Mohon tunggu...
Hafidz Hirdan Octa Putra
Hafidz Hirdan Octa Putra Mohon Tunggu... penulis

Saya menaruh perhatian pada isu lingkungan, khususnya sampah, dengan memandang hukum, sejarah politik, dan dinamika global sebagai jalan merawat bumi dan menata masa depan yang lebih adil.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rakyat Lupa Kewajiban, Pejabat Lupa Amanah

20 September 2025   03:27 Diperbarui: 20 September 2025   03:27 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam kehidupan berbangsa, demokrasi bukan hanya urusan kotak suara atau kursi kekuasaan. Demokrasi yang sehat menuntut rakyat untuk memahami haknya sekaligus menjalankan kewajibannya, sementara pejabat dituntut untuk sadar akan batas kekuasaannya. Namun di Indonesia, kedua hal itu seringkali timpang: masyarakat masih banyak yang tidak memahami posisi mereka dalam konstitusi, dan pejabat kerap lupa bahwa kekuasaan bukanlah milik pribadi melainkan amanah. Jika keduanya berjalan tanpa keseimbangan, demokrasi kita bisa terjebak menjadi sekadar ritual tanpa makna.

Bicara soal rakyat, seringkali narasi publik hanya menekankan hak: hak atas pendidikan, hak kesehatan, hak kebebasan berpendapat. Padahal, konstitusi juga mengamanatkan kewajiban: menaati hukum, membayar pajak, menjaga ketertiban, dan merawat lingkungan. Sayangnya, kesadaran terhadap dua sisi ini belum berjalan seimbang.

Menurut penelitian dari Universitas Negeri Medan (UNIMED), studi oleh Edwin Pakpahan dkk. yang dipublikasikan dalam Indonesian Journal of Education and Development Research pada Januari 2024 menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus dan analisis triangulasi data melalui observasi, wawancara, dan kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman dan sikap konstitusional di kalangan mahasiswa UNIMED masih memerlukan evaluasi. Beberapa mahasiswa bahkan memiliki anggapan keliru bahwa bagian awal konstitusi seharusnya berisi jaminan dan perlindungan hak asasi manusia. Kondisi serupa juga tercermin dalam survei literasi hukum yang dilakukan oleh beberapa jurnal akademik: masyarakat paham prinsip negara hukum secara normatif, tetapi bingung menerapkannya dalam praktik sehari-hari.

Kegamangan ini juga diperburuk oleh rendahnya literasi digital. Survei Civic Literacy (2023) mencatat mahasiswa Indonesia rentan terhadap hoaks dan sulit membedakan isu konstitusi nyata dari sekadar opini viral. Akibatnya, kesadaran politik sering berhenti di slogan, tanpa pemahaman mendalam tentang tanggung jawab sebagai warga negara.

Isu lingkungan, terutama sampah, adalah contoh nyata bagaimana hak dan kewajiban sering tidak berjalan seimbang. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK, 2025) mencatat produksi sampah nasional mencapai 17 juta ton per tahun, dengan tingkat daur ulang hanya sekitar 11%. Padahal, hak masyarakat atas lingkungan yang sehat hanya bisa tercapai bila kewajiban warga terhadap kebersihan juga dijalankan.

Masalahnya, sebagian masyarakat justru bersikap permisif: membuang sampah sembarangan dianggap hal biasa, melanggar aturan lalu lintas dianggap wajar, bahkan pelanggaran hukum bisa dimaafkan dengan alasan “sudah kebiasaan”. Sikap permisif ini perlahan menggerus kesadaran kolektif, seakan kewajiban warga negara hanya formalitas di atas kertas, bukan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Bandingkan dengan Jepang yang memiliki tingkat daur ulang sekitar 56% (UN Environment Programme, 2024). Di sana, masyarakat bukan hanya menuntut hak lingkungan bersih, tetapi juga disiplin memilah sampah sebagai kewajiban bersama. Hal ini menunjukkan bahwa hak tanpa kewajiban hanyalah retorika, sementara kewajiban tanpa hak akan melahirkan penindasan. Demokrasi menuntut keduanya berjalan beriringan.

Kegagalan dalam urusan sederhana seperti sampah ini sebetulnya paralel dengan persoalan besar bangsa: bagaimana kesadaran terhadap konstitusi seringkali diabaikan, hingga berulang kali kita jatuh dalam konflik ideologi. Bangsa ini pernah diuji oleh ideologi yang mencoba meniadakan keseimbangan konstitusi. PKI, sebelum 1965, sempat menjadi kekuatan politik legal. Namun tragedi G30S menegaskan bahwa ketika ideologi bertentangan dengan kedaulatan dan kesepakatan dasar bangsa, konsekuensinya fatal: PKI dibubarkan dan dilarang. Begitu pula dengan Darul Islam/TII yang sejak akhir 1940-an berupaya membentuk Negara Islam Indonesia. Gerakan ini menyalakan pemberontakan di Aceh, Sulawesi, dan Jawa Barat, hingga akhirnya ditumpas.

Sejarah ini menunjukkan bahwa konstitusi bukanlah teks kosong. Ia lahir dari luka, konflik, dan ancaman yang nyata. Sejalan dengan hal itu, Nurcholish Madjid dalam Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (1994) menekankan bahwa pemahaman ideologi harus selaras dengan konteks sosial-politik Indonesia; ideologi yang tidak memperhatikan realitas ini berpotensi menimbulkan ketegangan sosial, sehingga bisa menjadi "beban sejarah" bagi bangsa.

Jika rakyat memiliki kewajiban untuk taat pada hukum, pejabat pun wajib tunduk pada batas konstitusi. Sayangnya, banyak kasus menunjukkan sebaliknya. Korupsi, politik dinasti, dan regulasi yang dipelintir demi kepentingan kelompok masih marak.

Politik dinasti menjadi contoh nyata penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW, 2023), dari 54 dinasti politik yang terpetakan, banyak anggota keluarganya terlibat kasus korupsi. Misalnya, dinasti Ratu Atut Chosiyah di Banten, yang melibatkan banyak anggota keluarga dalam kepemimpinan daerah terbukti terlibat korupsi dan suap jabatan. Selain itu, tingginya biaya politik dalam pemilu memperkuat oligarki dan praktik politik dinasti, memicu korupsi sistemik dan memperlemah demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun