"Bu, Ibu bukan cuma guru, tapi juga inspirasi."
Kalimat itu ditulis salah satu siswa saya, seorang anak berkebutuhan khusus, dalam secarik kertas kecil yang diselipkan di buku tugasnya. Tak ada panggung megah, tak ada tepuk tangan meriah. Tapi dari sanalah saya menyadari, branding diri bukan semata soal popularitas. Ini soal meninggalkan bekas berarti di hati yang tepat.
Sejak itu, saya belajar bahwa personal branding bukan hanya istilah trendi dalam seminar motivasi. Ia adalah jejak yang kita tanam, yang diam-diam tumbuh, dan suatu hari bisa menjadi jembatan menuju peluang yang tak pernah kita duga.Â
Di era serba digital dan kompetitif seperti sekarang, branding diri adalah bentuk investasi jangka panjang yang tak bisa kita abaikan.
Branding Diri Itu Nyata, dan Kita Sedang Melakukannya
Sadar atau tidak, kita semua sedang membangun merek diri kita setiap hari. Mulai dari cara kita berbicara, menulis, membagikan sesuatu di media sosial, hingga bagaimana kita bertindak saat tak ada yang melihat.Â
Branding bukan hanya untuk artis, influencer, atau tokoh publik. Setiap guru, pelajar, ibu rumah tangga, pelaku UMKM, bahkan guru seperti saya, punya brand personalnya masing-masing.
Yang membedakan adalah: apakah kita membangunnya dengan kesadaran dan nilai, atau membiarkannya terbentuk tanpa arah?
Branding Diri Saya Dimulai Saat Saya Tak Menyadarinya
Perjalanan saya tidak mudah. Dulu, saya seorang guru honorer yang harus membagi waktu antara mengajar anak-anak berkebutuhan khusus, menjadi ibu dari anak yang pernah mengalami kecelakaan berat dan divonis cacat, menyelesaikan studi pascasarjana, sekaligus menjalankan usaha kecil-kecilan untuk bertahan hidup.
Saat tidak mampu membayar biaya pengobatan anak saya, saya menggadaikan perhiasan dan memulai usaha mengkreditkan sembako dan pakaian dari rumah ke rumah. Dari modal kecil itu, usaha saya berkembang dan membantu banyak ibu di kampung yang tak punya akses belanja harian.Â