Mohon tunggu...
E. Niama
E. Niama Mohon Tunggu... Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Pengamat kehidupan yang percaya pada kekuatan kata. Sebagai lulusan Psikologi dan tentor akademik, saya terbiasa membaca dinamika manusia dari berbagai sisi. Menulis bagi saya adalah ruang kontemplasi sekaligus cara berbagi makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Literasi Emosional: Pondasi Pendidikan Bermutu Untuk di Abad 21

26 September 2025   20:45 Diperbarui: 26 September 2025   20:45 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Literasi Emosional Untuk Siswa,Bekal Hadapi  Tantangan Abad 21. Sumber: pexel @Irginurfadil

Di era serba digital, anak-anak bisa mengakses Wikipedia, YouTube tutorial, dan aplikasi belajar dengan sekali klik. Mereka bisa cari tahu rumus matematika, bisa menyebutkan nama-nama planet, bahkan Belajar Bahasa asing lewat game, Mereka pintar, didukung dengan teknologi yang semakin pintar.

Namun, mari kita jujur: seberapa siap mereka saat harus berhadapan dengan diri sendiri?

Seringkali, di balik kepintaran akademis itu, ada kesulitan sederhana yang menghambat: mudah kecil hati ketika ditegur, meledak-ledak saat marah, atau ambruk tak berdaya hanya karena mendapat nilai yang kurang memuaskan.

Inilah inti masalahnya, dan mengapa pendidikan abad ke-21 tidak bisa lagi hanya fokus pada IQ. Kuncinya terletak pada Literasi Emosional.

Kenapa Literasi Emosional Lebih Penting dari Sekadar Nilai Rapor?

Sejak lama kita percaya bahwa IQ (kecerdasan intelektual) adalah tiket menuju sukses. Namun, penelitian bertahun-tahun (termasuk dari Daniel Goleman, Bapak Kecerdasan Emosional) menunjukkan bahwa EQ (Kecerdasan Emosional) seringkali menjadi penentu terbesar keberhasilan, kebahagiaan, dan kepemimpinan.

IQ bisa membawa seseorang masuk ke kampus ternama, tapi EQ-lah yang membuatnya bertahan, berkolaborasi, dan memimpin tim di dunia kerja. Di era banjir informasi seperti sekarang, di mana data ada di mana-mana, kemampuan untuk mengolah rasa bukan sekadar data angka adalah soft skill paling berharga.

Contoh nyata yang pernah saya temui:

  • Seorang anak yang terbiasa mendapat nilai sempurna merasa harga dirinya menurun saat hanya mendapat nilai "cukup." Salah satu siswa les saya pernah berkata, "Besok kalau nilai sumatif nggak dapat 100 gimana ya?" Baginya, les dan belajar keras berarti ia harus memperoleh nilai sempurna, minimal 90. Pola pikir seperti ini berbahaya jika tidak diarahkan, karena bisa menjebak anak dalam standar yang kaku dan membuatnya rentan merasa gagal serta putus asa saat menghadapi kompetisi.
  • Anak yang langsung murung dan enggan berinteraksi setelah menerima teguran dari orang tua atau guru
  • Anak yang pintar tapi cenderung memilih-milih teman jika ditugaskan dalam tugas kelompok.

Ini bukan soal anak "lemah" atau "manja." Ini soal sistem pendidikan yang belum mengajarkan literasi emosional sebagai keterampilan dasar.

Literasi Emosional: Pondasi Keterampilan Abad 21

Keterampilan abad 21 yang sering kita dengar 4C (Critical Thinking, Creativity, Communication, Collaboration) ternyata tidak bisa berkembang optimal tanpa fondasi emosional yang kuat.

Critical Thinking & Problem Solving

Bagaimana seseorang bisa berpikir jernih saat dilanda emosi negatif? Anak yang tidak bisa mengelola frustrasinya akan kesulitan menganalisis kesalahan dan belajar dari feedback. Mereka cenderung melihat kritik sebagai serangan personal, bukan informasi berharga untuk berkembang.

Creativity & Innovation

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun