Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Brian dan Jejak Hebat Uang Jajan

2 September 2025   12:00 Diperbarui: 2 September 2025   14:42 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Brian (Sumber: dok.pribadi)

Pagi di desa Tanjungmekar lahir dari kicau burung dan aroma tanah basah, seolah semesta menulis ulang harapan di udara. Ayam tetangga belum selesai berkokok ketika Brian sudah bangun. Ia merapikan selimut, melipatnya, lalu bergegas ke kamar mandi. 

Air wudu menyentuh wajahnya, dingin seperti kabut yang jatuh pelan. Selepas Subuh, ia duduk berdampingan dengan ibu, bibirnya komat-kamit pelan, doa yang sederhana, tapi menambal hari seperti benang halus.

Di sudut kamar, menempel selembar kertas kecil yang ia gambar sendiri tujuh ikon spidol; matahari (bangun pagi), sajadah (beribadah), tali skipping (berolahraga), piring berisi sayur (makan sehat dan bergizi), buku dengan kacamata (gemar belajar), dua tangan saling menggenggam (bermasyarakat), dan bulan sabit bertutup selimut (tidur cepat).

Di bawahnya ada celengan tanah liat berbentuk kapal yang ia sebut Si Hebat. Setiap kali menyelipkan uang jajannya, Brian membayangkan kapal itu benar-benar berlayar, membawa mimpinya ke dermaga yang belum ia tahu.

Sebelum berangkat, ia berolahraga sebentar; kadang lompat tali, berlari di halaman atau bermain bola. Nafasnya membentuk awan kecil yang cepat lenyap. 

Ibu selalu menyiapkan sarapan sederhana. Tak lupa bekal snack sehat berupa susu, buah atau roti. “Biar kuat belajar dan nggak jajan sembarangan,” ujar Ibu. 

Brian mengangguk. Sejak sekolah menempel poster tentang jajanan tak sehat, warna-warna mencolok di kantin baginya seperti lampu merah: indah tapi melarang.

***

Di gerbang sekolah, bendera berkibar seperti tangan raksasa yang menyapa. Lapangan masih basah, menggandakan langit di permukaannya. 

Dodo, teman sekelas Brian, sudah berdiri. “Bri, ikut jajan, yuk!” godanya. Brian tersenyum kecil. “Gak Do, ibu sudah siapkan bekal di tasku” ujar Brian. Dodo mendengus, tapi tak memaksa.

Jam pelajaran bergulir, dan Brian duduk senyaman batu yang menemukan tempatnya di sungai. Di pelajaran Bahasa Indonesia, Pak guru meminta murid-murid menulis cita-cita. 

Brian menulis pelan-pelan, hurufnya mengalir seperti ular kecil: “Aku ingin membuat Pojok Baca” Di bawahnya ia menggambar kapal celengan rahasia yang membuat pipinya memerah sendiri.

Bel istirahat berbunyi; kantin mekar seperti pasar kembang. Anak-anak berlarian mengejar warna dan gula.

Brian berjalan melewatinya. Ia mengeluarkan bekal. Sari duduk di sampingnya, mengintip pepaya oranye yang mengilap. “Boleh satu?” tanyanya. “Boleh dua,” kata Brian, tersenyum. 

Ia menelan ludah ketika melihat Dodo menggigit permen yang membuat lidahnya biru seperti langit kelabu. Tapi Brian ingat pesan ibu, pak guru, dan kapal kecilnya di kamar. Setiap jajan yang ia tolak, ombak untuk kapalnya makin ramah.

***

Sepulang sekolah, ada pengumuman: Sabtu ini RW mengadakan Kerja Bakti dan Bazar Sehat di halaman sekolah. Warga akan datang; ada pos pemeriksaan berat badan, stand sayur murah, pojok konseling gizi, dan donasi buku. 

“Kalian boleh ikut bantu,” kata Pak guru. “Belajar itu bukan cuma duduk di kelas. Belajar juga ada di tengah masyarakat.”

Brian pulang dengan langkah ringan. Di rumah, ia mengeluarkan uang dari sakunya, lalu memindahkannya ke perut kapal Si Hebat. 

Tring… tring… suara kecil yang menimbulkan gelombang besar di dadanya. “Bu,” katanya tanpa menoleh, “kalau uang Brian cukup, Brian mau beli buku untuk Pojok Baca ya. Biar teman-teman bisa ganti jajan sama baca.” 

"Nanti kalau bukunya udah banyak, Brian juga mau buat perpustakaan kecil di desa kita "

Ibu menatapnya lama-lama, seolah melihat sesuatu yang tumbuh tanpa suara. “Tentu nak, kalau niatmu baik, Allah bukakan jalan,” ujarnya, menepuk bahu Brian.

Malam itu, Brian belajar menulis rapi. Ia mengeja setiap kata seperti menata batu pijakan di sungai. Di sela-sela, ia mengintip daftar tujuh ikon di dinding, memastikan tak ada satu pun yang tertinggal hari itu. Setelah Isya, ia menutup buku, merapikan pensil, dan mematikan lampu lebih cepat dari biasanya. 

Televisi masih mengundang dari ruang depan. Tapi Brian menoleh ke bulan sabit kecil di daftar; tidur cepat. Ia menarik selimut. Di balik kelopak mata, kapal Si Hebat berlayar di laut yang tenang.

***

Hari-hari berikutnya, kebiasaan-kebiasaan itu menetas seperti telur puyuh: kecil, tapi menghidupi. Brian bangun pagi, subuhnya tidak pernah terlambat. Setelah beribadah, ia berolahraga.

Di sekolah, ia makan bekal dari ibu, kadang bertukar lauk dengan teman lainnya; telur untuk tempe, pepaya untuk jeruk. Ia mengakrabi perpustakaan kelas; huruf-huruf yang dulu seperti pagar kini menjadi undangan piknik baginya.

Yang berubah bukan hanya isi celengan, tapi juga cara ia menatap orang. Saat Pak RT memberi pengumuman di mushola tentang kerja bakti, Brian mengangkat tangan lebih dulu. “Saya mau jaga stand buku, Pak,” suaranya kecil, tapi cukup untuk membuat kepala-kepala menoleh. “Boleh,” jawab Pak RT. “Semangat, ya.”

***

Sabtu yang dijanjikan tiba. Halaman SDN Tanjungmekar penuh orang, riuh tapi hangat. Meja-meja berjejer: sayur segar, buah yang berkilau, poster gizi yang ramah dilihat. 

Brian datang paling awal, membantu memasang spanduk. Dodo yang biasanya paling cepat menghilang saat ada sapu, kali ini ikut membawa karung sampah.

 “Gara-gara kamu, Bri.  Aku kepikiran juga,” gumamnya, setengah malu. Brian tersenyum menepuk pundaknya.

Sebelum bazar dibuka, Brian minta izin pulang sebentar. Di kamar, ia menatap Si Hebat. Kapal itu sudah gemuk; perutnya terdengar seperti hujan koin di atap seng. Dengan hati-hati, ia membuka penutup kecil di bawahnya. Koin-koin menggelinding ke tangan, dingin tapi bersinar. 

Ia menghitung. Cukup. Mungkin bukan untuk membeli segalanya, tapi cukup untuk memulai sesuatu.

Ia berlari kembali ke sekolah, singgah ke kios buku di ujung gang. Memilih beberapa cerita rakyat, satu ensiklopedia mini tentang hewan, dua buku bergambar tentang sayur dan buah. 

Pedagangnya tersenyum, “Untuk adik ya?” Brian mengangguk. Ya, adik-adik sekelasnya, pikirnya.

Di stand buku, Brian menata belanjaannya. Ia menulis dengan spidol: POJOK BACA;Baca Gratis, Boleh Pinjam Bergiliran. Sari menatap tulisan itu, matanya berbinar. “Serius ini?” “Serius,” kata Brian. “Kamu yang pertama.”

Orang-orang berdatangan. Ada yang menimbang bayam, ada yang memeriksa tensi, bertanya menu sehat. Anak-anak berkerumun di stand Brian. 

Dodo duduk lesehan, membuka buku hewan. “Ternyata lidah jerapah warnanya gelap,” gumamnya. Sari tertawa. “Biar nggak kepanasan.” Anak-anak lain mengangguk-angguk, setuju meski belum tentu paham.

Pak Guru mendekat, menatap buku-buku itu, menatap Brian. “Ini dari siapa?” tanyanya lembut. 

“Dari kapal saya, Pak,” jawab Brian. “Dari uang jajan yang tidak jadi dijajan.” Ada jeda sebentar, seolah kata-katanya butuh kursi untuk duduk. Lalu tepuk tangan pecah, bukan gegap gempita, tapi hangat seperti selimut flanel.

“Brian,” kata Pak guru, suaranya sedikit bergetar, “kamu sudah mengikat tujuh kebiasaan baik dengan satu tali: konsisten. Kamu bangun pagi, beribadah, kamu olahraga, kamu makan sehat, kamu belajar, kamu hadir untuk lingkunganmu, dan kamu menjaga dirimu dengan tidur cukup. Kapalmu berlayar karena angin itu.” 

Brian menunduk, bukan karena malu, melainkan karena dadanya terlalu penuh untuk menampung bangga. 

Kerja bakti berlanjut hingga siang. Brian ikut menyapu halaman, memungut plastik yang terselip di rumput, mengangkat pot bunga. Tangan-tangan kecil mengerjakan hal-hal kecil, tapi itulah yang membuat halaman terlihat seperti wajah baru.

Sore menjelang, bazar berakhir. Brian mengembuskan napas panjang. Di kantongnya tersisa beberapa koin; sisa yang akan kembali ia masukkan ke perut Si Hebat. 

***

Malam merayap. Di rumah, Brian makan malam sayur bening dan ikan kembung gurih yang jujur. Ia belajar sebentar, menyalin kata-kata baru dari buku ensiklopedia kecil. 

Setelah Isya, ia kembali memeriksa kertas tujuh ikon di dinding. Semua dapat centang. Ia tersenyum, lalu menambahkan titik kecil di pojok, "Pojok Baca dimulai", Di bawahnya, ada gambar kapal dengan layar mengembang.

Televisi mulai ramai dengan tayangan favorit. Brian menoleh, lalu mematikan lampu meja belajarnya. “Besok lari pagi lagi,” gumamnya. “Kapal butuh angin.” Ia menarik selimut. 

Di sela detik yang melambat, bibirnya berdoa singkat; lalu tidur menutup hari seperti amplop yang disegel. Di luar, angin malam menyentuh genting. Di dalam, Si Hebat berdiri tenang di sudut kamar, kosong sedikit tapi tidak kehilangan makna. 

Kapal itu tahu: besok-besok akan ada koin lagi, mimpi lagi, dan kebiasaan-kebiasaan yang dirawat seperti tanaman; disirami pagi, disyukuri siang, diistirahatkan malam. 

Dan di SDN Tanjungmekar, jejak itu pelan-pelan menjadi jalan setapak: anak-anak yang belajar menukar warna-warni gula dengan warna-warni buku; menukar lapar sesaat dengan kenyang yang panjang.

Hebat, rupanya, bukan teriakan. Hebat adalah langkah yang diulang. Hingga langkah-langkah itu memahat hari, dan hari memahat diri. 

Brian tidak menyebutnya apa-apa. Ia hanya menyebutnya kebiasaan. Namun dari kebiasaan itulah kapalnya berlayar, dan dari celengan kecil itulah mimpinya menemukan dermaga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun