Dalam sehari mereka bisa meraup keuntungan di atas 20 juta. Satu cicin kecil ukuran perempuan semisal batu Obi bisa mencapai 300-400 ribu. Sedangkan Batu Bacan, utamanya yang berasal dari desa Doko, nilainya fantastis.
Mencapai jutaan hingga puluhan juta sesuai ukuran cincin. Belum ditambah jika jenis batu akik tertentu memenangi kontes. Semisal batu King Obi yang secara tidak langsung mendongkrak nilai jual batu tersebut.
Pun dengan penjual bongkahan batu akik yang mendulang untung dan"kaya mendadak". Bayangkan saja, dulu bongkahan batu akik Bacan sebesar kepalan tangan dengan kualitas super bisa terjual di atas 300 juta bahkan lebih.Â
Bahkan ada yang mencapai 1 Milyar dan viral sekota. Sebuah kondisi yang mendorong oranh-oramh nyemplung ikut main. Sementara ukuran standar yang tak super bisa mencapai 40 jutaan keatas . Itupun konsumen lokal, belum luar daerah yang harganya lebih melangit.
Begitu juga dengan penambang. Berbondong warga menuju lokasi dan melakukan penambangan. Baik berkelompok atau digaji oleh pemilik lahan. Hasilnya akan dijual ke pembeli bongkahan atau perantara.
Saking antusiasnya, pertambangan semisal emas kalah pamor. Ada yang kaya mendadak oleh fenomena "demam batu akik saat itu. Â Di salah satu daerah penambang, kepala desanya bahkan menjadi milyader dengan menetapkan setiap lubang harus membayar upeti.
Kejayaannya membuat ekonomi warga mengalami perputaran dasyat. Rupiah mengalir dengan lancar. Banyak pihak memperoleh asas manfaat dari perekonomian.
Sekarang berbeda. Demam batu itu punah. Hanya setahun kejayaannya. Seingat setelah Ramadhan, demam itu sembuh. Batu tak lagi dilirik. Jatuh harganya, jatuh pula pebisnis-pebisnis. gulung tikar.Â
Memakai sandaran scarity pun bertolak belakang. Semakin langkah semakin mahal tidak berlaku. Sehingga pedagang-pedagang yang bertahan sebagai mata pencaharian utama, harus melakukan berbagai upaya. Mulai dari membangun relasi hingga terpaksa membanting harga.
*