Mohon tunggu...
Roi Martin
Roi Martin Mohon Tunggu... Guru

saya seorang guru yang memiliki hoby menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andai Aku Jawa

28 November 2023   10:22 Diperbarui: 28 November 2023   10:32 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Haaaahh . . . . " Isyam memekik kaget? matanya melotot dengan mulut menganggah saking syoknya.

"Berapa? Berapa tadi sebungkus?" Kali ini ia meluapkan rasa penasarannya dengan mengutarakan pertanyaan yang sedari tadi berkecamuk dalam benaknya. Ahh rasanya seperti gemuruh yang ingin segerah menyuarakan gaungnya, dari tadi ia menahan namun tak tertahankan. Akhirnya pertanyaan itu meluncur juga.

 "Lima ribu, syam. Emangnya kenapa se? " jawab Miza enteng

            "ituu . . . itu. Kok murah banget!  Segitu banyak cuma lima ribu?" Isyam masih terbengong sambil merogoh kantong baju seragamnya.

"Lha memangnya mau berapa?" tanya Ziva sambil mencomot potongan buah semangka.

"Di kalimantan harga sebungkus rujak dua puluh lima ribu. Di Lamongan semua-semua pada murah sekali. Dua puluh lima ribu bisa buat nraktir rujak teman sekelas." Isyam menjawab dengan mencocol buah nanas dengan Sambal. Sambil mengunya ia masih dibuat terheran akan harga-harga yang jauh lebih murah dari tempatnya.

"Satu lagi, rujak di Lamongan, kenapa rasanya selezat ini? Manis, asam, asin, kecutnya kok bisa pas semua. Ooohh iya apa itu tadi, yang dicampurkan hitam-hitam aku tidak pernah melihatnya di Kalimantan" Lanjut Hisyam

"Kalau di Madura itu namanya petis ikan, dibuat rujak, atau sambal tomat, duh aduuh rasanya nyaman sekali tak iye " Sahut Dimas dengan logat khas Maduranya.

"Sudah kau coba kah rangginang khas Madura yang ada macam cumi-cumi kecilnya itu kakak?, pasti kau bakal ketagihan. Aku pernah dibawakan Dimas." Sahut Alvaro yang kental dengan logat khas Papuanya.

"itu namanya ranginang Lorjuk khas madura, itu bukan cumi-cumi tak iye, itu lorjuk." Dimas membenarkan dengan meraih keripik yang dibawa Udin.

"Heeyy kakak, dari mana kau dapatkan keripik keladi itu? Sudah lama aku tidak memakannya. Kau habis dari papua kah? " Tanya Alvaro dengan mata berbinar penuh kerinduan akan kampung halaman. Tanpa ba bi bu ia langsung meraih keripik Udin dan mengambil satu genggam penuh.

"Iki jenenge kripyek menyok caaahh. Mak ku sing gawe. " jawab Udin dengan bangga

"Gak perlu atek susah susah na Papua, na Lamongan kripyik e ora kalah enak, yo too?"

"Hah? Ngomong apa itu, kaka?"

"Apa katanya?"

"doo adoo Dhe' remmah? Tak ngerteh? "

Isyam, Dimas, Alvaro ketiganya saling pandang sambil mengendikkan bahu, tidak mengerti dengan ucapan Udin.

"Terjemahno zaa, Miza. Kamu lak biasae jadi translator se,"

"Gak ngurus, ndang terjemain sendiri sana. Makanya kalau ngomong tuuh, yang bisa dipahami oleh semua kalangan, koyo aku ngene " tolak Miza sambil melipat kedua tangannya didepan dada.

"Oalaaa bocah kok, ngene ngene, eeehh duuh lambe --lambe jowo

 "eheem eeheeemm tes tes, gini yaa tak translator  cek Faham ini namanya keripyik singkong, Emakku yang membuatnya. Bukan keripik keladi. Tapi rasanya gak kalah kan sama yang di papua" Udin menjawab dengan kembali mencicipi keripyik singkong buatan ibunya.

"Bapakku menanam singkong banyak sekali, biasanya emak mengolahnya menjadi jemblem, tape, kolak, getuk, tiwul, pilus, keripyik, serawut. Pokoknya olahan makanan dari singkong sangat beragam, dan lagi enak di lidah ramah dikantong. " Jelas udin dengan bangganya.

"Sabraha udin? Kalau murah teh, Esih mau pisan atuh. " Esih yang sedari tadi kecer- kecer makan kedondong ikut menyahut. Gadis peranakan sunda ini masih malu-malu karena baru beberapa hari pindah ke SMANUS.

" wooo Murah sekali  Esih, jemblem si biasanya lima ratus rupiah, kalau serawut atau tape paling seribuan." Jawab Udin.

"Lima ratus rupiah? Waahh kalau lama-lama tinggal di jawa bisa-bisa makin gemuk aku. Ditempatku apa-apa mahal, coba kalau mamaku tinggal di Lamongan, bisa-bisa masak terus dia sepanjang hari. Sejahtera hidupku" lagi-lagi Isyam angkat bicara.

"Makanya kamu pindah aja ke Jawa, apa apa serbah murah. Mau ikan tinggal lempar jala. Mau sayur tinggal petik saja. Mau ubi tinggal cabut. Tapi ingat sebelum dicabut kamu harus menanamnya dulu, kalau tidak, ubi siapa yang akan kamu cabut? " canda Miza

"Wakakaakkak" sontak anak-anak tertawa. Hisyam termenung, memikirkan ide ngaco yang dicetuskan  Miza. Ia mengandaikan betapa sejahterahnya dia ketika ia dan keluarganya hidup di Jawa. Dengan kekayaan Alam yang melimpa ruah. Ia kembali mengingat ketika Udin mengajaknya ke Ladang, mau mangga tinggal petik sepuasnya, mau rujak tinggak memanen pepaya, mau urap-urap, tinggal petik sayur mayur dipagar, belum lagi buah nangka milik Udin yang aromanya heeeemm, tanpa sadar air liurya merembes disela-sela sudut bibirnya. Aahh pasti kalau ia pindah ke Jawa bersama keluarganya, Ayahnya tidak perlu susah-susah berbasah-basah keringat kala menghadapi pohon sawit yang kokoh menjulang, belum lagi ayahnya yang seringkali menghadapi bahaya kala harus membersihkan semak belukar diantara akar sawit yang kerap menjadi sarang ular dan hewan berbisa lainnya. Belum lagi, ibunya yang kerap kali mengeluhkan harga sembako yang semakin meroket.

"Ahh pasti mamaku senang sekali tinggal di sini. " gumamnya tanpa sadar

"Tinggal di mana Isyam?" sahut Bu oi yang sedari tadi sudah memulai pelajaran tanpa Isyam sadari.

"Ehh ibuuk, sudah lama buk?" tanya Isyam cengegesan karena malu

"Eemm Lumayan, sepertinya ibu di sini selama kamu melamun tadi." Timpal bu Oi dengan menahan senyum. Ia selalu dibuat heran oleh ulah Hisyam yang memiliki keingin tahuan yang tinggi namun seringkali mengungkapkannya dengan sedikit konyol.

"Hehehe maaf buk, saya terlalu terbius oleh pesona jawa buk, saya ingin tinggal di jawa karena semuanya serba murah. Semuanya serba ada. Tidak seperti dirumah saya yang semuanya serba jauh dan langka. " Bu oi kembali tersenyum.

"Isyam, kamu tahu, kenapa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau?" tanya Bu oi sambil memicingkan mata ke arah hisyam

"ya karena memang lebih hijau buk." Jawab Hisyam, lagi- lagi jawabannya membuat Bu Oi kembali tertawa.

"Bukan syam. Sebenarnya warna mereka sama. Hanya saja kamu kurang memperhatikan dan mensyukuri rumput kamu. Bisa jadi tetangga kamu justru malah memandang rumputmu yang lebih hijau." Isyam mulai menyunggingkan senyum,

"coba Hisyam ingat ingat lagi, di Kalimantan juga tidak kalah menariknya dari Jawa, baik dari makanan Khasnya, kekayaan  alamnya, mata pencahariannya, tradisinya, dan masih banyak lagi yang lainnya."

Hisyam kini mengangguk-angguk karena mulai memahami arah Pembicaraan Bu OI. Ia ingat ketika tempo hari bercerita dengan teman-teman tentang pekerjaan dan sumber penghasilan orang tuanya, semua teman-teman Hisyam takjub dengan nominal yang disebutkan. Padahal menurut Hisyam adalah nominal yang wajar di sana. . Teman-teman terheran-heran dengan kiraan nominal yang ia sebutkan, hanya saja memang disana apa-apa serba mahal. Disini apa-apa serba murah, namun peghasilannya tidak setinggi disana. Jadi kalau dipikir-pikir memanglah sebanding. Hanya saja dia sudah terlanjur dibuat  jatuh hati oleh pesona dan kearifan yang ada di jawa.

Hisyam juga ingat ketika teman-temannya sangat terbius ketika Hisyam menampilkan Tarian Khas Kalimantan diacara lomba PHBN yang diadakan SMANUS bulan lalu.

"Lho, Hisyam melamun lagi! Baiklah anak-anak sekarang materi kita hari ini adalah Menulis Cerpen. Temanya Keragaman Sekolahku"  Tutur Bu Oi di depan kelas. Yang sontak langsung disambut koor dari siswa. Sebagian ada yang melotot ke arah Hisyam. Hisyam malah cengegesan dan garuk-garuk kepala.

"Yaaaa menulis cerpen," seru anak-anak tidak bersemangat.

"do ado lis menulis lagi ini." Ujar dimas

"Ini pasti gara-gara Hisyam kakak, " sahut alvaro

"Tidak apa-apa atuh, ini mah tugas kita sebagai pelajar" timpal Asih

"Asiiiiiihh . . ., masalahnya ini susah sekali tahu!" bisik Miza dengan suara penuh penekanan. Matanya tajam melirik Hisyam yang hanya garuk-garuk kepala.

"ini gara-gara Hisyam too? Kita  orang disuruh tulis, tulis too?" alvaro masih ngedumel sambil mencari-cari buku tulisnya.

Namun, di sini disudut kelas X SMANUS, sepasang mata berinar, bibirnya tersungging, seulas senyum terlukis. Jari jemarinya meletakkan sebuah pena, perlahan menutup buku tulisnya seraya berdiri dan berkata

"BU oi, Saskia sudah selesai." Serunya dengan penuh percaya diri. Tanpa mereka sadari apa yang mereka obrolkan adalah kisah yang tertuang dalam cerpen Saskia.

"Haaaaahhh . . . " Sontak semua pandangan tertuju pada Saskia. Bahkan miza yang baru akan membuka buku untuk memulai tugas menulisnya sampai terbengong mendengar penuturan Saskia.

"Good job Saski, itulah kenapa kita harus lebih banyak bekerja dari pada berbicara anak-anak."

END

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun