Mohon tunggu...
Nuril Ichsanul Latifah
Nuril Ichsanul Latifah Mohon Tunggu... Mahasiswa S1 UIN Sunan Ampel Surabaya

suka drama korea, suka makan, suka make-up dan tentunya suka kamu..

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Konflik Tanah antara Petani Desa Sumber Jaya dengan PT FPIL: Siapa yang berhak??

11 Maret 2025   13:10 Diperbarui: 11 Maret 2025   13:18 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kondisi Desa Sumber Jaya, , yang lingkungannya rusak setelah ekspansi perusahaan sawit. (sumber:Elviza Diana/Mongabay Indonesia)

Konflik ini berasal dari klaim tumpang tindih atas tanah yang telah digarap secara turun-temurun oleh petani Desa Sumber Jaya.  PT FPIL memanfaatkan Hak Guna Usaha (HGU) mereka untuk mengklaim bahwa lahan tersebut termasuk dalam wilayah konsesi mereka. Akibatnya, sengketa terus berlanjut.  Salah satu faktor utama yang memperparah konflik ini adalah ketidakjelasan tentang status kepemilikan lahan, terutama lahan adat. 

Selain itu, PT FPIL telah membuka lahan untuk perkebunan sawit, yang telah menyebabkan deforestasi, pencemaran air, dan kerusakan keanekaragaman hayati.  Petani Desa Sumber Jaya, yang bergantung pada sumber daya alam untuk hidup mereka, sangat merasakan dampak ini.  Kehilangan lahan berarti kehilangan sumber pendapatan utama dan hilangnya akses ke sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan mereka. 

Pada tahun 1999, pemerintah desa dan tokoh adat berkumpul untuk menentukan batas desa.  Dokumen tersebut ditandatangani oleh anggota masyarakat dan pejabat yang memahami batas desa.

Saksi penting awal konflik lahan antara Desa Sumber Jaya dan PT. Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) adalah Rasidi (80), anggota masyarakat Desa Sumber Jaya.  Dia menjelaskan bahwa batas dibuat untuk mencegah perselisihan dengan perusahaan, yang hanya diizinkan untuk menggunakan lahan di Desa Teluk Raya. Namun, hingga tahun 2010, perusahaan sawit itu terus merambah Desa Sumber Jaya.  Pada tahun 2015, masyarakat baru mengetahui bahwa PT. Fajar Pematang Indah Lestari (FPIL) telah mengambil alih perkebunan yang dimiliki PT. Permata Tusau Putra.

Lingkungan Desa Sumber Jaya tetap asri meskipun perkebunan sawit belum berkembang. Sungai dan ekosistemnya tetap hidup.  Berbagai jenis ikan, seperti toman, gabus, dan serdang, dapat ditemukan di mana-mana. Penduduk desa menangkap "berkarang" setiap tahun.

Selain itu, di Desa Sumber Jaya ada banyak pohon yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar, seperti bungur, balam, rotan, meranti, tembesu, dan punak. Pohon-pohon ini digunakan untuk membangun rumah dan fasilitas umum, membuat perahu, dan membuat tikar dan ambung. Kearifan lokal dan kesadaran ekologis diperlukan untuk pemanfaatan hasil alam ini.  Masyarakat hanya menebang pohon tua; pohon muda dibiarkan hidup lebih lama untuk menghasilkan bunga dan bibit baru.

Masyarakat harus melapor ke tokoh adat dan kepala desa sebelum mengambil kayu dari alam.  Mereka hanya diizinkan untuk menebang pohon pada bulan Oktober setiap tahun, dan pengangkutan kayu dari hutan dimulai pada bulan Desember ketika permukaan air naik.Sangat bermanfaat bagi ekonomi masyarakat.  Barang-barang yang terbuat dari bahan alami, seperti mbung, kursi, meja, dan lainnya, dijual. 

Masyarakat desa juga menggarap sawah secara kolektif, selain menanam di lahan pribadi.  Semua orang yang terlibat menerima bagian dari hasilnya.  Bahan makanan tersedia. Namun, keasrian alam Desa Sumber Jaya masih diragukan lagi.  Perkebunan sawit menghancurkan ekosistem di sekitarnya.  

Ekspansi perkebunan sawit membuat lingkungan Desa Sumber Jaya menjadi lebih buruk.  Sementara persawahan yang dikelola secara kolektif telah lenyap, persawahan pribadi sering gagal panen karena berdekatan dengan pohon sawit dan kanal yang dibangun oleh perusahaan.  Air terbendung di sawah dan mengalir ke kanal.

"Untuk menghindari konflik berkelanjutan, dibuatlah kesepakatan tapal batas, menggunakan tanda alam dengan Desa Teluk Raya. Tahu-tahu lahan kami sudah habis." Ucap Rasidi

PT. FPIL juga tidak memiliki hak guna usaha (HGU) di Desa Sumber Jaya. Sebaliknya, setelah bertahun-tahun memanen sawit, yang sekarang berumur kurang lebih 20 tahun, izin usaha perkebunan (IUP) baru diperoleh pada tahun 2019. Berdasarkan SK 41/HGU/BPN/2008 dan Sertifikat Nomor 46 Tahun 2008, perusahaan ini memiliki izin penggunaan lahan seluas 1.200 hektar di Desa Teluk Raya. Di Desa Sumber Jaya, perusahaan ini tidak memiliki HGU, tetapi menggarap lahan seluas 300 hektar lebih.

Pengacara PT. FPIL Refman Besari dan manajer PT. FPIL Muhsin Herris mengakui bahwa belum ada HGU di desa tersebut, menurut video amatir yang diambil pada hari Senin, 22 Agustus 2022.

"Ini belum HGU, sekitar 300 hektar."  Ucap Refman.

Kondisi Desa Sumber Jaya, , yang lingkungannya rusak setelah ekspansi perusahaan sawit. (sumber:Elviza Diana/Mongabay Indonesia)
Kondisi Desa Sumber Jaya, , yang lingkungannya rusak setelah ekspansi perusahaan sawit. (sumber:Elviza Diana/Mongabay Indonesia)

Masyarakat Desa Sumber Jaya mengalami masa sulit selama bertahun-tahun karena lahannya dirampas. Mereka memutuskan untuk melawan.  Mereka, yang juga anggota Serikat Tani Kumpeh, melakukan pertemuan besar pada Maret 2021 untuk membentuk tim pengurus lahan Desa Sumber Jaya yang terdiri dari 30 orang.

Kelompok masyarakat tersebut mengirim surat ke PT. FPIL untuk meminta penjelasan.  Mereka bertanya kepada perusahaan tentang dasar pengembangan kebun sawit Sumber Jaya, tetapi perusahaan tidak menjawab.

Pada 12 Oktober 2021, kelompok masyarakat ini menghubungi Camat Kumpeh Ulu untuk mencari solusi melalui Kepala Desa Sumber Jaya.  Mereka menunjukkan bahwa tanah yang digarap PT. FPIL adalah milik Desa Sumber Jaya, seperti yang ditunjukkan oleh mereka. Namun, pihak perusahaan yang mengklaim memiliki HGU tidak dapat menunjukkan dokumen.

Kelompok masyarakat mendapatkan kembali tanah mereka pada 20 Oktober 2021.  Perusahaan memiliki lahan seluas 320 hektar yang direklaiming.  Masyarakat Desa Sumber Jaya tidak hanya memanen sawit, mereka juga menanam pohon seperti pinang, cabai, pisang, dan ubi di beberapa lokasi. Berdirinya Serikat Tani Kumpeh, yang terdiri dari 680 anggota dan didukung oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Wilayah Jambi dan Kemenkum HAM, meningkatkan perjuangan ini.

PT. FPIL tidak tinggal diam dan melaporkan masalah tersebut ke Polda Jambi. Akibatnya, sembilan orang dari Desa Sumber Jaya dipanggil.  Namun, Manajer PT FPIL Muhsin Herris belum memberikan komentar tentang konflik itu sejauh ini. Bahusni sendiri berpendapat bahwa ada upaya untuk mengkriminalisasi sejumlah masyarakat yang terlibat dalam perjuangan ini.  Masyarakat Desa Sumber Jaya semua menerima surat pemanggilan dari kepolisian. Namun, mereka tidak menanggapinya.

"Setelah kami duduki lahan, kami diteror, tetapi tetap kami perjuangkan, karena ini hak kami."  Ucap Ketua Serikat Tani Kumpeh Ulu, Bahusni 

Masyarakat Desa Sumber Jaya tidak hanya berjuang untuk merebut kembali tanah yang telah dirampas oleh perusahaan.  Namun, menghasilkan pemulihan ekologi daerah yang telah rusak. Masyarakat mulai menanam berbagai pohon yang biasa dilihat di desa, seperti jagung, pisang, dan cabai.

Armidi mengatakan, "Kami membuat pembibitan tanaman kayu. Sudah kami rencanakan untuk menciptakan lingkungan yang lebh baik."


Masyarakat Sumber Jaya mulai menjaga lingkungan sambil memperjuangkan hak atas lahan, kata Fran Dodi, Koordinator KPA Wilayah Jambi. Untuk mengembalikan ekologi, hutan mulai ditanam di tepi kanal.  Selain itu, meminta bantuan dari Dinas Kehutanan untuk membeli bibit pohon. Sekitar 2.800 bibit telah diajukan. Salah satu bentuk perjuangan reforma agraria yang sebenarnya adalah tindakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat ini.

Faktor lain yang memperparah konflik ini adalah ketidakadilan ekonomi.  Terlepas dari keuntungan besar PT FPIL dari perkebunan sawit, petani Desa Sumber Jaya seringkali tidak mendapatkan manfaat yang sebanding.  Perusahaan tidak menyediakan banyak pekerjaan dan tidak memberikan gaji yang memadai.  Petani kecil rentan terhadap marginalisasi dan eksploitasi karena ketidakseimbangan kekuasaan antara perusahaan besar dan petani kecil.  

Konflik ini menunjukkan bentuk kemiskinan struktural, karena petani di Desa Sumber Jaya secara sistematis dipinggirkan dari sumber daya keuangan dan politik.  Petani kesulitan mendapatkan hak tanah mereka karena sistem hukum dan birokrasi tidak adil. Selain itu, hak-hak masyarakat lokal seringkali diabaikan oleh kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan investasi besar.

Kemiskinan kultural adalah faktor penting dalam konflik ini.  Hilangnya lahan berarti hilangnya ruang untuk praktik budaya dan tradisi, yang mengikis identitas budaya mereka. Petani Desa Sumber Jaya memiliki pengetahuan dan praktik tradisional yang erat terkait dengan pengelolaan lahan.  Selain itu, kurangnya pemahaman dan penghargaan perusahaan dan pemerintah terhadap budaya lokal memperparah konflik ini.  

Ketidakstabilan sosial di Desa Sumber Jaya disebabkan oleh konflik ini.  Jika ada ketegangan antara petani dan perusahaan, itu dapat menyebabkan konflik horizontal, memecah belah komunitas, dan merusak kohesi sosial. Ini juga memiliki efek psikologis dan ekonomi yang signifikan bagi petani, yang mengakibatkan trauma dan kemiskinan yang berkelanjutan. 

Untuk menyelesaikan konflik ini, perlu ada pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan yang melibatkan semua pihak yang terlibat.  Untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan, perundingan dan mediasi yang melibatkan petani, perusahaan, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil sangat penting.  Hak-hak petani atas tanah yang mereka garap secara turun-temurun harus diakui dan dilindungi.  Untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkan akses petani, reforma agraria yang adil dan inklusif diperlukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun