Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kisah Pencari Sihir

14 September 2018   21:39 Diperbarui: 15 September 2018   04:26 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: iyakan.com

Kakek berjenggot itu menyilakan saya duduk. Barangkali dia tidak menyangka  kalau saya datang dari luar daerah, berjalan kaki selama tiga hari, ditambah lima jam naik  kuda baru sampai di hadapannya  saat itu.

Saya mengambil posisi di antara dia dan onggokan ranting, dedaunan, dan tulang belulang. Bau kemeyan memadati ruangan. Melihat tampilan fisiknya, mengukuhkan keyakinan bahwa saya tengah  berhadapan dengan penyihir terhebat sejagat.   Jenggotnya panjang, rimbun dan putih. Bulu dada dan tangannya hampir menutupi seluruh  permukaan kulitnya. Baju, celana, sampai lacak pengikat kepalanya serba hitam. Begitu juga gelang, kalung, dan cincin dari akar kayu yang memenuhi lengan, leher, jemarinya yang berkuku panjang melengkung.

"Apa yang bisa saya bantu?" selidiknya setelah saya bersalaman dengannya.

"Harga diri orangtua dan keluarga saya diinjak, Kek."

"Terus?"

"Saya akan menuntut balasan. Supaya pelakunya dibunuh."

"Ow ...! Itu soal gampang. Baru saja orang punya hajad sepertimu meninggalkan tempat ini." Kakek beruban tersebut menjangkau sebuah piring yang berisi tulang belulang. Di antaranya ada yang  seperti iga sapi untuk dibikin sop.

"Ini baru dikeluarkan dari rusuk seseorang atas permintaan  pihak lawannya," ujar tukang sihir tersebut."Setelah benda ini dikeluarkan, pemiliknya akan lumpuh layu dan tak bisa berdiri. Obatnya hanya satu. Yaitu mati. Kecuali dia datang ke sini minta maaf. Kesehatannya akan dikembalikan seperti semula."

Saya mengamatinya dengan seksama. "Luar biasa. Kakek ini benar-benar sakti." Apa yang dikatakan orang bahwa dia sangat hebat memang terbukti. Keyakinan saya terdobrak seratus persen. Orang yang akan saya bunuh, pasti mati.

Sebelumnya saya dapat informasi, dukun profesional ini mampu bertahan hidup di dalam kubur selama  empat puluh hari empat puluh malam. Selama di dalam tanah dia berdoa supaya segala keinginan  pasiennya terkabul melalui tangan dinginnya.

Saya diam dalam hayal. Di mata saya terpapar mayat  lawan berat saya yang telah dikapani, dishalatkan di masjid lantas diantar ke pemakaman. Saya berbisik dalam hati, awas kau nanti, laki-laki keparat!

Ini adalah penyihir ke dua puluh satu yang saya datangi, dalam rangka melampiaskan dendam di dada ini. Kalau tak sampai mati minimal dia gila. Demikian misi yang telah terjadwal dalam angan. Saya sudah mengeluarkan banyak uang untuk itu, membayar sejumlah yang diminta dukun. Belum lagi ongkos perjalanan dan beberapa pendamping.

"Permisi. Bakar kemeyannya segera kita mulai," kata sang penyihir.

"Silakan, Kek!"

Sambil menaruh benda yang berasal dari getah gaharu tersebut di atas cawan berisi bara api, mulutnya komat-kamit membaca mantra. Asap wangi membumbung ke angkasa.

Kakek bertubuh pendek berkulit legam tersebut berbaring di atas tikar pandan.

Tanpa diminta, isterinya keluar dari kamar, terus menutup tubuh suaminya itu dengan kain putih. Beberapa menit berselang, jasad hidup tersebut bergetar seperti orang kedinginan. Sekira lima menit kemudian, dia mengericau dengan bahasa yang tidak saya mengerti. Suaranya beda dengan sebelumnya. Sesekali lemah lembut seperti perempuan, lain kali menggelegar bagaikan raja mengeluarkan perintah. Percakapan berlangsung antara dia dan isterinya saja. 

Begitu bangun, sang dukun membuka selimutnya sendiri. Kelihatannya dia kecapean. Sambil meletuk-letuk jemari, mulutnya menguap beberapa kali.

Isterinya berujar, "Ini dia obat yang beliau peroleh." Perempuan tengah baya tersebut menunjuk ke bekas alas tidur suaminya barusan.

Sungguh, gila dan luar biasa. Di sana menancap beraneka ragam onak. Meskipun terbiasa membantu ayah bekerja di kebun atau hutan, saya tak hafal persis duri-duri tersebut berasal dari pohon apa. Hanya ranjau salak yang saya kenal,

Perempuan itu memungut benda tersebut satu persatu dan menaruhnya ke dalam piring putih beralas kain hitam. Lalu dia bagi tujuh. Masing-masing diikat dengan benang tujuh warna. 

Setelah dimantrai, si  kakek menyerahkan benda itu kepada saya. "Bawa ini Pulang! Tanam pada tujuh tempat. Empat ikatan taruh pada setiap sudut pekarangannya. Satu di bawah tangga depan, satu di bawah kamar tidur, dan terakhir di bawah tangga belakang."

Saya gagal paham. "Maaf, dekat rumah siapa, Kek?"

"Rumah lawan, lah. Paling lambat, sebulan kemudian kau tengok reaksinya."

Saya mulai memutar otak. Kapan dan bagaimana caranya mengantar benda magis tersebut ke titik-titik  yang sesuai dengan petunjuk  Kakek Dukun. Ini  musti dikerjakan tengah malam. Tapi bagaimana caranya? Musuh saya itu punya dua ekor anjing galak. Tiada jalan lain, saya harus meracuni anjingnya terlebih dahulu.

Tiba-tiba si tukang  sihir memecah sunyi, "Lima suku," [1] katanya sembari menampung tangan. "Awas jangan sampai terlangkah. Agar kemaqbulannya tidak hilang."

"Iya, Kek." Saya menerimanya dengan santun, lantas  menyerahkan emas sesuai dengan tuntutannya. Terkait masalah mahar yang dia minta, tak ada halangan yang merintangi. Dari dusun saya telah menyiapkan. Sebab, sebelumnya saya telah diberitahukan oleh teman yang pernah menerima layanan di sana.

Ritual selesai, bayarannya lunas. Saya pamit untuk pulang.

Sebagai anak laki-laki yang sudah dewasa, saya merasa berkewajiban melakukan ini. Demi mempertahankan harga diri ayah saya yang terlanjur hancur. Beliau dipenjara gara-gara masalah yang tidak kami pahami. Ayah dijemput paksa tengah malam oleh aparat ketika beliau sedang terlelap tidur. Di hadapan ibu dan kami anak-anaknya tangannya diborgol lalu digelandang seperti mengeluarkan sapi dari kandang. Saya menduga, kejadian ini atas permintaan  Kepala Dusun [2]. Selaku pemegang kuasa dalam negeri, dialah biangnya. Dia pula yang ikut mendampingi petugas menangkap ayah saya pada malam naas itu.

Kejadian tersebut merusak tantanan kehidupan keluarga saya. Sepanjang hari ayah menjadi bahan gunjingan orang sedusun. Label orang penjara pun menempel di jidat beliau. Kami  adik beradik dikucil dalam masyarakat. Bahkan pertunangan saya dengan gadis pujaan saya diputuskan secara sepihak oleh ibu bapaknya. Mereka berdalih, "Buat apa besanan sama orang penjara. Ntar menurun kepada anaknya."

Dan lebih hancur lagi rencana kedua orangtua saya pergi haji gagal total. Uangnya ludes, saya pakai untuk pergi ke dukun dan usaha menyogok orang-orang yang tidak jelas. Tujuannya agar ayah bisa keluar dari penjara tanpa syarat. Makanya untuk menyelesaikan masalah ini saya bertekad akan membunuh  pemimpin keparat tersebut. "Daripada kepalang basah, lebih baik berenang benaran."

Degan membayar penjahat kelas nyamuk, anjing-anjing milik Kepala Dusun mati terkapar dalam hitungan jam. Malam berikutnya saya berhasil mulus menaruh azimat pencabut nyawa tersebut  sesuai petunjuk pakarnya. Saya bangga bercampur lega.

Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. Obat terpasang penyakit datang. Semenjak pulang dari petualangan, badan saya meriang, berlanjut demam. Kadang-kadang terasa panas, adakalanya dingin. Sekujur raga seakan remuk.

Sebulan lebih saya tergolek di tempat tidur. Apa-apa  yang masuk ke mulut terasa pahit. Lidah saya pecah-pecah.  Ketika hangat tak kepalang  panasnya diiringi sakit kepala seakan dikeping. Apabila dingin, serasa bertimbun dengan es balok. Ibu telah minta bantuan beberapa dukun, tapi penyakit tak kunjung bertemu obatnya. Sanak keluarga memboyong saya ke  rumah sakit. Dokter memvonis saya diserang tifus, dan menyarankan supaya diopname.

"Kira-kira penyebabnya apa, Pak Dokter" tanya ibu.

"Macam-macam. Kadang kecapean."

Otak kecil saya bergumam, "Mungkin efek jalan kaki terlalu jauh."

Singkat cerita, tiga minggu kemudian saya dinyatakan sembuh dan boleh pulang. Tapi tubuh saya masih lemas, kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Rambut saya rontok.   

Hal pertama yang saya cari tahu adalah kondisi Kepala Dusun. Ternyata dia sekeluarga sehat wal afiat, tak kurang suatu apa pun.

Sedangkan petugas pemungut  komite sepeda (pajak sepeda) yang menyeret ayah saya ke balik jeruji besi karena protes dan menolak membayarnya, belum saya ketahui  keberadaannya. Menurut abang sepupu saya, selama saya sakit hanya sekali mereka  nongkrong di di tempat biasanya. Yaitu, di pojok pasar pada setiap hari pekan.  Mungkin sejak saat itu pula program produk pemerintah kolonial  tersebut berakhir. Bertepatan dengan penutupan tahun 1977.

***

Catatan  Kaki:  [1] 1 suku = 6,7 gram.  [2] setingkat Kepala Desa

Simpang Empat Danau Kerinci, 14092018

Nenek 4R

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun