Sebulan lebih saya tergolek di tempat tidur. Apa-apa  yang masuk ke mulut terasa pahit. Lidah saya pecah-pecah.  Ketika hangat tak kepalang  panasnya diiringi sakit kepala seakan dikeping. Apabila dingin, serasa bertimbun dengan es balok. Ibu telah minta bantuan beberapa dukun, tapi penyakit tak kunjung bertemu obatnya. Sanak keluarga memboyong saya ke  rumah sakit. Dokter memvonis saya diserang tifus, dan menyarankan supaya diopname.
"Kira-kira penyebabnya apa, Pak Dokter" tanya ibu.
"Macam-macam. Kadang kecapean."
Otak kecil saya bergumam, "Mungkin efek jalan kaki terlalu jauh."
Singkat cerita, tiga minggu kemudian saya dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Tapi tubuh saya masih lemas, kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Rambut saya rontok. Â Â
Hal pertama yang saya cari tahu adalah kondisi Kepala Dusun. Ternyata dia sekeluarga sehat wal afiat, tak kurang suatu apa pun.
Sedangkan petugas pemungut  komite sepeda (pajak sepeda) yang menyeret ayah saya ke balik jeruji besi karena protes dan menolak membayarnya, belum saya ketahui  keberadaannya. Menurut abang sepupu saya, selama saya sakit hanya sekali mereka  nongkrong di di tempat biasanya. Yaitu, di pojok pasar pada setiap hari pekan.  Mungkin sejak saat itu pula program produk pemerintah kolonial  tersebut berakhir. Bertepatan dengan penutupan tahun 1977.
***
Catatan  Kaki:  [1] 1 suku = 6,7 gram.  [2] setingkat Kepala Desa
Simpang Empat Danau Kerinci, 14092018
Nenek 4R