Kata-kata kasar, komentar merendahkan, atau mempermalukan murid di depan kelas bukan hanya tidak etis, tapi bisa menjadi luka psikologis yang membekas selamanya.
Di masa remaja, saat emosi masih labil dan pencarian jati diri sedang intens—satu kalimat dari guru atau teman bisa menjadi pemantik semangat, atau justru jadi pemicu keputusasaan.
Teman Bukan Pemangsa: Stop Bullying!
Tak kalah menyakitkan adalah perilaku bullying dari teman sebaya. Berkedok "candaan", tindakan ini sering dianggap remeh.Â
Padahal bagi korban, ejekan, pengucilan, atau penyebaran aib di media sosial bisa menjadi penderitaan mental yang luar biasa. Tak ada satu pun siswa yang berhak membully anak orang lain dengan alasan apapun!
Bukan sekadar luka, bullying adalah bentuk kekerasan yang nyata. Dan ketika tidak ditangani dengan tegas, ia tumbuh menjadi budaya yang mematikan.
Geram dan Kecewa: Ini Harus Berhenti!
Saya, sebagai guru dan orang tua, geram. Mengapa masih ada guru yang mendidik dengan cara menghina? Mengapa masih ada murid yang merasa berhak merendahkan temannya?
Priya mungkin tak sempat bersuara. Tapi kisahnya adalah teriakan bisu yang mengguncang nurani siapa pun yang peduli. Ini bukan sekadar insiden tragis, ini adalah tamparan keras bagi sistem pendidikan kita yang masih lemah dalam perlindungan mental anak.
Regulasi Sudah Ada, Mengapa Tak Dipatuhi?
Perundungan, baik verbal maupun fisik, telah jelas dilarang dalam berbagai regulasi. Di antaranya: