Di tengah tren kewirausahaan yang semakin menggeliat, banyak orang mulai melirik dunia usaha sebagai jalan menuju kemandirian finansial. Tapi, saat memutuskan untuk terjun, pertanyaan pertama yang sering muncul adalah: mau jalan sendiri atau bareng orang lain?
Menjadi solopreneur menawarkan kebebasan penuh dalam mengeksekusi ide, sementara berpartner memberi peluang tumbuh bersama melalui kolaborasi. Pilihan ini bukan hanya soal strategi bisnis, tetapi juga soal kepribadian dan kesiapan mental.
Saya pernah berada di titik itu. Berangkat dari kebutuhan mendesak untuk biaya pengobatan anak, saya memulai usaha rumahan kecil-kecilan dengan modal dari tabungan emas Pegadaian.
Perlahan, usaha berkembang, bukan hanya menyelamatkan keluarga, tetapi juga membuka peluang bagi ibu-ibu lain di kampung saya. Dari pengalaman itu, saya belajar satu hal penting: bisnis terbaik adalah yang selaras dengan karakter kita.
Sendiri Itu Merdeka, Tapi Butuh Mental Baja
Solopreneur adalah mereka yang membangun dan menjalankan bisnisnya sendiri, tanpa mitra tetap. Mereka adalah “one woman/man show” yang mengurus semuanya—dari ide, produksi, pemasaran, sampai laporan keuangan.
Cocok untuk tipe kepribadian yang mandiri, suka bekerja sendiri, dan tak mudah goyah oleh tekanan.
Saya merasakannya sendiri. Ketika memulai usaha menjual sembako dan pakaian secara kredit di desa, saya benar-benar sendirian.
Tidak ada yang bisa diajak berbagi ide atau berbagi rugi. Tapi di saat yang sama, saya merasa merdeka sepenuhnya.
Saya bisa mengambil keputusan cepat tanpa perlu kompromi, bisa bereksperimen dengan ide-ide baru tanpa harus menunggu persetujuan orang lain.