Mohon tunggu...
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Ocit Abdurrosyid Siddiq Mohon Tunggu... Warga Biasa

Penikmat kopi, penyuka film.

Selanjutnya

Tutup

Balap

Nilai Kepahlawanan Dalam Perlombaan Perayaan Kemerdekaan

25 Agustus 2025   10:14 Diperbarui: 25 Agustus 2025   10:35 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Balap. Sumber ilustrasi: PEXELS/Pedro Sandrini

Perayaan Hari Ulang Tahun Ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia baru saja selesai. Beragam cara dilakukan oleh warga masyarakat untuk memeriahkan peringatan hari kemerdekaan ini. Mulai dari memasang bendera, upacara, hingga bermacam perlombaan.

Kemeriahan tersebut sebagai ekspresi dan wujud syukur kepada Tuhan atas berkah kemerdekaan. Selain itu, juga sebagai wujud penghargaan dan penghormatan kepada para pahlawan yang sangat berjasa dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Setiap sudut ruang publik dihiasi dengan beragam pernik berwarna merah dan putih. Warna yang melambangkan bendera Indonesia. Mulai dari pusat kota hingga ke pelosok desa. Merah dan putih berkibar di pegunungan, pesawahan, pesisir pantai, hingga bawah lautan.

Sebagai ekspresi kebahagiaan, sebagian warga merayakan kegembiraan ini dengan pertandingan dan perlombaan. Ada pertandingan olahraga seperti sepakbola, voli, hingga tarik-tambang. Ada perlombaan seperti gerak jalan, balap karung, makan kerupuk, hingga panjat pinang.

Pertandingan dan perlombaan dalam rangka memeriahkan peringatan hari kemerdekaan ini berjalan dengan meriah. Warga masyarakat larut dalam kegembiraan. Puncaknya, pembagian hadiah para juara dan pembagian door prize. Pastinya disertai dengan hiburan berupa pentas musik.

Karena seluruh rangkaian acara yang digelar ini dalam rangka memeriahkan, mestinya berjalan dengan meriah, penuh suka cita, dan enjoy semua. Namun pada lokasi tertentu, kadang diwarnai dengan perselisihan, perseteruan, bahkan memuncak hingga ke polemik dan konflik.

Misalnya dalam gelaran pertandingan sepakbola antar rukun tetangga atau RT, atau antar kampung. Pertandingan yang mestinya berlangsung dalam suasana kemerdekaan yang sarat dengan kegembiraan, dicederai dengan tawuran antar pemain, antar penonton, antar kampung. Ya, tarkam.

Walau sama-sama berbentuk pertandingan, pertandingan dalam rangka memeriahkan mestinya berbeda dengan pertandingan yang digelar dalam acara kompetisi, kejuaraan, atau open tournament. Mesti lebih enjoy, lebih guyub, lebih seru, dalam bingkai semangat kemerdekaan.

Aura kompetisinya tidak sekeras pertandingan dalam sebuah kejuaraan. Yang menang gembira dan yang kalah tetap ceria. Jadi, tak perlu terjadi polemik, konflik, tawuran, hingga kerusuhan, perang antar kampung gegara pertandingan dalam suasana memeriahkan kemerdekaan.

Perlombaan dalam suasana kemerdekaan ini juga sarat dengan keceriaan, kegembiraan, yang diekspresikan dalam perlombaan yang terkesan konyol-konyolan. Misalnya, lomba makan kerupuk, balap karung, merias wajah, rebutan kursi, menggendong pasangan, hingga sepakbola berdaster.

Peserta perlombaan ini bukan semata untuk dan ingin menjadi juara dan mendapatkan hadiah. Tapi lebih pada keinginan untuk turut merayakan kegembiraan. Peserta tampil dengan lucu. Penonton tertawa dan terbahak bersama. Semua larut dalam kegembiraan.

Walau demikian, dalam beragam perlombaan ini kita bisa menyisipkan pesan nilai dan pendidikan bagi peserta lomba, khususnya anak-anak. Misalnya dengan tetap bersikap sportif, jujur, bertanggung-jawab, lapang dada, serta mandiri.

Contoh sederhana dalam perlombaan balap karung. Biasanya, panitia menerapkan ketentuan, bagi setiap peserta memulai lomba dari garis start yang sama menuju garis di depan dalam jarak belasan meter, dan mesti kembali ke garis semula sebagai lokasi finish.

Bagi peserta yang tidak mematuhi aturan akan dikenakan diskualifikasi atau pembatalan sebagai peserta. Namun tak jarang ada peserta yang tidak mencapai garis yang telah ditentukan dan bersegera berbalik untuk menuju garis finish. Pastinya ini merupakan tindakan kecurangan.

Pada perlombaan balap karung saja bisa kita jadikan sebagai media untuk mendidik dan mengajarkan anak-anak bagaimana agar mereka bisa bersikap jujur dan sportif. Bukan malah sebaliknya, berupaya untuk menyiasati agar bisa menjadi juara dengan segala cara. Juara dengan melakukan kecurangan.

Pun demikian pada perlombaan makan kerupuk yang kerap mengundang tawa karena lucu. Setiap peserta berlomba untuk menghabiskan kerupuk yang digantung dengan cara dimakan cukup dengan menggunakan mulut tanpa bantuan tangan atau yang lainnya.

Namun ada saja seorang ibu yang memberikan dukungan kepada anaknya yang menjadi peserta lomba makan kerupuk dengan cara merendahkan tali penggantung kerupuk agar bisa dengan cepat dimakan dan karenanya menjadi juara. Juara dengan cara curang.

Alih-alih si ibu membantu anaknya untuk menjadi juara, malah ulah itu akan menuai sikap yang tidak elok. Memberikan dukungan kepada anaknya dengan cara yang salah. Namun perkara sederhana dan sepele ini kerap luput dari perhatian.

Lomba rebutan kursi lebih parah lagi. Dengan jumlah peserta yang lebih banyak dibanding jumlah kursi, para peserta dituntut untuk sigap dan cekatan untuk mendapatkan kursi yang jumlahnya tidak sesuai dengan kuota tersebut. Jadi, untuk menjadi pemenang kata kuncinya adalah sigap dan cekatan.

Kadang ada peserta yang saling gesek dan saling dorong untuk menjatuhkan peserta lain, agar dirinya yang mendapatkan kursi. Praktik curang seperti ini, jangan-jangan yang menyebabkan para politisi saat ini yang saling sikut ketika mereka berlomba menjadi wakil rakyat di kursi dewan.

Perlombaan tidak semata untuk menjadi juara. Apalagi lomba dalam suasana kemerdekaan. Dengan menyertakan anak-anak dalam perlombaan, kita bisa menggunakannya sebagai media untuk mengajarkan kepada anak-anak agar bisa dan terbiasa bersikap jujur, tidak jumawa, dan lapang dada.

Dengan begitu, secara perlahan dan dalam konteks yang berbeda, kita sedang menumbuhkan patriotisme kepada mereka. Seperti halnya patriotisme para pahlawan yang berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI tanpa pamrih.

Mereka di alam sana akan merasa bahagia menyaksikan generasi penerus bangsa berikutnya yang telah sejak dini diajarkan nilai-nilai kepahlawanan. Dengan begitu, semoga para tunas bangsa ini kelak menjadi pewaris negara yang jujur, amanah, bertanggung-jawab, dan dapat dipercaya.

Tidak seperti generasi rezim yang saat ini sedang berkuasa, dan rezim-rezim sebelumnya. Emang generasi yang sekarang dan sebelumnya bagaimana? Ah, kiranya para pembaca lah yang lebih tahu. Eaa, eeaaa, eeeaaaaa... Wallahualam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Balap Selengkapnya
Lihat Balap Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun