Angin malam merayap pelan, menelusup lewat celah jendela rumah tua peninggalan nenek. Ratih berdiri di ambang pintu kamar yang lama tak dibuka.
Bau kayu lapuk bercampur wangi melati samar-samar menyeruak. Jantungnya berdegup tak karuan, seakan kamar itu menyimpan sesuatu yang sengaja menunggunya.
Di dalamnya, masih sama seperti dulu: ranjang kayu dengan kelambu lusuh, cermin besar berbingkai ukiran, dan lemari jati yang catnya mulai mengelupas.
Ratih menarik napas dalam. Ingatannya berkelebat.
***
Kenangan yang Menyakitkan
Beberapa bulan lalu, Bayu, kekasih yang ia yakini akan menemaninya seumur hidup membawanya ke rumahnya. Bayu berniat memperkenalkannya dan meminta restu untuk hubungan mereka. Namun, yang ia terima justru penolakan paling pahit.
“Kamu cantik, Ratih, tapi kita tak sepadan, kamu bukan siapa-siapa. Keluarga kami butuh menantu dari garis bangsawan, darah biru, bukan gadis biasa.”
Kalimat itu diucapkan ibu Bayu dengan tatapan sinis. Seolah Ratih hanyalah debu di bawah kakinya. Ratih menangis di ruang tamu keluarga itu, suaranya bergetar meminta pengertian. Tapi tak ada yang peduli.
Sang ibu meminta Bayu memilih dirinya atau Ratih. Ia juga mengancam akan mencoret nama Bayi sebagai pewaris harta keluarga jika masih nekat memilih dengan Ratih.