Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasib Penjual Batu Bacan

2 September 2021   13:40 Diperbarui: 2 September 2021   16:03 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang yang menjajakan dagangan pada salah satu konsumen dari luar daerah.(Dokpri)

"Dulu tenar, sekarang tenggelam"

Kejayaan tak akan kekal. Ia akan runtuh tergerus jaman. Di tengah keruntuhan itu, ada orang-orang yang masih bertaruh nasib dengan harap demi meraup keuntungan dari sisa kejayaan. 

Itupulah yang dirasakan oleh para pedagang batu akik Bacan, di Ternate. Salah satunya Emang. Ia dan kawan-kawan seprofesi harus bersusah payah menjajakan dagangannya dari satu konsumen ke konsumen lain. 

Tidak lagi berlapak. Mereka kebanyakan berbisnis dari rumah. Mulai dari memotong batu, menggosok, memoles hingga menjual. Konsumen kebanyakan datang dari relasi yang ingin memberikan buah tangan kepada tamu dari luar daerah. Atau tamu yang hendak mencari batu akik.

Situasi semakin runyam tengah pandemi ini. Kegiatan perdagangan yang mereka lakukan dihantam ujian berat. Tak jarang, hingga bermingu-minggu, tidak ada satupun yang terjual.

Dulu, tidak begini. Di saat "demam" batu akik melanda, mereka cukup stay di lapak masing-masing. Para pelanggan akan datang dan berburu berbagai batu akik dengan bermacam model.  Dari batu Obi hingga Bacan yang naik daun. 

Semua orang main batu akik. Baik sebagai konsumen atau pedagang. Saya sendiri ikut-ikutan berdagang karena termakan bujuk rayu teman. Juga pada penghasilan yang luar biasa cepat dan fantastis.

Satu mesin penggosok saya beli. Saya ingat harganya 500 ribu saat itu. Amplas, lem, ring dan tentu saja bongkahan batu akik. Di beli dengan harga murah serta mengintimidasi teman-teman yang berdomisili di lokasi penambangan.

Belajar mengoles batu secara otodikak di rumah. Sesekali meminta saran yang sudah profesional Hasilnya tak mirip orang pengoles yang profesional di pasar Gamalama. Tapi dalam sehari bisa meraup 200-400. Atau dua atau tiga cincin terjual. 

Sebuah pendapatan rumahan yang cukup fantastis untuk ukuran penganguran elit waktu itu. Walau terbilang kalah jauh dari pedagang di Pasar. 

Dalam sehari mereka bisa meraup keuntungan di atas 20 juta. Satu cicin kecil ukuran perempuan semisal batu Obi bisa mencapai 300-400 ribu. Sedangkan Batu Bacan, utamanya yang berasal dari desa Doko, nilainya fantastis.

Mencapai jutaan hingga puluhan juta sesuai ukuran cincin. Belum ditambah jika jenis batu akik tertentu memenangi kontes. Semisal batu King Obi yang secara tidak langsung mendongkrak nilai jual batu tersebut.

Pun dengan penjual bongkahan batu akik yang mendulang untung dan"kaya mendadak". Bayangkan saja, dulu bongkahan batu akik Bacan sebesar kepalan tangan dengan kualitas super bisa terjual di atas 300 juta bahkan lebih. 

Bahkan ada yang mencapai 1 Milyar dan viral sekota. Sebuah kondisi yang mendorong oranh-oramh nyemplung ikut main. Sementara ukuran standar yang tak super bisa mencapai 40 jutaan keatas . Itupun konsumen lokal, belum luar daerah yang harganya lebih melangit.

Begitu juga dengan penambang. Berbondong warga menuju lokasi dan melakukan penambangan. Baik berkelompok atau digaji oleh pemilik lahan. Hasilnya akan dijual ke pembeli bongkahan atau perantara.

Saking antusiasnya, pertambangan semisal emas kalah pamor. Ada yang kaya mendadak oleh fenomena "demam batu akik saat itu.  Di salah satu daerah penambang, kepala desanya bahkan menjadi milyader dengan menetapkan setiap lubang harus membayar upeti.

Kejayaannya membuat ekonomi warga mengalami perputaran dasyat. Rupiah mengalir dengan lancar. Banyak pihak memperoleh asas manfaat dari perekonomian.

Sekarang berbeda. Demam batu itu punah. Hanya setahun kejayaannya. Seingat setelah Ramadhan, demam itu sembuh. Batu tak lagi dilirik. Jatuh harganya, jatuh pula pebisnis-pebisnis. gulung tikar. 

Memakai sandaran scarity pun bertolak belakang. Semakin langkah semakin mahal tidak berlaku. Sehingga pedagang-pedagang yang bertahan sebagai mata pencaharian utama, harus melakukan berbagai upaya. Mulai dari membangun relasi hingga terpaksa membanting harga.

*

dokpri
dokpri

"Masih adakah yang jual batu bacan" tanya salah satu tamu saya dari Kota Makassar.

Kedatangan mereka kesini karena urusan bisnis selama tiga hari. Selama itupulah saya menjadi guide mereka kemana-mana.

"Masih ada. Mau beli," jawab salah satu teman saya yang sama-sama menemai mereka.

"Ayo kita cari. Di Pasar Gamalama kan," sahutnya lagi.

"Tidak usah kesana. Sudah jarang yang jualan. Nanti saya telpon teman saya," Jawabnya.

Iapun meraih handpone di sakunya. Menelepon pedagang batu akik bacan kenalannya. 

Disela menunggu, kami berbincang mengenai batu akik. Mana yang bagus hingga nostalgia masing-masing mengenai batu akik. Pengalaman membeli hingga memiliki. 

Sejam lebih kami menunggu sampai dua orang lelaki, usianya kurang lebih seumuran dengan saya, masuk. Satu menenteng tas besar, memakai kalung dengan liontin batu akik Bacan besar dan memakai cincin. 

Satunya lagi menghiasi tanganya dengan tiga buah cincin sedang hingga besar. Seakan menjadi sebuah identitas dan membangun kepercayaan konsumen.

Setelah berkenalan dan tanpa basa-basi, Emang, sang pemilik survenir batu akik mengeluarkan dagangannya. Sekira tiga puluh buah dengan wadah masing-masing ia letakan di meja. 

Batu akik Bacan. Dokpri
Batu akik Bacan. Dokpri

Pandangan kami langsung tertuju pada cincin batu akik yang ia keluarkan. Tamu saya lebih antusias lagi.

Satu persatu dijelaskan oleh Emang diselangi harga-harga setiap cincin. Dari yanh besar hingga yang kecil. Dari yang plong hingga masih berporoses.

Bati bacan sendiri dipercaya dapaf berproses menjadi hijau terang. Batu ini yang paling diburu konsumen. Keunikan dari proses ini dianggap sebuah keajaiban dan keunikan.

Satu persati cincin dicoba. Disertai penjelasan akurat dari emang. Mulai dari penekanan bahwa batu akik tersebut ia gosok sendiri, dan dibeli dengan harga berapa  bongkahannya.

Proses pengukiran, pemasangan cincin dan tata letak kedalaman batu dan cincin agar pas. Utamanya jika nanti konsumen hendak mengganti ring jika dianggap tidak cocok.

Dokpri
Dokpri

Harga yang ia banderol berkisar 700 ribu hingga 3 juta rupiah. Kualitas dan kejernian batu juga menentukan harga seperti yang dijelaskan di atas.

Setelah melihat-lihat, dipilihlah tiga cincin. Dan proses tawar menawar di mulai.

"Tiga cincin berapa, 2 juta ya," tawar tamu saya.

"waduh tidak dapat pak. Saya kasih 2.5 juta saja. Kalau 2 juta saya rugi. Karena bongkahan mahal. Harga pas segitu bang. Harga pandemi," jelasya dengan raut wajah berharap konsumen mengiyakan.

"2.3 Juta bagimana," tawar lagi tamu sata.

Emang berpikir sebentar kemudian menjelaskan bahwa harga dari setiap cincin yang dipilih jika ditotal dengan harga normal seharusnya mencapai empat juta.

Iapun menjelaskan satu persatu harga dari cuncin tersebut. Tak lupa ia menjelaskan tentang betapa ribetnya penghasilan mereka saat ini. Di mana di pandemi ini, tak banyak tamu yang datang ke Ternate.

"Iya boleh." iapun menyetujui harga yang ditawar. Sembari berucap, "Tidak apa-apa untung sedikit di situasi seperti sekarang ini,".

Transaksi pun berjalan lancar. Tiga buah cincin yang terbeli langsung dipakai. Sementara Emang dan temannya juga menampakan raut wajah bahagia. (Sukur dofu-dofu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun