Di antara gemuruh mesin dunia
aku terperangkap dalam arus angka dan waktu,
namun sunyi di rongga dada
menggema dengan suara yang tak pernah padam:
panggilan dari kitab yang pernah kugenggam,
namun terlalu lama kupendam dalam debu.
Ayat-ayatmu, wahai pelita malamku,
seperti hujan yang lama tertahan di langit,
akhirnya jatuh ke tanah tandus jiwaku,
membasuh luka yang tak pernah kukenal asalnya.
Setiap hurufmu menjelma bintang,
menyulam gelap yang mengekang mataku,
menuntunku pulang dari lorong dunia
yang penuh cermin palsu.
Betapa rinduku padamu
bukan sekadar lirih dalam doa,
tapi nyeri yang menikam tulang,
mendesak tangan untuk kembali membuka lembaranmu,
meski jam terus menggerus,
meski dunia menuntut dengan wajah tak pernah puas.
Kini kusadari,
engkaulah napas yang tak boleh kupisahkan,
kompas di tengah kabut,
laut tenang di balik badai.
Dan aku, seorang pengembara lelah,
telah memutuskan untuk pulang:
memelukmu erat,
membaca suaramu,
hingga hatiku kembali utuh,
hingga rinduku menjadi saksi
bahwa aku takkan lagi pergi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI