Di era digital, batas antara ibadah dan pertunjukan menjadi semakin kabur. Dari rakaat yang direkam diam-diam, sedekah, kurban atau amalan baik lainnya yang harus disertai caption inspiratif dan hashtag #Bismillah, banyak dari kita terjebak dalam fenomena "likeable worship"—ibadah yang dikemas agar disukai, dikagumi, dan divalidasi secara sosial.
Sayangnya, ketika niat berpindah dari Allah ke audiens, yang tersisa hanyalah lelah fisik dan citra fana. Bukannya pahala, yang didapat hanyalah pujian yang cepat berlalu.
Maka pantaslah kita bertanya: apakah ibadah kita masih bernilai di sisi Tuhan, atau sekadar konten yang manis dilihat, tapi hampa di langit?
Likeable Worship: Sebuah Fenomena Kekinian
Media sosial telah menjadi panggung ibadah baru. Pemandangan seseorang menyiarkan aktivitas sedekah, salat, atau tadarus tak lagi asing di linimasa.
Niat awal yang mungkin berangkat dari semangat berbagi inspirasi sering kali berbelok menjadi kebutuhan pencitraan: agar terlihat saleh, aktif, dan dekat dengan nilai-nilai religius.
Tak sedikit yang rela mengatur angle kamera agar tampak khusyuk dalam doa, memilih filter terbaik untuk mengabadikan momen sujud, atau bahkan menyusun narasi dramatis demi mendapatkan lebih banyak “likes” dan komentar positif.
Fenomena ini menjadi wajah baru ibadah yang bukan hanya soal hubungan dengan Tuhan, tapi juga hubungan dengan algoritma.
Ketika Ibadah Menyisakan Lelah, Bukan Pahala
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: