[caption id="attachment_388192" align="aligncenter" width="562" caption="Ilustrasi-Pernikahan/Shutterstock"][/caption]
Bagi kebanyakan muda-mudi yang sedang dimabuk asmara, pernikahan menjadi destinasi yang indah dan diidamkan. Tak sekedar sebuah prosesi sakral yang mempertemukan dua anak manusia menjadi satu-kesatuan dengan balutan cinta dan kasih, tetapi pernikahan menjadi tonggak perjalanan hidup dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Ketika dihadapkan dengan pernikahan, semua hal indah menjadi bayangan terdepan di benak siapa pun. Menjalin kehidupan dengan penuh kebahagiaan dan memiliki keturunan yang cakap dalam segala hal adalah dua dari sejuta impian yang ingin diraih. Namun, apakah semudah itu memulai dan menjalani sebuah pernikahan?
Hari Jumat, 2 Januari 2015, saya berkesempatan menghadiri sebuah undangan acara 50th golden anniversary Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Effendi yang dikenal gemar berbagi dan ramah terhadap siapa pun. Dengan usia yang terbilang sepuh, kedua pasangan ini melangsungkan hari jadi ke-50 pernikahan mereka. Terlihat wajah bahagia dan romantis ketika kedua pasangan ini disandingkan di hadapan para tamu, seperti dua pasangan yang baru saja melangsungkan acara pernikahan di atas pelaminan yang penuh dengan bunga.
[caption id="attachment_388186" align="aligncenter" width="540" caption="Pak Tjiptadinata dan Ibu Roselina dalam perayaan 50th Golden Anniversary di Hotel Jayakarta, Jakarta, Jumat (2/1) malam/RUL"]

Pak Tjip dan Bu Rose, begitu mereka berdua dikenal selalu melempar senyum kepada para tetamu yang hadir. Saya bersyukur dapat hadir di acara ini karena mendapatkan banyak pelajaran dan jawaban atas sebuah pernikahan, tentang pahit dan manis sebuah perjalanan cinta dua anak manusia.
Melihat romantisme kedua pasangan ini saya dapat menyimpulkan bahwa sebuah pernikahan adalah suatu nikmat Tuhan yang tiada taranya, sangat indah! Namun, begitu Pak Tjip bercerita singkat perjalanan pernikahannya dengan Bu Rose yang sudah terjalin sejak 2 Januari 1965, saya menyimpulkan sebaliknya, bahwa pernikahan tak lebih dari sebuah ombak besar yang ganas dan siap menenggelamkan siapa pun yang tak pandai menahkodai kapal pernikahannya.
Dalam kesempatan di acara ini, Pak Tjip sempatkan bercerita saat beliau dirundung masalah ekonomi yang dahsyat yang disertai dengan penyakit yang hampir merenggut nyawanya ketika itu.
"Ketika itu saya hampir mati, tak ingat apa pun, lupa tanda tangan, lupa uang dan segalanya," kata Pak Tjip menceritakan penyakit yang dideritanya.
Sebelum acara ini, beliau berdua juga sempat bercerita kepada saya di banyak kesempatan. Selain penyakit yang diderita Pak Tjip, musibah yang menimpa perekonomian mereka sekeluarga pun tak kalah besar. Bahkan, hidup miskin pun pernah mereka rasakan.
Di sini peran dan kesetiaan Bu Rose dipertaruhkan. Bukan hal yang tidak mungkin ia meninggalkan Pak Tjip yang sudah lemah fisik dan ekonomi ketika itu. Apabila kita menengok perjalanan hidup banyak orang di era kekinian, sangat jarang menemukan pasangan yang tahan akan berbagai cobaan yang menimpa pasangan mereka, baik itu cobaan fisik maupun persoalan ekonomi. Perceraian akan menjadi jalan pintas bagi mereka yang tak tahan.
Melihat kondisi fisik dan ekonomi suaminya, ternyata Bu Rose mampu bertindak dan bersikap teguh dengan penuh kesabaran mendampingi Pak Tjip dalam kondisi apa pun. Dengan cinta emas yang mereka miliki, Pak Tjip dan Bu Rose mampu membawa kapal besar pernikahan mereka dari perairan dengan ombak besar ke perairan yang senantiasa tenang. Indah!
Dari sekian catatan perjalanan panjang pernikahan mereka, saya menangkap beberapa pesan dalam mengarungi sebuah pernikahan. Saling menghormati dan buang jauh sifat curiga terhadap pasangan, menjadi pesan utama dalam menjalani kehidupan dalam berumah tangga.
"Sampai saat ini pun, istri saya tidak pernah membuka dompet saya, dan juga saya tidak pernah membuka dompetnya, kecuali kalau diminta," kata Pak Tjip seraya menunjukkan bagaimana mereka tetap saling menghormati privasi dan saling percaya satu sama lain.
Selain itu, saling menerima dan melengkapi segala kekurangan satu sama lain menjadi hal yang tak kalah penting dalam menjalani sebuah pernikahan. Menerima apa pun kondisi pasangan dan saling melengkapi atau menutupi segala kekurangan dari pasangan dengan kelebihan masing-masing.
Sepertinya sangat sederhana, bukan?! Namun, sulit untuk diterapkan. Butuh pengorbanan dan sikap saling mengalah. Sama seperti saya yang memandang sebuah pernikahan adalah hal yang mudah untuk dilakoni, namun ternyata penuh lika-liku dan rentan akan hantaman ombak.
[caption id="attachment_388187" align="aligncenter" width="540" caption="Sempatkan foto bersama Kompasianer"]

Acara 50th golden anniversary Pak Tjip dan Bu Rose telah membuka mata dan hati saya dalam melakoni sebuah pernikahan hingga dapat membangun sebuah keluarga yang harmonis dan bahagia.
Terima kasih Pak Tjip dan Bu Rose yang telah memberikan pelajaran emasnya kepada semua orang. Semoga Bapak dan Ibu senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang serta dapat terus menunaikan tugas dalam menginspirasi banyak orang.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI