Mohon tunggu...
Nur Budi
Nur Budi Mohon Tunggu... Lainnya - Tebarkan benih kebaikan... maka akan tumbuh mekar bunga-bunga pahala...

"Dialah yg menjadikan utk kamu bumi yg mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya, dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya lah kamu kembali stlh dibangkitkan" (QS Al-Mulk : 15)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Teror Batu di Rumah Dalu

13 Maret 2021   08:40 Diperbarui: 25 Maret 2023   15:25 1889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fikar bermain di halaman rumah dinas/dokpri

“Ndan, org-ny sdg pergi. Tdk ktemu Ndan”, demikian kubaca SMS dari Mas Ambari saat hape-ku berdenting. “Ya, ga pa2”, kubalas singkat SMS itu. “Lemparan bt msh tjadi Ndan?”, tanyanya dan kubalas, “Msh, ini mlh dikumpulin anakku”. “Kl smpe 1 truk lumayan Ndan, bs utk bangun rmh, he..he..” pungkas SMSnya dengan nada bergurau. Sesaat kudengar isteriku menelpon ayah-ibu di Salatiga mengabarkan teror batu di rumah ini. Tak kuingat jelas apa yang mereka bicarakan. Aku teringat saat awal menempati rumah ini, sebagai warga baru aku bersilaturahmi sekaligus melapor kepada ketua RT setempat. Salah satu obrolan Pak RT yang juga ustadz di daerah tersebut adalah cerita keangkeran rumah yang aku tempati. “Griya penjenengan niku tempat pasarnya jin Pak Nur”, demikian ungkapan Pak RT dilanjut cerita peristiwa-peristiwa ganjil yang pernah terjadi di rumahku. “Tapi ndak pa-pa, yang penting rumah selalu bersih dan terang. Lampu-lampu kamar dan ruang belakang selalu dinyalakan aja”, pungkasnya menenangkanku.

Lamunanku terhenti karena lemparan demi lemparan terus saja terjadi. Tapi kuamati lemparan itu selalu mengarah ke Inu bahkan ada satu lemparan yang mengenainya. Ini kurasa janggal. Kami coba tanyakan ke Inu mengapa arah lemparan selalu ke arahnya. Dia ke kamar tamu, lemparan ada di kamar tamu, saat dia ke ruang tengah, lemparan ada di sana. Saat Inu ke dapur, lemparan juga ada di dapur. Tapi setiap kali Inu ada di dekat kami, lemparan itu berhenti. Makanya ketika dia ada keperluan di kamar mandi, kutungguin dari luar. Ternyata bukan batu yang dilempar ke arahnya, tetapi sikat gigi dan peralatan lain yang ada di dalam kamar mandi. Dengan hati-hati kami mengorek informasi setengah menginterogasi Inu. Dia baru terbuka menceritakan bahwa sebelum berangkat untuk mengikuti keluarga kami, dia diberi “sesuatu” -semacam rajah- oleh orang pintar di daerah asalnya. Saat kutanyakan di mana benda itu sekarang, dijawabnya bahwa rajah itu sudah dibuang. Hampir semalaman kulalui malam itu dengan iringan lempar batu. Mendekati dini hari, lemparan berhenti, kami bisa tidur. Entah karena hati sudah tenang atau karena terlalu capek.

Dini hari jam 3, saya sudah mandi dan bersiap menunggu jemputan untuk mengikuti kegiatan job training bidang pemeliharaan tanaman di Pemalang. Aku merasa tenang berangkat ke Pemalang karena sampai dengan saat keberangkatan, tak terjadi teror lempar batu. Sepanjang perjalanan, tetap kupantau kondisi rumah via SMS ke isteri. Kutahu dari isteri, pagi itu ayah dan ibu mertua datang ke rumah bersama suami-isteri kyai kampung dari Salatiga. Pak Kyai berkeliling setiap sudut rumah dan mengatakan di rumah itu ada banyak penghuni-nya. Beliau tunjukkan beberapa lokasi yang ada penunggunya dan berkata ke isteriku, “Koq wani sampeyan manggon kene mbak?. Setelah melantunkan doa-doa dan setengah hari itu tidak terjadi hal-hal yang ganjil, mereka pulang kembali ke Salatiga. Sekitar dhuhur, ibu menelpon isteri mengabarkan kalau sudah sampai di rumah Salatiga. Isteriku menjawab, “Sudah aman Mah, gak ada lagi lemparan batu”. Tapi seketika itu juga dengan keras terdengar suara ‘duarrr’ yang diikuti dengan suara gemelitik batu yang menggelinding di dalam rumah. Teror kembali terjadi.

Mendengar kabar dari isteriku tentang teror batu itu lagi, rasa cemasku timbul. Bingung karena acara di Pemalang meski cuma sehari tapi pasti selesainya sore, masih lama dan sampai rumah pasti nanti malam sudah larut. Kutelepon orang tua dan kakak di Jogja, berharap ada yang bersedia datang menemani isteri di Magelang. Ketika kuceritakan tentang batu yang tembus tembok ini, hampir senada mereka mengira kami sedang mengalami halusinasi. Siang itu juga ku-SMS beberapa teman kantor, ku pesan agar sepulang kantor mereka mampir ke rumah. Untuk sekedar mampir saja, itu pasti sudah sangat menghibur keluargaku. “Wonten nopo sih Pak?’, ada salah satu yang bertanya di SMS. Kujawab, “Wis, pokoke mampir sj, ntar ngerti dw. Pasti asyik”. Siang itu beberapa teman kantor mampir ke rumah dan mereka mengalami kejadian serupa, lemparan batu yang terus saja terjadi. Selanjutnya ada teman kantor yang menawarkan diri untuk mendatangkan orang pintar, ada yang menyarankan untuk menyembelih ayam cemani (ayam yang bulu, daging dan darahnya berwarna hitam) di dekat pohon besar, ada pula yang menawarkan untuk mencarikan jajan pasar sebagai sarana untuk konsumsi para penunggu rumah. “Bapak-bapak yang menempati rumah terdahulu selalu menyiapkan jajan pasar. Saya yang ditugaskan untuk membelikan”, katanya. Semua saran dan tawaran aku tolak dengan halus. Aku tidak terbiasa dengan cara-cara seperti itu, dan dalam keyakinanku, itu mengarah kepada kemusyrikan.

pohon besar di halaman yang akhirnya ditebang/dokpri
pohon besar di halaman yang akhirnya ditebang/dokpri
Sorenya, ayahku Bersama Mas Hery, kakak lelakiku datang dari Jogja dan mendapat suguhan kejadian yang sama. “ Ho oh Om, aq weruh dw ono lemparan watu. Saiki aq percoyo” demikian SMS dari Mas Hery kepadaku. Petang menjelang, suasana semakin mencekam. Aku di Pemalang semakin tak tenang. Waktu terasa berjalan sangat lamban. Sisa acara pelatihan terasa sangat membosankan dan kuikuti sambil memantau situasi di rumah. Isteri, teman-teman kantor dan Mas Hery silih berganti mengabarkan kondisi. Tetap sama, lemparan batu terjadi. Lagi-lagi ada hal yang aneh, lemparan batu hitam dengan keras mengenai jendela kaca. Ayahku bergumam lirih, “Oh… makhluk ini kayaknya hanya sekedar membuat kaget. Nyatanya kaca tidak pecah”.  Tak berselang lama terdengar “duarrr”, seolah mendengar perkataan ayah dan ingin membuktikan keseriusan terornya, kaca jendela yang sama kena lemparan pecahan batu bata dan berlobang sebesar bola tenis. Suasana mencekam ini diikuti dengan tangisan Fikar, anak bungsuku yang saat itu masih belum bisa ngomong. Terus-menerus dia menangis dan sesekali menunjuk-nunjuk pohon besar yang tumbuh di halaman. Banyak orang yang berusaha menenangkannya, tapi tak jua mau menghentikan tangis yang semakin menyayat. Melepas dari gendongan ibunya pun juga tak mau. Isteriku tetap berusaha menenangkan dengan membawa keliling komplek, bahkan keluar sampai memutari Taman Badakan, sebuah taman kecil yang berada tak jauh dari komplek rumah dinas. Ayahku mengikutinya dari belakang, khawatir jika terjadi apa-apa karena terlihat isteriku sangat lelah. Aku tak bisa membayangkan, betapa mencekamnya kejadian yang dialami keluargaku kala itu.

Menjelang petang, acara yang kuikuti selesai. Segera bergegas untuk pulang. Selama perjalanan, pikiran berkecamuk tak karuan. Pembicaraan dengan teman-teman semobil sudah tak kuingat, tidak fokus dan kurang konsentrasi. Jam sebelas malam sampailah aku di rumah, yang ada di rumah hanya bapak dan Mas Hery. “Koq sepi sami dateng pundi?”, tanyaku kepada bapak karena tak kujumpai isteri dan anak-anak. “Mau bar maghrib podho neng nggone Mbak Asri. Ra po-po ben dho tenang”, jawab beliau. Mbak Asri dan Mas Andi adalah suami isteri, teman sekantorku yang rumahnya berjarak sekitar 2 Km dari rumahku. “Saiki susulen, mengko njuk terus neng Jogja wae, mangkat bareng”, saran bapak. Dengan halus aku mencoba menolak, “Mbok bapak sare mriki mawon, sesuk kulo ngantor je”. “Wah, aku sesuk ono acara, wis ayo neng Jogja wae”, kata bapak. Kami terlibat dalam negosiasi. Karena acara bapak esok hari yang tidak bisa ditinggalkan, kutawarkan kepada bapak untuk kondur ke Jogja, anak isteri biar sementara di rumah Mbak Asri dan aku tinggal sendiri di rumah dinas. Bapak ngendiko, “Aku percoyo kowe wani dewekan neng kene, ning aku mesakke bojomu. Koyo tertekan banget kondisi fisik lan psikis-e. Wis, ayo manuto aku mulih Jogja wae”. Akhirnya saya putuskan untuk menurut dhawuh bapak. Beriringan dua mobil, kujemput anak-isteri dan Inu di rumah mbak Asri kemudian lanjut perjalanan ke rumah bapak di Jogja. Kuingat, waktu itu malam jum’at. Sampai di rumah Jogja kami semua tidur, tidak ada keanehan yang terjadi.

Bangun pagi, aku izin untuk tidak masuk kantor. Kulalui hari itu di rumah Jogja. Siang selepas shalat jumat, Inu bercerita bahwa sepulang dari masjid dia dilempar batu bahkan mengenai kakinya. Aku begumam dalam hati, ”Hebat juga makhluk ini. Naik apa dia dari Magelang ke Jogja mengikuti kami”. Beberapa kali terjadi lemparan batu meski intensitas tidak sesering saat di rumah Magelang.

Malam harinya, kami dirukyah oleh seorang ustad di rumah kami. Semua yang bersedia dirukyah, diminta berbaring dan dibacakan doa-doa. Kira-kira jam 9 malam prosesi rukyah selesai kemudian kami makan bungkusan nasi goreng dan bakmi yang dibelikan oleh salah satu keponakan. Selesai makan dan keluarga sudah pada pulang ke rumah masing-masing, aku memasukkan dan merapikan beberapa sepeda motor yang ada di rumah bapak. Kulihat Inu sedang makan, agak terlambat memang karena saat kami makan bersama, dia masih beres-beres merapikan tikar yang barusan digunakan saat prosesi rukyah. Tiba-tiba terdengar “praang”, sangat keras sampai-sampai beberapa tetangga berdatangan. Ternyata sumber suara di samping Inu yang lagi makan. Satu sendok garpu yang tadi digunakan makan bakmi, dilemparkan ke lemari kaca. Tidak ada bekas luka pada kaca lemari, tapi jelas sendok itu dilemparkan ke arah Inu dan mengenai lemari kaca. Setelah tetangga pulang, aku duduk menemani Inu makan. Kami berdua saja. Inu menunjuk ke arah tangga dan berkata kepadaku, “Mas niku wonten arek wedok rambute dowo”. Kunaiki tangga, kucari orang yang dimaksud Inu dan kukatakan, “Gak ono sopo-sopo koq”. Kukhawatirkan Inu sudah mulai berhalusinasi. Selanjutnya kami tidur, tak kuhiraukan apa yang ada dalam pikiran Inu malam itu, karena saking capeknya, aku juga tak sempat memikirkan diriku sendiri. Yang ada dalam benakku aku pengin tidur.

Sabtu paginya, aku sekeluarga merancang untuk mengadakan acara pengajian di rumah Magelang pada malam nanti. Kuhubungi teman-teman kantor untuk datang ke rumah dinas selepas Isya’. Sabtu sore dengan menggunakan beberapa mobil, kami beriringan menuju Magelang setelah sebelumnya mampir untuk menjemput pak Ustad di seputaran kampung Krapyak, Yogyakarta. Malam minggu itu kami mengaji bersama di rumah dinas. Selesai acara, beberapa keluarga pulang ke Jogja bersama Pak Ustad. Inu ikut ke Jogja karena diminta untuk sementara tinggal di pondok yang juga rumah pak ustad. Malam itu tidak ada peristiwa horor di rumah Magelang, Zulfan bahkan nyeletuk, “Koq kadingaren sepi gak ada lemparan batu ya Bi?”.

Minggu pagi, semua keluarga Jogja yang tersisa di rumah Magelang pulang. Sedangkan aku sekeluarga berangkat ke Salatiga ke rumah mertua. Di rumah Salatiga juga tidak terjadi hal aneh, semua biasa saja. Kami memantau perkembangan Inu melalui kontak dengan pak ustad. Pak ustad menyampaikan bahwa Inu di pondok aman, sehat dan tidak ada gangguan, hanya kadang-kadang berhalusinasi. Inu merasa seolah-olah berada di rumah Magelang yang saat di halaman ketemu dengan seorang bapak yang sedang bekerja mengumpulkan potongan ranting ditungguin isteri dan anaknya yang masih kecil. Saat di bagian belakang rumah metemu makhluk berbadan manusia tetapi kepala menyerupai binatang.

Senin pagi aku berangkat kantor, langsung dari Salatiga. Mulai saat itu, sepulang kantor aku sendirian tidur di rumah dinas. Pada hari pertama, selepas maghrib ditemani oleh oleh Mas Ambari dan beberapa teman kantor, sekedar ngobrol sambi bermain kartu. Jam sepuluh mereka pulang ke rumah masing-masing. Selanjutnya, sejak sore aku sendirian di rumah. Pada hari-hari tersebut tidak ada keganjilan yang terjadi. Hal yang aneh terjadi pada hari berikutnya, ayah Inu dari Lamongan datang ke Salatiga, kemudian ke Magelang. Dia katakan bahwa di ditelepon oleh seorang kyai dari Krapyak yang mengatakan Inu sakit. Dia juga mengatakan bahwa seorang anggota PCK (Polisi khusus kehutanan) dari Magelang menemuinya saat sedang bekerja di sawah dan mengatakan hal yang sama. Ini sangat janggal karena pak ustad di Jogja tidak memiliki kontak keluarga kami di Lamongan dan mengatakan tidak pernah menelpon siapapun untuk menceritakan kondisi Inu selain kepada kami. Pun demikian dengan teman-teman kantor di Magelang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun