Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenal Diri

13 Agustus 2022   22:14 Diperbarui: 13 Agustus 2022   23:40 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

.....Belum bisa Minke. Kasihan dia. Orang akan menonton kami berdua. Pada suatu kali dia akan dengar mereka bilang; lihat Belanda buntung pincang dengan anaknya itu. Jangan, Minke. Jiwa semuda itu jangan dilukai dengan penderitaan tak perlu, sekalipun cacat ayahnya sendiri. Dan hendaknya tetap mencintai aku dan memandang aku sebagai ayahnya yang mencintainya tanpa melalui suara dan pandang orang lain........

Di perdengarkan olehnya sebuah percakapan yang dikutip dari Buku Bumi Manusia Karya Pramodya Ananta Toer padaku. Lalu menyambung pada keadaan dirinya.

"Kakekku senasib dengan toko tersebut. Manusia yang dinasibkan punya keterbatasan fisik. Bedanya, ia tak menyembunyikan kecacatan dirinya. Namun kehidupan tak luput dari ejekan dan pandangan orang lain tersebut," ujarnya. 

Bisingnya suara kendaraan di kota metropolitan ini seketika hening dalam pikiranku. Angin seketika berhenti. Cahaya temaparan lampu jalan beransur kalah dalam pandangan. 

Matanya memandang jauh kedepan, sedikit berkaca-kaca. Duduk dipojokan kiri ku, pada sebuah bangku panjang berwarna biru yang mulai terkelupas, aku tidak berani menyelah ruang kedip yang sedang ia lemparkan jauh ke belakang.

Duduk kami berdua dalam kesepian sejenak. Ruang menjadi hampa. Hanya suara kucing yang berkelahi memperbutkan sisa makanan yang dibuang pedagang. 

Makanan sisa pelanggan yang tak habis di memenuhi lambung dan berakhir di pojokan gedung-gedung tinggi; tempat sampah dan menjadi rebutan hewan-hewan yang beruntung.

"Boleh kah kau ceritakan padaku," selahku menebas kesepian.

"Dengan senang hati ku ceritakan"

Ia berkisah....

Aku hidup dari keluarga broken home. Riwayat kedua orang tua ku baru kudapati ketika dewasa. Namun jejak ayahku, seperti hilang digurun pasir. 

Tak secuilpun kenangan, gambaran, ataupun nama yang melekat di ingatan. Jika abdjad punya huruf depan A, maka tak berlaku bagi ayahku. Ia tak punya identitas dalam memori selama aku hidup.

Konflik batin selalu terdepan. Ketika aku harus menjelaskan susah payah kepada orang-orang yang bertanya. Di sekolah, di kampus, di tempat tongkrongan, dan di tempat kerja sekalipun.

Penjelasan-penjelasanku justru menimbulkan keruwetan dan kebingungan yang melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak aku sukai. Dan aku memilih menghindari.

Sejak kecil, sosok itu tergantikan oleh dua manusia tua yang perkasa; kakek dan nenek. Kerutan wajah tak mengambarkan kelelahan kasih sayang. Tangan perkasa, cukup kuat untuk menggenggam parang dan cangkul. Membabat hutan dan mencangkul tanah guna menghidupkan tanaman sumber makan kami.

 Di bawah atap katu; daun sagu, dinding bambu dan tungku batu, kehidupan masa kecilku diwarnai. Dan kakekku, adalah satu-satunya sosok yang aku kenal sebagai ayah; penyayang, pengayom, pelindung dan guru kehidupan.

Ia tak ragu menghardik siapapun yang melukaiku, mengejekku atau bahkan mencelakaiku. Walau ia punya keterbatasan fisik. Kakinya cacat. Tidak buntung tidakpula memakai kursi roda. 

Ia bisa berjalan. Namun sepanjang hidup, tak pernah sekalipun ia memakai sendal. Tanah menjadi saksi, ribuan atau bahkan jutaan tapak kakinya telah ditandai dalam perjalannya.

Kondisi fisik kakinya berbeda dengan yang lain. Tak dapat aku jelaskan. Namun jika digambarkan secara gampang, ia seumur hidup jalan jinjit. Hanya ujung jari nya saja yang menyentuh tanah sementara separuh kakinya tidak.

Penyakit aneh itu menyerangnya dikalah usianya baru 16 tahun. Bermula dari luka kecil yang tak kunjung sembuh diobati. Dan perlahan menarik kulitnya menjadi kencang. Struktur tulangpun ikut dan jadilah ia seperti itu.

Jika saja dulu, di era ia muda. Di tahun antara 1950 an sudah ada pelayanan kesehatan yang memadai maka sudah pasti bisa disembuhkan. Namun karena satu-satunya pengobatan hanya melalui mantri yang keliling desa, dan pengobatan tradisional maka tak kunjung membaik penyakitnya itu.

Kakek ku anak tunggal. Tak punya adik atau kakak. Keluarganya kaya. Orang terpandang lantaran punya banyak harta. Jika digambarkan mungkin seperti ulasan dalam buku Bumi Manusia. Priyai yang terpandang.

Orang tuanya lalu banyak menjadikan anak saudara, tetangga dan kenalan sebagai anak angkat. Agar kakekku punya saudara. Anak-anak atau saudaranya tersebut yang akhirnya menjadi keluarganya hingga anak cucu sampai kami saat ini. Pertalian itu menjadu kuat.

Kekurangan fisik kakekku tersebut sudah tentu menjadi bahan olokan warga desa atau kemanapun ia pergi. Namun ia tak kadung surut menjalani kehidupan.

Bahkan saat ia melamar nenekku, kekurangam fisiknya menjadi penolakan pertama. Akan tetapi kekuatan cinta tak mampu ditandingi. Nenek ku menerima pinangannya setelah sekian kali penolakan. Mereka kemudian membangun keluarga dengan 9 anak.

Aku merupakan cucu yang beruntung hidup dari tangannya. Di rawatnya aku, di sekolahkan dan dibesarkan. Dan selama itupulah, kemanapun ia melangkah, aku selalu menggenggam tangannya.

Ia tak pernah malu melangkahkan kaki ke kota, ke pasar-pasar atau di keramaian. Lirikan orang-orang, bisik membisik, seperti sudah biasa baginya. Namun bagiku itu sesuatu yang tabuh.

Aku memperhatikan itu dalam setiap perjalanan kami. Rasa tak percaya diri selalu menyerangku. Kemarahan adalah puncak batin yang sering ku alami. Namun kakek ku, tidak memusingkan itu semua.

Pernah aku bertanya kenapa ia begitu kuat mentalnya pada cibiran orang. Sementara aku yang oleh anak desa sering dibuli selalu menangis tak henti-hentinya. Namun jawabannya sungguh mempesona.

"Jikalau hidup tak memiliki keberanian maka bagaimana nanti kamu mempertanggung jawabkan nya pada Tuhan. Jangan takut siapapun atau menyalahkan keadaan apapun. Itu kesalahan dalam aturan sebagai manusia. Tal perlu membalas, cukup senyum dan doakan".

Sejak saat itu aku memahami. Ia tak peduli atas kekurangannya. Walaupun bagiku, bulyian selalu menjadi alamat yang mendobrak dada. Sebagai anak kecil tentu saja aku geram. 

Di pandang sebelah mata, cibiran dan narasi sumbang melekat erat di hidupnya. Tak akan mampu aku hitung berapa banyak perkara itu mendarat di telinga. Jika mampu ku catat, mungkin sudah menjadi buku berjilid-jilid. 

Kehidupan ku dengannya yang kekurangan itu justru membawa banyak kebaikan bagiku saat ini. Utamanya pelajaran hidup yang selalu ia tanamkan pada kami. 

Aku bisa membanggakan keluargaku. Sampai sejauh ini, tak ada satupun yang berkelahi atas harta peninggalannya, tak ada satupun dari kami yang saling dengki, benci atau marah-marahan dan memutus silaturahmi. Tidak ada itu semua.

Didikannya yang keras menutupi kekurangganya di mata keluarga. Penyayang dan penuh dedikasi. Dan aku akan selalu berterima kasih dalam wujud doa-doa yang aku panjatkan.

Pelajaran darinya menjadi prinsip hidup yang sekarang selalu aku tanamkan. 

*

Ia menghela napas. Kopi yang sedari tadi tak di sruput diraihnya. Sekali tegukan habis. Aku hanya memperhatikannya dengan seksama.

"Sejauh ini, hanya itu yang perlu ku bagi," ujarnya.

Aku hanya menoleh dan tak mau memaksanya menceritakan lebih lanjut. Aku sudah cukup memahami pria yang barusan aku kenal di warung pojokan ini. Namun bagiku, ceritanya ini adalah manifestasi dari orang-orang hebat. 

Ia hebat, terlebih kakek dan keluarganya. Orang-orang yang tidak peduli lantaran hidup tidak harus di pertanggungjawab kan kepada manusia, melainkan kepada Tuhan sang pencipta. (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun