Mulai dari kesadaran diri. Sama seperti kita tahu kapan ponsel perlu diisi, kita juga perlu refleksi kapan hati ini perlu ‘diisi ulang’. Perhatikan pola emosi, kebiasaan berbicara, dan cara menanggapi masalah.
Kurangi konsumsi konten toksik. Tak semua konten layak dikonsumsi. Sama seperti kita selektif makan, kita juga perlu selektif menyimak.
Prioritaskan empati. Daripada buru-buru berkomentar atau menghakimi, cobalah berempati. Mungkin orang itu sedang mengalami sesuatu yang tak kita tahu.
Latih akhlak di kehidupan nyata. Sapa tetangga, bantu orang tua, hadir secara utuh dalam obrolan tanpa sibuk melirik ponsel.
Akhlak: Charger Sejati Manusia
Dalam sebuah ceramah, KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah mengatakan, "Kalau HP-mu kehabisan baterai, kamu sedih. Tapi kalau akhlakmu rusak, kamu nggak sadar." Kalimat ini sederhana, tapi dalam.
Kita begitu panik saat daya ponsel tinggal 5%, padahal daya hidup yang sesungguhnya adalah akhlak. Sebab manusia hidup bukan karena sinyal atau notifikasi, tapi karena nurani dan cinta kasih terhadap sesama.
Mari Bercermin
Mari kita tutup dengan pertanyaan ini:
Jika hidupmu punya indikator baterai akhlak, sekarang kamu di posisi berapa persen?
Jika jawabannya tinggal 10% atau bahkan 1%, jangan buru-buru mencari powerbank. Carilah waktu untuk diam, merenung, dan mulai memperbaiki cara kita memperlakukan orang lain.
Karena pada akhirnya, yang menyelamatkan kita bukan jumlah follower, bukan like, bukan gadget tercanggih. Akan tetapi kualitas hati, akhlak, dan kemanusiaan kita.