Ratih menatapnya dingin. “Tidak kang, Bukankah keluargamu bilang kita tak sepadan? Carilah gadis berdarah biru dan sepadan”
Ratih meninggalkan Bayu yang berlutut memohon begitu saja. Tak lama terdengar kabar bahwa Bayu sakit layaknya orang yang kehilangan akal.
Orang tua Bayu datang kemudian, merendahkan diri, bersujud memohon maaf. “Ratih, maafkan kami. Kau lebih dari layak… kami buta oleh status. Kami ingin melamarmu untuk Bayu”
Ratih tersenyum tipis. Luka hatinya sedikit terobati. Tapi ia menolak. Ia tak lagi ingin jadi pilihan kedua.
Tak lama, seorang pria terpandang datang melamarnya. Kaya, disegani, dan keluarga terhormat. Pernikahan mereka digelar megah. Ratih diratukan, dielu-elukan, seakan ia dewi yang turun ke bumi.
***
Kutukan Tujuh Tahun
Suaminya begitu tergila-gila. Ia tak bisa menolak apa pun yang Ratih inginkan. Bahkan ketika Ratih menebar senyum pada lelaki lain, sang suami tak pernah berani marah. Hanya menangis, lalu semakin mencintai.
Ratih diperlakukan bak Ratu. Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan tujuh tahun. Suaminya jatuh sakit mendadak. Tubuhnya melemah, wajahnya membiru. Dalam sepekan, ia meninggal dengan cara tak masuk akal.
Ratih menangis, sungguh menangis. Tapi di dalam cermin, ia melihat nenek berdiri anggun dengan cincin zamrud berkilau di jarinya.
“Setiap tujuh tahun, satu jiwa harus dipersembahkan. Itulah harga keabadian.”