Hujan deras turun sejak fajar. Sekolah Dasar Negeri Karangjati 2 tampak seperti lukisan usang yang dibasuh air mata langit.
Pagar besi berdecit saat Bu Raya menekannya, menandai hari pertamanya sebagai guru pengganti. Usianya belum genap tiga puluh, tetapi langkahnya mantap; sampai suara gesekan di belakang membuatnya menoleh cepat.
Tidak ada siapa-siapa. Hanya bendera merah putih yang lembap dan lunglai, seperti tak kuat berkibar.
Kelas 5B. Deretan kursi usang, papan tulis yang masih tergores kapur pelajaran minggu lalu, dan anak-anak yang menatapnya dengan rasa penasaran dan entah kenapa, semacam ketakutan diam-diam.
Ia memperkenalkan diri, menuliskan namanya di papan tulis. Bu Raya sadar, satu kursi di pojok kelas bagian jendela terhalang tirai tebal berwarna abu kelabu. Tidak bergerak sedikit pun, meski jendela terbuka dan angin lewat.
“Kursi siapa itu, siapa yang tak masuk?” tanyanya ringan, menunjuk sudut itu.
Anak-anak saling pandang. Hening. Lalu salah satu anak menjawab lirih, “Itu... tempat duduk Lara, Bu.”
“Lara? Lara siapa? Di daftar absen tidak ada nama Lara.”
Tak ada yang menjawab. Tapi sorot mata mereka seketika berubah, seperti merasa Bu Raya telah bertanya sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan.
***