***
Cinta yang Terlarang
Siklus itu berulang. Suami pertama, suami kedua, semuanya tewas setelah tujuh tahun. Tapi Ratih tetap muda, tetap memesona, tetap menjadi primadona.
Hingga suami ketiganya datang. Berbeda dengan yang lain, pria ini penuh kesabaran dan karisma. Ratih benar-benar mencintainya. Ia merasakan sesuatu yang sudah lama hilang: cinta yang tulus. Untuk pertama kali, ia tak ingin kehilangan.
Di tahun ketujuh, tubuh suaminya mulai melemah. Ratih panik, berdoa setiap malam, bahkan mencoba menanggalkan cincin zamrud dari jarinya. Tapi cincin itu menempel erat, seakan menyatu dengan kulitnya.
Malam purnama tiba. Tubuh Ratih gemetar, matanya memerah. Ia ingin melawan, tapi tubuhnya bergerak sendiri, menyalakan dupa, menari, dan melantunkan mantra yang tak ia pahami.
Suaminya menatapnya dengan lemah. “Ratih… jangan menangis… aku tetap mencintaimu.”
Air mata Ratih jatuh deras. “Tidak… aku tidak mau kehilanganmu Kang… aku tidak mau lagi!”
Namun, cincin berkilau makin terang. Suaminya mengembuskan napas terakhir, wajahnya membiru, sementara Ratih menjerit di tengah kamar yang dipenuhi aroma melati.
Di cermin, nenek muncul lagi, tertawa lirih. “Kau tidak bisa mengingkari perjanjian. Kau adalah aku, dan aku adalah kau.”
Ratih jatuh terduduk, meratap dalam hening. Ia sadar, meski hatinya ingin bebas, cincin zamrud kutukan itu telah mengekangnya selamanya.