"Heehhh, reeekk... Enteni po'o... Mlakune ojo banter-banter!" (Heeeii, teman-teman.... Tunggu dong! Jalannya jangan cepat-cepat!"
Saya dan Fahmi menghentikan langkah. Kami menatap dengan pandangan campur aduk---antara geli, kasihan, dan pengin ambilin in line-skate---ke arah kak Budiono. Nafasnya Senin-Kamis, tersengal-sengal banget. Cuaca dingin kota ini berpadu dengan tubuhnya yang subur, membuat Kak Budi tak bisa menambah akselerasi tatkala berjalan bareng kami.
"Ayoooo Kaaakk! Ini masih dua blok lagi!"
YouTuber kuliner pemilik akun @BudionoSukses ini rupanya butuh disemangati. Kak Budi masih ngos-ngosan. Fahmi tersenyum tipis semi menyeringai, khas remaja milenial yang serba salah antara pengin ketawa atau bersedih, demi melihat seniornya yang harus berjibaku dengan sejumlah tantangan ketika traveling.


Kami bertiga---si turis backpacker ini--tengah mengeksplor kota yang berkontur jalan naik dengan kemiringan luar biasa. Nggak heran, butuh performa jiwa raga nan paripurna untuk bisa survive menjelajah kota yang identik dengan tetenger Golden Gate bridge ini.Â

Kami tinggal di USA Hostel. Sekamar 4 orang (female dorm) dengan rate(jika dirupiahkan) 800 ribu/malam. Yang asyik adalah... USA Hostel ini berlokasi SANGAT DEKAT dengan Union Square, semacam taman pusat pertemuan para turis, mall dengan brand high-end, plus the biggest Apple Store in the world!
Nggak heran... jalan-jalan pagi -- siang -- sore -- malam adalah kegiatan favorit kami. Sebelum berangkat ke Amerika, saya sudah siapkan diri dengan berbagai workout, mulai Zumba, pilates, yoga, yang semuanya saya mainkan dengan tutorial video YouTube. Bukan hanya itu. Saya juga rutin jogging di sekitar kompleks perumahan. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan, supaya kaki bisa diajak kerjasama dan enggak mager (males gerak) ketika eksplorasi beragam destinasi di sana.Â
Akan tetapi, temperatur San Francisco yang kadang menyentuh 11 derajat celcius, bagaimanapun juga, menerbitkan rasa tidak nyaman di sekujur bodi. Bukan hanya itu. Kami juga harus terus-menerus beradaptasi dengan jet lagyang seolah tak mau minggat. Menempuh perjalanan udara lebih dari 15 jam (plus transit dalam durasi cukup lama) pastinya memberikan impactbagi jiwa raga.Â
"Jalannya biasa aja po'o rek!" Kak Budi mengatur napas. Perutnya yang mirip Teletubbies naik-turun secara autopilot.Â
"Kita ke mana setelah ini?"
"Naik bus 38... lalu turun di Presidio. Kita ganti bus 28 dan sampe deh di Golden Gate Bridge," aku meng-copy paste ucapan Bapak security yang kami temui di dekat USA Hostel.
"Haduh... naik Uber aja tah?"
"Loooh, jangan kak! Kan kita punya MUNI tiket, bisa gratis seharian naik bus, kereta, dll. Kita harus merasakan experiencenaik public and mass transport  di San Francisco dong!" ucapku setengah ngeyel.
Bus 38 datang. Sopirnya lelaki gagah berwajah Korea. Kami bertiga masuk ke dalamnya. "We are going to Golden Gate Bridge. Is this the right bus?"
Oppa Korea itu mengangguk mantap. Yes!
***
Setelah oper bus, Alhamdulillah... sampailah kami di landmark  yang menjadi kebanggaan warga San Francisco. GOLDEN GATE BRIDGE YANG BERWIBAWA, GAGAH PERKASA DAN...AAAARGGHHHH.... Am I dreaming? Saya kucek-kucek mata. Saya cubit sekujur tangan. Saya tampar pipi yang kedinginan. Sakit. Ini BUKAN mimpi! Saya resmi menjadi backpacker traveller di Amerika!
"Fahmiiiii.. ayo kita cari spot foto yang oke!"
Kami bertiga bagaikan murid PAUD yang nemu toko mainan dan di dalamnya ada mbak-mbak SPG yang ngebagiin es krim dan permen gratis. Extremely HAPPY! Luar biasa senaaaaanggg!
Saya telusuri seluruh kawasan Golden Gate. Pose pose selfie. Minta difotoin Fahmi. Cari spot yang oke. Menelusuri semak belukar. Eh, iya lho, ternyata deket sini ada kawasan mirip hutan mini gitu! Bikin vlog... termasuk bertemu dengan WNI yang sedang kerja jadi ABK (Anak Buah Kapal) dan kapalnya lagi bersandar di San Francisco. Ya ampuuun, ini HEPI BERAT, ketemu saudara sesama orang Indonesia di negeri yang ajegile jauhnyaaaa!
O iya. Saya belum cerita ya, kalau Fahmi, my travel-mate ini adalah fotografer tulen yang sangaaaaattt detail dan super duper demanding? Setiap akan meng-capturefoto dengan latar belakang Golden Gate Bridge, Fahmi memberlakukan jutaan kaidah fotografi yang HARUS saya taati.

"Wah, ini kamu mencet shutter-nya kecepetan!"
"Jangan goyang pas njepret Mba, jadinya nggak focus!"
"Ini gambar orangnya jangan motong jembatan!"
Aaaaaarrrgggghhhh *setres *tapi seneng*
Dan tentu saja, yang namanya fotografer, pastilah heboh pilih angle yang paling paripurna, ya kan? Selain foto-foto di kawasan hutan mini, kami juga ambil foto dari Marin Headlands. Konturnya pegunungan banget. Kami menuju ke sana, dengan diantarkan oleh Ivan, diaspora asal Jakarta yang udah 10 tahun lebih tinggal di California (Thanks, Ivaaaaan!)
Hawa dingin khas pegunungan langsung menyambut tatkala kami sampai di Marin Headlands. Jembatan Golden Gate jadi kelihatan mungil. Dan, yaaaap.... Temperatur dingin berpadu angin yang bertiup kencang... membuat saya harus merapatkan jaket. Plus mengeluarkan "amunisi andalan" yang menemani saya traveling ke manapun.
Apakah itu?
Yap. Geliga Krim. Saya oleskan ke bagian punggung, pundak dan betis. Pundak saya berjam-jam harus merasakan beban tas ransel plus sekian kilo barang yang ada di dalamnya. Awalnya biasa saja, mungkin karena tertutupi oleh euphoria dan gembira luar biasa, lantaran bisa menjejak benua Amerika.Â
Tapi... yeah," faktor U" (alias Umur) nggak bisa bohong. Saya ini emak-emak in my 30'sjadi ya wajar lah kalau badan sering dilanda pegal dan nyeri lantaran harus jalan, plus menopang beban tatkala traveling.

***
"Astaghfirullaaaahh....! Kakiku kraaaaam....... "
Di malam yang gelap gulita, saya terpekik perlahan. Nggak boleh jerit-jerit manja. Nggak enak sama travel mateyang sedang lelap dalam tidur.
Saya kebagian bed di bagian atas. Yeah, gara-gara keasyikan mengeksplor sekujur San Francisco, jadinya saya check indi USA Hostel jam 10 malam.  Ranjang bagian bawah sudah dihuni perempuan asal  Jerman dan Washington Amerika.
Tahu sendiri kan... tidur di bunk bed(apalagi bagian atas) kalau nggak terbiasa bisa menerbitkan "siksaan" tersendiri. Prosesi naik tangga (dan harus pelan-pelan banget, supaya tidak mengganggu room-mate), plus ada perasaan takut jatuh alias nggelundungkarena pas tidur, polah saya nggak keruan.
Perasaan ini yang pada akhirnya membuat kaki terserang kram. Saya nyalakan senter pada smartphone, kubuka sling bag.... dan voila! Alhamdulillah..... "harta berharga" siap memberikan kehangatan dan rasa "All is Well"pada sekujur kaki.

Benua Amerika adalah mimpi yang tadinya terasa sangaaaaat jauh. Sangat mustahil untuk bisa saya gapai. Bertahun-tahun saya menabung, berhemat, menyusun resolusi untuk bisa menginjakkan kaki di sana, tapi.... Aduhai! Browsing harga tiket pesawat, akomodasi, plus nilai tukar USD, sungguh bikin saya meringis bercampur tangis. Belum lagi, visanya! 2 juta lebih booo. Itupun belum tentu approved. Dan kalau pihak Konsulat Jenderal AS memutuskan untuk me-reject visa, maka duit 2 juta yang sudah kita bayarkan bakal hangus. Pedih.
Sungguh saya bersyukur... keberangkatan ke Amerika ini untuk biaya tiket pesawat (Indonesia -- Singapura -- San Francisco PP) dan visa ditanggung oleh Google! Saya hanya perlu menyediakan anggaran untuk extend(atas keinginan dan rencana sendiri) selama 3 hari. Ya itu tadi, 5 juta saja. Berulang-ulang, saya tersungkur dalam sujud panjang, sebuah kado teramat indah, yang saya terima jelang penghujung 2017.
Okaaay, 2018 sudah mengintip di balik pintu. Saya tak sabar, akan ke mana Sang Maha Sutradara melangkahkan kaki saya. Ngetrip ke benua Eropa? Plus menjalani "bukan traveling biasa" ke Mekkah dan Madinah? Sungguh, saya tidak sabar dengan aneka kejutan yang sudah Dia siapkan di takdir kehidupan saya.Â
Can hardly wait to meet 2018... Bring it on! (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI