“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil.” Mereka bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’. Allah akan berfirman pada hari kiamat, ‘Pergilah kepada orang-orang yang kalian pameri amalan kalian di dunia, lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka.’” (HR. Ahmad)
Betapa menakutkannya jika ibadah yang begitu melelahkan, puasa panjang, sedekah besar, atau salat malam yang rutin ternyata tidak bernilai sama sekali di hadapan-Nya.
Semua menjadi nihil karena niat yang keliru. Ibarat seseorang yang bekerja keras seharian, namun ternyata mengisi absensi di perusahaan yang salah.
Riya’, Validasi Sosial, dan Perang Melawan Ego Spiritual
Validasi sosial adalah kebutuhan manusiawi. Namun saat ia merasuk ke ranah spiritual, kita menghadapi bahaya besar bernama 'riya’, keinginan untuk dipuji dalam ibadah.
Dahulu, 'riya’ mungkin muncul dalam bentuk berharap dikenal sebagai orang alim atau dermawan di kampung. Kini, ia hadir dalam bentuk yang lebih halus tapi tak kalah mematikan: disukai dan divalidasi oleh followers.
Tiga orang yang pertama kali diadili di akhirat dalam hadis riwayat Muslim—mujahid, alim, dan dermawan—semuanya tertolak amalnya karena niat bukan karena Allah.
Mereka berbuat demi pujian manusia. Kita pun tak luput dari ancaman yang sama jika membiarkan ego spiritual menguasai hati.
Menemukan Jalan Kembali: Menata Niat di Era Media Sosial
Lantas, bagaimana menjaga keikhlasan di tengah era keterbukaan digital ini? Berikut beberapa upaya sederhana: