Sudah lama ku ladeni angin
yang keras kepala tak mau reda,
menerjang dari singgasana tua
yang menua pula logika dan rasanya.
Katanya, langit hanya boleh biru,
meski senja hendak menorehkan jingga.
Setiap kali kubawa cahaya
kau tumpahkan hujan fitnah dari jendela tua.
Kau kira suara kami ilalang
yang bisa dibabat sesukamu?
lalu tumbuh kembali, sujud dan diam
di bawah sepatu retorikmu yang lapuk.
Maaf, saya sudah tak punya rasa
untuk sekadar menanak harap.
Lidahku letih mengeja saran
yang kau telan mentah lalu muntahkan kesalahan.
Engkau berdiri di podium rapuh
meneriakkan aturan yang bahkan
tak bisa kau tegakkan,
sementara kami dituduh tanpa cermin,
dihukum oleh bayang-bayang prasangka nan dingin.
Dulu, aku menganyam ide dengan benang emas
menyulamnya jadi peta yang bisa membawamu
ke mata air segar, tapi kau pilih
menggali sumur di tanah kerontang, dendam.
Kini biarkan saja ladang ini retak
dan biar retaknya menjadi puisi
yang hanya dipahami oleh sesama
yang pernah mengeja luka dengan diam.
Aku tak ingin lagi menjadi cat
yang melukis dinding retak,
Tak mau lagi jadi pena
yang mengabadi nama tuan dalam kertas luka.
Maaf,
Aku sudah tawar hati!
Tak ada garam lagi dalam suara,
tak ada bara di balik mata.
Hanya sunyi yang kutambatkan
di tepian batas;
antara tetap waras,
atau jadi pengekor
yang mati sebelum mati.