketahui Kalimantan memiliki tipikal lahan gambut.

Saya sempat berpikir apakah ini wajah kalimantan seseungguhnya? Tidak ada bangunan besar atau pertokoan maupun hotel. Pemandangan ini menarik ingatan pada Halmahera dimana pembangunan hampir sama persis.

Namun setelah Di Pulang Pisau, dan kembali dari penjamuan Ibu Bupati di rumah dinas. Dan menuju Palangkaraya, barulah aku ketahui perkembangan pembangunan Kota dan Ibukota yang begitu berbeda. 

Sangat maju dari sisi pergerakan manusia, pembangunan dan mungkin ekonomi. Kota pergerakan ekonomi. Ciri khas Indonesia di mana kota pusat selalu mencolok. Banyak pula hotel berbintang.

Besoknya kami menuju Kabupaten Katingan. Sejam dari Palangkaraya. Lalu menuju lagi ke Kabupaten Waringin Timur. Tujuh jam perjalanan. Berisitirahat di tempat ini semalam lalu besoknya lagi menuju Kabupaten seruyan

Ekonomi dalam pandangan

Perkebunan sawit. Dopkri
Perkebunan sawit. Dopkri

Dalam perjalanan ke Kabupaten Waringun Timur yang melahkan,--selain karena jauhn, juga jalanan yang kadang bolong dibeberapa titik, saya begiu takjub dengan kehidupan-kehidupan sepanjang jalan. Rumah-rumah semi permanen dan tentu saja lahan yang terhampar luar.

Disparitas kota dan kabupaten memang begitu terasa wujudnya. Mirip seperti Maluku Utara. Namun persoalan ekonomi, saya rasa Kalimantan khususnya Kalteng masih jauh lebih unggul.

Saya memang tak melihat ada pohon pala atau cengkih. Hanya pohon kelapa sebiji dua biji.  Selebihnya, terhampat banyak sekali kebun-kebun sawit. Di mana-mana. Dari lahan besar gingga didepan rumah.

Sebelumnya saya sudah diberitahukan bahwa bakal banyak melihat kebun-kebun sawit. Dan benar saja. Sepanjang jalan itu aktivitas persawitan begitu terlihat nyata. Semakin jauh menuju tujuan semakin sawit menyapa.

Pembukaan lahan (dokpri)
Pembukaan lahan (dokpri)

Selain sawit, saya menikmati potensi ekonomi bernama burung Wallet. Bangunan-bangunan tinggi menjulang yang ada dibelakang rumah-rumah warga. Sepanjang perkampungan rumah burung walet dibangun. Dengan berbagai warna juga model. Menjulang tinggi melebihi tumah penduduk sendiri. 

Juga dalam satu kecamatan. Saya lihat ada begitu banyak hektar tertanami buah nanas. Yang tentu belum pernah saya lihat sebelumnya.

Di waringin timur, kami dijamu di rumah jabatan bupati. Dari sini saya bercakap-cakap dengan pak supir.

Ia yang sudah berkeluarga dan menetap di kalimantan cukup memberikan banyak informasi. Selama ini saya hanya tau tragedi Sampit. Tapi penjelasannya justru membuka mata. Bahwa kehidupan di sini telah berubah jauh lebih damai. Tidak ada lagi pertikaian. Bahkan semua sudah saling masuk keluar. Ah sungguh sebuah keharmonisan luar biasa.

Ia juga membeberkan bahwa memang di sini banyak sawit. Dan Waringin Timur merupakan daerah yang juga begiu maju selain sawit sebagai penyumbang utama juga kota ini nerupakan kota peerdagangan. 

Saya sendiri melihat begitu pergerakan ekonomi begitu hidup disini. Sama seperti Palangkaraya.

Selain potensi itu, suguhan pantai kala menuju Kabupaten Seruyan juga memberikan harapan akan potensi. Pantai yang saya lupa namanya ini terhampar begitu panjang pasir putih. Beberapa titik memang dikelola. Tetapi beberapa tidak. 

Meski agak kecewa karena banyaknya sampah atau tidak terurus dibeberapa titik. saya sangat menikmati pantai disini. 

Saya berandai-andai, jika dimaksimalkan dengan baik dan didorong kebijakan maka bukan tak mungkin bakal menjadi primadona.

Dokpri
Dokpri

Kerukunan dan keharmonisan

Dokpri
Dokpri
Di Kalteng, saya merasai kerukunan terjaga dengan baik. Apalagi menjalani puasa bagi saya. Saling mebghargai dan toleransi yang di tunjukan begitu tinggi.

Tidak ada tutup menutup rumah makan. Semua berjalan seperti hari-hari biasa. 

Banyak masjid dan gereja disetiap kampung atau desa. Hidup berdampingan dengan damai. Dimana saja kita bisa melaksanakan sholat.

Keseragaman suku dari seluruh Indonesia hidup berdampingan. Itu yang saya ketahui. Banyak penduduk luar kalimantan sudah hidup dan menetap di kalimantan Tengah.

Saya lupa ada berapa suku utamanya Suku Dayak di sini. Penjelasan dari seorang teman yang bersuku Dayak harus terpotong oleh teman yang menyuruh berhenti sejenak memberi makan Monyet di pinggir jalan menuju seruyan.

Dokpri
Dokpri

Pertanyaan yang belum terjawab dalam diri

Di manakah hutan paru-paru dunia itu?

Pertanyaan ini selalu aku ajukan. Sebab sepanjang perjalanan saya begitu penasaran ingin melihat pohon-pohon besar paru-paru dunia itu.

Saya hanya melihat sawit sepanjang jalan. Baik sawit produktif maupun baru tertanam. Juga lahan-lahan. Sawit yang sesekali bikin diri kesal. Sebab dalam dir saya hanya ingin melihat hutan.

Hingga puncaknya ketika penasaran hampir tak mampu dijawab, seorang teman bersuku Dayak memberikan penjelasan. Jika mau melihat hutan bisa masuk lebih jauh lagi kebeberapa kabupaten.

"Masuk kedalam lagi ya?"

"Iya bang. Di lokasi-lokasi itu juga banyak perusahan kayu."

"Saya tak ingin melihat perusahaan kayu. Daya hanya ingin melihat rimbunan pepohonan,"

"Baiklah jika berkenaan kembali lagi, kita akan kelokaso terdekat"...

"Baiklah".....

Bersambung..........

(Sukur dofu-dofu, Kalimantan Tengah)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun