Pagi itu, di sebuah SLB di Tasikmalaya, bel tanda masuk baru saja berbunyi. Siswa-siswa dengan berbagai kebutuhan khusus berlarian kecil menuju kelas.
Ada yang berjalan dengan bantuan tongkat, ada yang berpegangan pada tembok, ada pula yang dituntun temannya dengan penuh kesabaran.
Seorang anak membawa bekal sederhana dari rumah. Saat waktu istirahat tiba, ia tanpa ragu membagi rotinya dengan teman sebangku.
Tak ada rasa berat hati, tak ada kalkulasi untung rugi. Baginya, berbagi adalah hal wajar yang membuat hati gembira.
Di kelas lain, seorang siswa tunarungu tampak bersusah payah menyalin tulisan di papan tulis. Tiba-tiba pensilnya patah.
Anak di sebelahnya langsung menawarkan pensil cadangan dengan senyum tulus. Tidak ada rasa “kehilangan” meski berarti ia hanya punya satu pensil tersisa.
Adegan sederhana itu mungkin tampak sepele. Namun, jika dicermati, di situlah letak ketulusan yang mahal. Mereka terbiasa hidup dengan apa adanya, tidak pernah berpikir untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Belajar dari Kejujuran Mereka
Guru-guru SLB sering menceritakan bagaimana anak-anak didik mereka justru mengajarkan arti kejujuran dalam keseharian.
Ada seorang anak dengan autisme yang selalu berbicara apa adanya. Jika tidak suka, ia akan mengatakan “tidak suka” tanpa basa-basi.
Jika senang, ia akan tersenyum lebar dan memeluk gurunya dengan spontan. Tidak ada pura-pura, tidak ada kepalsuan. Kadang mereka terlalu jujur sampai membuat orang dewasa salah tingkah. Tapi justru di situ letak ketulusannya.