"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam."
(QS. Al-An'am: 162)
Setiap kali Idul Adha tiba, kisah Nabi Ibrahim dan putranya, Ismail, kembali hidup dalam ingatan kolektif umat Islam. Di mimbar-mimbar masjid, sekolah, dan lini masa media sosial, kisah itu dikisahkan berulang.
Kisah seorang ayah yang diuji oleh perintah Ilahi untuk menyembelih anaknya sendiri, dan seorang anak yang dengan penuh tawakal menyerahkan dirinya kepada kehendak Tuhan.Â
Namun, Allah tidak menginginkan darah Ismail, bukan pula daging dari hewan kurban yang disembelih. Inti spiritual ibadah kurban bukanlah tentang menghilangkan nyawa, melainkan menaklukkan ego, melepaskan rasa kepemilikan dan berbagi sebagai bentuk cinta kepada-Nya.
Karena di balik cinta, sering tersembunyi ego yang tak sadar menjadikan seseorang atau sesuatu yang kita cintai sebagai milik kita yang tak boleh disentuh oleh siapa pun, bahkan oleh Allah.
Ujian Ibrahim: Ketika Cinta Harus Diletakkan di Atas Meja Pengorbanan
Bayangkan Nabi Ibrahim yang puluhan tahun menanti kehadiran seorang anak akhirnya diberi anugerah seorang putra yang saleh, sang penyejuk hati, Ismail. Lalu ketika cinta itu tumbuh, ketika harapan dan masa depan mulai digantungkan padanya, datanglah perintah yang mengiris untuk menyembelihnya.
Tapi Allah Maha Mengetahui. Ia tidak menginginkan Ismail mati. Ia ingin Ibrahim menaklukkan rasa "ini anakku", "ini milikku", dan "aku tak bisa hidup tanpanya."Â
Perintah menyembelih hanyalah bentuk lahiriah dari ujian terdalam manusia: melepas keterikatan dan mengembalikan segala yang dicintai hanya kepada-Nya.
Dan di momen itu, nabi Ibrahim lulus. Ia membuktikan bahwa cintanya kepada Allah lebih besar dari rasa memiliki terhadap makhluk, sekalipun itu puteranya sendiri.