Yang paling menyakitkan, Bayu hanya terdiam. Tidak membela, tidak melawan. Tatapannya kosong, pasrah pada keputusan keluarganya.
Ratih menatap Bayu dengan penuh rasa kecewa. Ia berlari pulang malam itu. Air matanya belum juga kering saat ia terjerembap di depan cermin kamar nenek. “Kenapa aku selalu dianggap rendah…? Kenapa…?”
BRAK!
Suara keras dari lemari membuatnya tersentak. Dari celah pintu yang terbuka, jatuh sebuah kotak kayu kecil. Dengan gemetar, Ratih membuka kotak itu. Di dalamnya, sebuah cincin zamrud hijau berkilau di bawah cahaya bulan.
Mendadak aroma melati semakin pekat. Udara di kamar kian dingin. Bulu kuduknya berdiri ketika ia melihat pantulan di cermin: bukan hanya dirinya, tapi sosok nenek, tersenyum samar di belakangnya.
“Jika kau ingin mereka berlutut, kenakan itu.”
Ratih menutup mulutnya, gemetar. “Nenek…?”
“Kau sudah menanggung hina. Kini saatnya dunia tahu harga dirimu. Kenakan cincin itu dan sampaikan janji setia bagi sang Ratu. Maka pesona dan keabadian akan menjadi milikmu!”
Ratih menatap tajam cincin itu. Ia bimbang, tapi rasa sakit di dadanya menyeruak. Ia dikuasai dendam. Sejenak ia teringat akan wajah dan kisah mengenai neneknya.
***
Rahasia Nenek dan Pusakanya